Kampus Menyikapi Terorisme
Lukman
Hakim
Penggiat
Jurai Siwo Corner
STAIN
Jurai Siwo Metro
BEBERAPA hari lalu masyarakat di Indonesia heboh oleh Gerakan Fajar
Nusantara (Gafatar) yang sampai membawa dokter Rica Tri Handayani dan
anaknya menghilang beberapa hari. MUI menyebutkan Gafatar adalah gerakan
sempalan dari organisasi lama—al-kiyadah al-islamiyah—yang berganti
nama karena dulu pernah dilarang pemerintah.
Kemudian, Kamis (14/1/2016), masyarakat Indonesia kembali geger oleh
berita pengeboman Gedung Sarinah di Tamrin, Jakarta Pusat. Seketika itu
juga banyak pihak yang seolah menjadi seorang analis andal. Banyak
perspektif mengenai penyebab tragedi Sarinah, dari isu Islamic State of
Iraq and Syria (ISIS), pengalihan isu perpanjangan kontrak Freeport,
Gafatar, kelompok teroris yang sedang tumbuh, hingga pengalihan atas
tertangkapnya anggota DPR oleh KPK dari partai penguasa.
Lalu, bagaimana sebaiknya masyarakat menyikapi rentetan kejadian yang
heboh diberitakan di media, baik media sosial maupun media mainstream.
Haruskah grasah-grusuh menyimpulkan atau menunggu sampai pihak berwajib
memberi keterangan yang terang kebenarannya?
Memang wajar sikap reaksioner ketika disuguhi Gafatar atau Sarinah.
Tetapi, sikap reaksioner ini harus diimbangi dengan pengumpulan banyak
fakta sehingga dapat berpikir rasional, tidak mudah terpengaruh dan
tetap tenang dalam mengambil sikap.
Menurut keterangan Kapolda Metro Jaya, pelaku aksi teror di Sarinah
adalah jaringan ISIS yang ada di Indonesia. ISIS dianggap sebagai
terorisme yang menggunakan Islam untuk melancarkan setiap aksi terornya.
Kemudian masyarakat ikut latah dengan menyebut bahwa ISIS adalah bagian
dari kelompok Islam yang melakukan aksi kekerasan, bom bunuh diri, atau
aksi terorisme.
Penulis tidak sepakat jika aksi terorisme selalu diidentikkan dengan
Islam. Bukankah Islam tidak pernah mengajarkan melakukan tindak
kekerasan, memaksakan kehendak, dan menegasikan kemanusiaan. Sebaliknya,
Islam menyeru untuk bersikap lemah lembut, saling menghargai,
toleransi—agama rahmatan lil alamin.
Umat Islam diperintahkan agar menjaga dan meruwat nilai kudus Islam yang
rahmatan lil alamin tersebut sehingga penulis skeptis jika pelakunya
adalah orang yang mengaku memahami dan sudah menjalankan Islam secara
benar.
Aksi terorisme merupakan aksi sesat pikir dengan ragam latar belakang
kepentingan politik, egoisme kelompok, isu ekonomi, atau perjuangan
ideologi. Kemudian bumbu agama digunakan sebagai senjata untuk merekrut
anggota.
Iming-iming jihad, masuk surga, membela agama adalah cara ampuh untuk
mendorong para anggota melakukan “jihad” sehinggga apa yang
diinstruksikan pemimpin adalah wajib dilaksanakan, termasuk harus
melaksanakan bom bunuh diri. “Kami dengar dan kami taat” tidak
diimplementasikan dalam ranah yang benar.
Selain aksi terorisme, bangsa Indonesia juga harus peka terhadap masalah
pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengesampingkan sisi
kemanusiaan. Sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sering
ditonjolkan sehingga tindak kekerasan, aksi serang, atau tindakan
intoleran sering menjadi jalan pintas ketimbang dialog.
Kebebasan beragama/berkeyakinan adalah kekayaan keberagaman bangsa
Indonesia yang harus dijaga. Selama tidak menyimpang secara hukum,
memberikan hak beragama/berkeyakinan adalah sikap dewasa dalam menyikapi
perbedaan.
Berdasarkan data Wahid Institute, jumlah pelanggaran kebebasan
beragama/berkeyakinan pada 2013 sebanyak 245 peristiwa. Peristiwa
pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan sepanjang 2014 berjumlah 158
peristiwa dengan 187 tindakan.
Dari jumlah tahun 2014, 80 peristiwa melibatkan 98 aktor negara,
sementara 78 peristiwa melibatkan 89 aktor nonnegara. Walaupun secara
kuantitas berkurang, bayang-bayang kekerasan yang mengatasnamkaan agama
masih menjadi momok yang mengerikan di Indonesia.
Sikap Warga Kampus
Lingkungan mahasiwa—kampus—selalu mengalami perubahan yang dinamis.
Pergesekan ideologi, doktrin-doktrin agama, dan pemahaman baru mudah
sekali akrab dengan mahasiswa. Ditambah dengan pendekatan persuasif,
sikap santun pembawa misi akan menarik mahasiswa bergabung dengan
kelompok tertentu.
Ketika mahasiswa sudah menjadi bagian kelompok tertentu kemudian naik
status menjadi militan, akan bertransformasi menjadi pembela terdepan,
prajurit andal yang siap berperang demi membeli kelompok yang menangungi
mereka. Yang repot kemudian adalah ketika mahasiwa menjadi militian
kelompok terorisme yang menghilangkan sisi kemanusiaan dan menegasikan
manusia lain.
Warga kampus dalam merespons berbagai aksi terorisme sebaiknya menjadi
garda terdepan yang membantu pemerintah untuk menyebarkan kabar positif.
Bukan menebar ketakutan menyebar berita-berita hoax yang tidak
diverifikasi kebenarannya. Seperti yang terjadi ada beberapa media yang
menyebar berita hoax yang akhirnya mendapatkan teguran dari Komisi
Penyiaran Indonsia (KPI).
Dengan status sosial setingkat lebih tinggi di masyarakat, seharusnya
kampus menjadi tempat untuk menemukan jalan keluar dari berbagai
kejahatan yang meniadakan kemanusiaan. Tidak hanya masalah terorisme,
tapi juga kejahatan sistemik lain, seperti masyarakat Kendeng yang
menolak semen, kasus Salim Kancil yang harus meregang nyawa demi menolak
tambang pasir, atau aksi Kamisan demi pencarian kerabat yang hilang dan
belum ada keterangan yang jelas selama bertahun-tahun.
Jangan sampai ada Salim Kancil baru di tengah hiruk pikuk terorisme yang
melanda negeri ini. Kampus harus menolak lupa atas berbagai kasus
kemanusiaan yang belum selesai sampai saat ini. Warga kampus harus
menjadi agen perdamaian yang menyuarakan nilai kebhinnekaan sebagai
khazanah yang dimiliki bangsa Indonesia.
Sebagai penutup, penulis ingin mengutip perkataan Gus Dur, “Tidak
penting agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik
untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Tabik!
Terbit di Koran harian Lampung post; Rabu, 20 Januari 2016
http://lampost.co/berita/kampus-menyikapi-terorisme
http://lampost.co/berita/kampus-menyikapi-terorisme