Monday, October 30, 2017

Pemilihan Peratin Lampung Barat

Suasana Pemilihan Peratin di Pekon Hanakau.
Saya berusaha bersikap biasa saja dengan dinginnya cuaca yang menusuk tulang di Lampung Barat pagi ini (30 Oktober 2017). Segelas kopi menambah hangat obrolan pagi ini bersama Bapak Abdul Mukmin dan keluarga.
Pagi ini, Pekon (baca: desa) Hanakau dan dan beberapa pekon di Lampung Barat sedang bersiap melaksanakan pesta demokrasi pemilihan peratin (baca: kepala desa). Di Pekon Hanakau sendiri ada 4 kandidat calon peratin dengan komposisi 3 laki-laki dan 1 satu perempuan yang juga merupakan petanaha. Jika diambil berdasarkan nomor urut calon, yaitu; 1. Gio, 2. Taufik, 3. Epen, 4. Rosidah. Nama-nama ini merupakan nama panggilan dari masing-masing calon. Dan saya senagaja tidak menyebutkan nama lengkap atau nama jelas calon untuk menjaga keselamatan saya (Karena saya Lukman maka kalimat yang benar adalah “menjaga ke-lukman-an saya”).
Pukul 06:00 WIB pagi, saya sudah bersama Asep Iman Suwargana melihat suasana balai pekon. Panitia sudah menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pelaksanaan pemungutan suara seperti tenda, kotak suara, meja-kursi, dan lainnya. Silahkan cek ya di saluran youtube “Waroeng Batja” untuk melihat bagaimana ceritanya. Haha
Suasana Pemilihan Peratin di Pekon Hanakau.
Menjelang siang, di depan rumah pak Abdul Mukmin sudah ramai orang yang berduyun-duyun ke balai pekon. Ada yang mengendarai motor, mobil atau berjalan kaki. Sedangkan rumah Pak Abdul Mukmin (bapaknya Asep) dan balai pekon hanya sekitar 75 meter. Orang-orang berjubal, tumpuk bruk di balai pekon. Saya kemudian berjalan sendirian ke balai pekon untuk mengabadikan momen dengan handycam yang saya bawa.
Saya merekam tiga orang bapak yang sedang berbincang  dengan bahasa jawa saat itu.
"Udah nyoblos pak?" saya bertanya sambil merekam.
"Sudah semalam," jawabnya.
Saya tertawa mendengar jawaban bapak itu.
"Jancok bapak ini, aku ini belum nikah kok malah bilang nyoblos yang begituan," batin saya.
"Apa harapannya untuk lurah yang akan datang?" Lanjut saya.
"Iya belum bisa, wong belum ada yang menang," jawab seorang bapak tadi yang berujar telah menyoblos semalam.
"Harapan semoga ke depan lebih baik, pembangunan-pembangunan  dilanjutkan," jawab seorang yang lain.
Suasana Pemilihan Peratin di Pekon Hanakau.
Kemudian saya merekam suasana di dalam tempat pemungutan suara (TPS), tapi yang jelas saya mengambil gambarnya dari luar arena. Bisa di gebukin orang kalau ambil gambar di dalam tarup.
Saya melihat antrean orang masuk, pengambilan surat suara, pencoblosan di bilik suara, ada juga para calon yang di pajang (fungsinya cuma untuk salaman dengan pemilih, haha) dan terakhir keluar tenda dengan menyelupkan jari tangan ke tinta sebagai tanda kalau mereka sudah menyoblos.
Saya tidak mengikuti pemungutan suara sampai habis karena saya mengambil gambar seperlunya saja. Setelah dhuhur sekitar pukul 12.30 WIB panitia sudah membacakan hasil pemilihan. "Nomor satu, nomor tiga, nomor empat," begitu terdengar sayup-sayup suara panitia di balai pekon.
Saya masih saja melanjutkan obrolan bersama Asep, Awan dan kawan-kawan. Tapi sebenarnya saya lebih menjadi pendengar karena mereka menggunakan Bahasa Sunda dalam bercakap-cakap. Sekali waktu saya juga ikut masuk ke percakapan, saya mengerti Bahasa Sunda ya walaupun tidak semua, tapi saya tak bisa untuk mengungkapkan bahasa itu. Mungkin ini seperti cintaku padamu yang sering gagal terucap. Hahaha.
Suasana Pemilihan Peratin di Pekon Hanakau.
Karena tidak kuat dengan rasa kantuk, ditambah gerimis mengundang siang ini. Saya akhirnya menuruti rasa kantuk yang menuntun saya ke kasur. 

Tidak! Pukul 16:40 WIB saya baru bangun. Waktu salat asar sudah lewat, begitu juga dengan penghitungan suara yang telah usai. Apa hasilnya? Petahana masih menjadi yang terunggul mendapatkan 900an suara, disusul oleh Taufik dengan suara 500an, urutan ketiga ada Gio dengan 400an suara dan paling akhir adalah Epen yang hanya mengantongi 120an suara.
Saya tidak memastikan perolehan suara pada pesta demokrasi yang sangat seru ini. Saya katakan seru karena jika dibandingkan dengan pemilihan DPD, DPR, DPRD, bupati, walikota, gubernur atau presiden (saya sengaja tidak menulis dengan eksekutif dan legislatif agar tulisannya lebih panjang, wekaweka), dalam pemilihan kepala pekon di Lampung Barat ini lebih terasa kekeluargaan dan modal yang dikeluarkan.
Di pemilihan kepala Pekon Hanakau para calon membuka rumah selebar-lebarnya untuk para warga. Tidak hanya dibuka kosong-kosong ya, ada calon yang menyembelih sapi atau ayam untuk menjamu mereka yang baru saja selesai menyoblos. Enak to, rek? Kalau boleh request sih saya maunya tiap hari begitu, hahaha.
Bahkan yang lebih seru adalah keluarga besar berkumpul di rumah masing-masing calon. Yang dari Hanakau, dari luar Hanakau atau yang dari luar Lampung juga ada. Intinya adalah dukungan moril itu sangat perlu untuk mempersiapkan diri jika suara tak membumbung sesuai ekspektasi. Tolonglah, tolong ademkan hatiku. Wekaweka.
Sore harinya saya sedikit melupakan hiruk pikuk pemilihan kepala pekon. Saya bersama Asep, Kak Junet dan Oyan berkelana menuju ladang sayur. Melihat bagimana serunya menanam sayur di daerah dingin seperti Pekon Hanakau Lampung Barat.
Baca selengkapnya

Sunday, October 29, 2017

Travelling ke Lampung Barat

Di Puncak Sumber Jaya Lampung Barat
Pukul 9.30 WIB, saya sudah siap berangkat ke Lampung Barat, tepatnya akan menuju ke Pekon Hanakau, Kecamatan Sukau. Ini adalah kali kedua saya pergi  ke Lampung Barat, dulu saya ke Krui untuk menghadiri acara duka karena meninggalkannya adik tingkat yang kecelakaan di bundaran 29 Kota Metro.
Saya ikut Asep Iman Suwargana ke Pekon Hanakau sekaligus ingin melihat keindahan alam Bumi Sekala Bekhak yang terkenal dengan Gunung Pesagi, Danau Ranau, Gunung Seminung, Danau Suoh, Pantai Krui dan segudang keindahan alam lain.
Rute yang saya tempuh hari ini (29 Oktober 2017) adalah Metro, Punggur, Bandar Jaya, Terbanggi Besar, Way Pengubuan, Candi Rejo, Blambangan, Kota Bumi, Ogan 5, Bukit Kemuning. Itulah adalah garis besar rute yang saya tempuh bersama Asep.
Setelah melewati Kota Metro, Kabupaten Lampung Tengah, dan Kabupaten Lampung UtaraBukit Kemuning, saya sampai juga juga di kecamatan pertama Kabupaten Lampung Barat. Sumber Jaya adalah kecamatan pertama yang harus dilalui ketika kita ingin ke Lampung Barat melewati Kota BumiBukit Kemuning. Perjalanan menuju Pekon Hanakau di Kecamatan Sukau harus melewati beberapa kecamatan diantaranyaa Sumber Jaya, Pajar Bulan, Way Tenong, Sekincau, Batu Ketulis, Belalau, Batu Brak, Balik Bukit, baru kemudian sampai di Sukau (Pekon Hanakau).
Pekon Hanakau berjarak sekitar 7 km dari kaki Gunung Pesagi yang merupakan gunung dengan  puncak tertinggi di Lampung. Sedangkan Gunung Seminung berjarak sekitar 18 KM dari Pekon Hanakau atau bisa di tempuh dengan kendaraan bermotor sekitar 30 menit. Kedua gunung ini menyuguhkan keindahan alam yang buat sejuk mata, sejuk hati, juga sejuk fikiran, bisa pula untuk sekadar melepas penat.
Saya berhenti di puncak tertinggi Kecamatan Sumber Jaya. Beristirahat di Masjid Jami' Aminatul Jannah sekaligus salat dhuhur. Tepat berada di depan masjid tersebut, kita bisa melihat bukit tertinggi tersebut dengan tulisan "Bumi Sekala Bekhak" dan patung masyarakat adat Lampung. Di sekeliling masjid kita bisa melihat pemandangan indah, cuaca sejuk dan pemandangan khas pegunungan. Saya selalu senang dengan suasana pegunungan karena saya biasa hidup di dataran rendah di Kecamatan Putra Rumbia Lampung Tengah atau Kota Metro.
Di Masjid Jami' Aminatul Jannah Sumber Jaya Lampung Barat
 Di tengah perjalanan, saya selalu terkesan dengan jalan pegunungan yang saya lalui. Berkelok, seolah saya adalah seorang pembalap motor yang berada di arena balap. Walaupun saya tidak mengendarai (saya dibonceng), saya merasa tegang saat motor harus miring sampai kemiringan 45 derajat atau bahkan lebih.
Rumah panggung yang menjadi ciri khas masyarakat Lampung masih ada sampai hari ini. Ini menambah kebanggaan saya secara pribadi bahwa masyarakat Lampung masih mempertahankan tradisi.
Saya sampai di Pekon Hanakau sekitar pukul 15.30 WIB, artinya saya membutuhkan waktu sekitar 6 jam untuk sampai ke Lampung Barat. Itu termasuk waktu istirahat di Masjid Jami' Aminatul Jannah. Rasa penat terbayarkan karena dingin air di Pekon Hanakau.
Baca selengkapnya

Sunday, October 15, 2017

Mendedah Hom Pim Pah

Komunitas Mocopat sedang Memperkenalkan Diri dan Ngidung
Pukul 20.50 WIB (14/10), saya sudah duduk bersama jamaah Maiyah Dusun Ambengan di Rumah Hati Lampung. Setelah mengambil jajanan yang disediakan ibu-ibu panitia, saya langsung mengambil tempat duduk dibelakang. Hal ini sengaja saya lakukan agar dapat menikmati pemandangan jamaah Maiyah Dusun Ambengan dengan lebih leluasa.

Kang Sadikin sebagai moderator dalam acara awal Maiyah Dusun Ambengan membuka acara dengan bersalawat. Kang Sakidin menyinggung salah satu kegiatan yang ada di Rumah Hati Lampung yaitu Monitor Artis.

"Jadi, kita di sini punya kelompok Monitor Artis, bu. Sampean bisa lihat dibelakang sana, itu adalah gambar Monitor Artis. Jadi kegiatan kita nyorot artis-artis dengan kamera."  terangnya dengan cengengesan.

"Lah, sampean apa percoyo bapak ibu?" lanjutnya dengan cekikikan.

Acara Maiyah edisi ke-26 ini mengambil tema Hom Pim Pah.  Kang Sadikin juga membuka diskusi ringan soal makna Hom Pim Pah. "Hom Pim Pah sebagai permainan tradisional sekarang sudah banyak ditinggalkan oleh anak-anak kita. Mereka lebih senang bermain hape." jelas Sadikin.
Banner Acara "Hom Pim Pah" Maiyah Dusun Ambengan Edisi 26

Guyonan adalah menu yang tidak pernah terlewatkan dari pagelaran Maiyah Dusun Ambengan. Selalu ada hal yang bisa ditertawakan dalam hidup ini, agar hidup tak tegang dan tak terus sepanteng. Kemudian Kang Sadikin mempersilakan Pak Sukindar untuk menyampaikan perkembangan Sekolah Sepak Bola (SSB) yang merupakan salah satu kegiatan yang dinaungi oleh Rumah Hati Lampung.

Pak Sukindar kemudian menyampaikan tentang SSB. "Kami tidak hanya membina pemain laki-laki. Tapi anak perempuan juga sudah ada yang kami bina. Jadi semua orang di tampung di Maiyah ini," jelasnya.

Tidak banyak yang disampaikan oleh Pak Sukindar malam ini. Sebagai salah satu pengurus SSB, Pak Sukindar menyatakan bahwa kegiatan persepakbolaan anak-anak di Margototo masih berjalan baik-baik saja.

Setelah pak Sukindar, Pak Narto adalah pembicara selanjutnya. Pak Narto yang malam itu berbaju putih, memakai peci hitam merah khas Maiyah--selain merah dan putih--menjelaskan tentang Monitor Artis. Monitor Artis adalah akronim dari komunitas donor darah gratis. Kegiatan ini juga merupakan salah satu komunitas yang ada di bawah bendera Maiyah Dusun Ambengan.

"Jadi sampean semua jangan percaya sama Mas Sukindar kalau Monitor Artis itu tugasnya suka nyuting artis-artis. Kami ini kegiatannya ya donor darah. Kami sudah membantu teman-teman yang membutuhkan darah. Jadi jika ada saudara atau siapapun yang membutuhkan darah, silahkan hubungi kami," tegas Narto.
Penampilan Jamus Kalimasada dan Cak Sul
Pak Narto  juga fokus mengurus BPJS. "Jadi untuk warga yang ada disekitar sini kalau ada yang mau ngurus BPJS bisa hubungi saya. Insyaallah akan dibantu semampunya sampai klir," lanjutnya.

Narto juga menyampaikan pandangannya tentang makna Hom Pim Pah. Menurutnya Hom Pim Pah adalah permainan anak, permainan dulu yang masih bisa dilakukan sekarang. "Anak jaman sekarang lebih asik dengan henpon mereka, siapa yang salah?" tanya Narto kepada jamaah.

Sebenarnya kita sebagai orang tua yang mengatur sinau, nyekel hape, tetek bengek kita yang harus ngatur. Kita orang tua berhak dengan semua itu.

Dalam Hom Pim Pah, lanjut Narto, yang beda adalah yang menang. "Tapi apakah perbedaan di masyarakat juga akan menang? Yang menang itu seperti apa? Mereka yang bisa menerima pandom adalah yang menang, yang bisa memaknai hidup, mensyukuri nikmat hidup," tegasnya.

Selanjutnya adalah Kang Sulis yang berbicara soal Hom Pim Pah. Menurutnya Hom Pim Pah itu mencari salah satu yang berbeda. Satu yang berbeda yang akan memperoleh kemenangan. "Hom Pim Pah alaihum gambreng, Mak Ijah pakai baju rombeng, itu kalau versi Betawi," katanya.

Permainan Hom Pim Pah itu tidak bisa dilakukan sendiri. Artinya, kita memerlukan orang lain untuk melakukan itu, jadi kita bisa membangun komunikasi langsung dengan orang-orang di Hom Pim Pah. "Kita akan merasakan hal berbeda jika membangun komunikasi langsung. Dan komunikasi langsung itu harus diterapkan di keluarga dan masyarakat. Sebagai contoh, karena perkembangan teknologi mosok mamak nyuruh anaknya makan dengan sms atau melalui whatapps, jadi itu yang harus dihindarkan," bebernya

Hom Pim Pah dilakukan oleh orang yang tidak membedakan yang lain. Tidak melihat warna kulit, suku, dan lain-lain. "Permainan jaman dulu yang masih bisa dimainkan sekarang. Karena perkembangan teknologi itulah permainan tradisional  ini tergeser," tambahnya.

Malam itu juga ada rombongan dari Mocopat Buana Sakti 47 atau Umbul Gareng. Sembilan lelaki sepuh di panggung akan menyanyikan kidung Mocopat yang merupakan karya Sunan Kalijaga.

Menurut Mbah Giyo, juru bicara kelompok ini, seni kidung Mocopat merupakan seni mulut tunggal tanpa musik. Mbah Giyo kemudian melantunkan kidung "puput dandang gulo". Setelah menyelesaikan kidungnya, empat orang anggota perempuan Mocopat pun ikut ke depan untuk bergabung bersama kelompok lain yang lebih dulu ke panggung.

Saya tak paham betul dengan macam-macam kidung yang dilantunkan oleh kelompok Mocopat ini. Yang saya tahu, setelah selesai melantunkan kidung "Mas Kumambang",  Jamus Kalimasada bersiap-siap. naik panggung. Kidung "mujil" mengakhiri penampilan kawan-kawan Mocopat Umbul Gareng.

Akhirnya Jamus Kalimasada dan Cak Sul naik panggung. Cak Sul kemudian mempersilakan beberapa jamaah untuk naik ke atas panggung. Satu orang dari Pugung Raharjo, dari Marga Jaya, dan seorang ibu dari Mocopat, Pak Camat Metro Kibang, dan satu orang  dari jamaah sekitar. Mereka diminta untuk mempraktikkan Hom Pim Pah. Selanjutnya camat dimintai pendapat mengenai simulasi Hom Pim Pah tersebut.

"Apakah Pak Camat merasa diremehkan, direndahkan?" tanya Cak Sul.
Pak camat tidak merasa direndahkan, malah merasa senang. "Saya tetap  senang walaupun tidak pernah menang," kemudian pernyataan ini disambut gelak tawa oleh jamaah Maiyah.

"Hidup itu tidak usah takut mati,  tidak perlu takut susah. tapi takutlah sama Alloh. Biar hidup itu enak," kata Cak Sul.

Kemudian Cak Sul dan Jamus Kalimasada menyanyikan lagu pertama berjudul Hom Pim Pah, dilanjutkan dengan lagu kedua Baiti Jannati. Setelah lagu kedua, Cak Sul bertanya kepada kelompok Mocopat. "Apakah sampean-sampean ini sudah selesai dalam urusan ekonomi? Kok masih semangat Bermaiyah dan berkomunitas?" tanya Cak Sul.

"Ya belum," jawab salah satu anggota kelompok Mocopat. "Hidup ini ada istirahat untuk jeda, jadi kami ngidung itu ya itu jedanya," sahut yang lain.

Selanjutnya Cak Sul mengatakan orang hindu menyebut Tuhan dengan sebutan Hom Suwasti Hom. Karena para penyebar agama Islam dulu tidak menghapus budaya hindu yang sudah mengakar kuat, maka kemudian wali memadukan dengan kebudayaan yang ada sehingga menjadi permainan Hom Pim Pah alaihum gambreng.

Cak Sul mengatakan kalau hidup mau maju kita tidak harus menatap ke depan terus, tapi juga harus melihat ke belakang. "Kenapa kita angkat tema Hom Pim Pah, karena kita ingin bernostalgia dengan permainan anak-anak ini. Sekarang ini teknologi gajet telah menerpa anak jaman sekarang sehingga hidup anak tidak tertata. Jangankan untuk bermain permainan tradisional, mereka asik dengan gajetnya. Tapi apakah kemajuan jaman itu kita tolak? Jelas tidak, karena ini sudah jamannya. Kalau kita tidak mau terseret ke sana maka kita tidak boleh jadi subjek, kita harus jadi tuan. Jika kita tidak demikian maka kita akan terbawa oleh informasi yang tidak benar dan meyakini itu sebagai kebenaran. Jadi kita harus tahu apa yang harus dilakukan dengan gajet," papar Cak Sul.

Kemudian Cak Sul menyebutkan sebuah ayat Al-Qur'an  "Tidak penduduk surga dan penduduk neraka." "Penduduk surga adalah yang menang. Dan dalam Hom Pim Pah mereka yang berbeda adalah yang menang." paparnya

Saya menikmati penampilan Jamus Kalimasada malam itu. Dan pada kesempatan selanjutnya adalah giliran Mbah Bolo tampil di panggung.

Saya kira Mbah Bolo ini adalah stand up comedian generasi awal sebelum guyonan ini populer di Indonesia sepeti sekarang ini.
Penampilan Mbah Bolo di Acara Maiyah Dusun Ambengan
Sengaja saya tidak menulis apa yang disampaikan oleh Mbah Bolo malam itu. Saya fikir cerita Mbah Bolo saru untuk dikonsumsi publik, terlebih jika orang-orang yang tak terbiasa dengan guyonan dengan bahasa saru dan kasar pasti akan merasa risih.

Malam itu acara Maiyah Dusun Ambengan selesai sekitar pukul 01.30 WIB. Seperti biasa, sebelum pulang jamaah disilakan menikmati makan dini hari. Nasi tiwul dan sambel ikan asin menjadi menu yang saya ambil buat bersantap.

Di tengah makan, saya merapat ke Bang Endri Kalianda, belio adalah salah satu senior saya waktu awal-awal dulu saya menulis. Beliau dulu adalah Pimpinan Redaksi Koran Editor Lampung dan sering memuat opini saya sekitar tahun 2014. Malam itu saya berkonsultasi soal penerbitan buku. Saya dan kawan-kawan sedang menggarap buku "Desa di Ujung Rindu" yang merupakan kumpulan puisi. Intinya kami kangen desa, begitulah.

Setelah saya ngobrol ngalor ngidul dengan bang Endri, Cak Sul, juga dengan yang lain. Saya memutuskan untuk pulang karena tidak tega melihat Elman Darmansyah yang sudah ngantuk berat. Akhirnya pukul 02.30 WIB saya berpamitan.

Pagi itu, saya tidak merasa takut dalam perjalanan pulang walaupun harus menikmati bulak dari Metro Kibang menuju Kota Metro. Karena pagi itu seperti pagi-pagi lain, sudah banyak bapak ibu yang pergi ke pasar. Sepagi itu mereka sudah keluar rumah mengais rejeki. Saya hanya bisa berdoa semoga mereka sehat-sehat saja. Karena pagi itu saya ingat pula kepada bapak mamak di rumah.

Berilah mereka kesehatan Ya Alloh! Aamiin.
Baca selengkapnya

Monday, October 9, 2017

Bamboo Rafting Waykanan: Sebuah Catatan (Hari Kedua)


Suasana sarapan di Rusunawa Waykanan
Semua peserta berkumpul di lantai bawah rusunawa untuk sarapan, mereka kompak mengenakan kaos biru toska dengan tulisan "Bamboo Rafting, 7-9 Oktober 2017",  ada juga tulisan pesona Indonesia" yang ukurannya hurufnya lebih besar dari pada Bamboo Rafting. Pesan tulisan di kaos tersebut tidak lain adalah bukti bahwa kegiatan Bamboo Rafting ini sudah didukung oleh dinas pariwisata dan Genpi Lampung−gerakan pesona Indonesia..

Kami pagi itu (8 Oktober 2017) antre untuk sarapan. Antre adalah salah satu budaya yang saya suka. Siapapun orangnya, semua harus antri tanpa melihat jabatan, umur, atau faktor yang lain. Penting antre gaes, yang tertib ya!
Saya bertujuh orang, pagi itu sedang menikmati sarapan yang disediakan oleh panitia. Tim Smart TourLampung ada Bang Imron, Dani, Andhika Ayu, Devinia Jeniar, Tiara Anggriani. Mbak Eni Muslihah adalah wartawan dari kompas.com. Sedangkan saat itu saya dan kak Feriansyah mewakili Komunitas #ayokedamraman.
Kak Feriansyah subuh itu memutuskan untuk salat di masjid Pancasila Waykanan yang letaknya tak jauh dari tempat kami menginap. Kami yang tidur satu kamar; saya, Bang Imron dan Dani harus menunggu kak Feriansyah yang hingga siang sekitar pukul 07.00 WIB belum sampai di Rusunawa. 
"Bapak ini paling lagi ngisi kultum," canda Dani.
"Dia ngisi pengajian," jawab bang Imron yang disambut dengan tawa kami serentak.
Kelakar itu kami lakukan sebelum kami meninggalkan kamar menginap, kamar nomor 9 untuk para perempuan sedangkan kamar nomor 10 untuk kami para pria.

Barulah selesai kami sarapan, sosok kak Feriansyah muncul dengan kaos hitam dan berpeci warna krem. Kami bertujuh sudah selesai makan, sedangkan kak Feriansyah baru mulai makan, dia bercerita bertemu kawan lamanya di masjid. Itu adalah salah satu alasan mengapa dia baru pulang ke rusunawa sampai lewat waktu dhuha.
Selepas sarapan, kami menuju mobil. Kami nge-vlog seperti layaknya seorang vlogger profesional. Materi vlog tidak lain adalah promosi Wisata Waykanan dan promosi Smart Tour tentunya. Hehe.  Videonya silahkan cek di saluran youtube saya, Waroeng Batja." Hehe
Kami segera meluncur menuju Jembatan Tiga Serangkai. Tapi kami berhenti di Tugu Simpang Empat karena mbak Eni merengek minta foto. "Kita dari kemarin belum sempat foto-foto. Ayolah berhenti untuk foto," pintanya. Tanpa komando, Dani yang saat itu mengendarai mobil seketika berhenti ketika sampai di Tugu Simpang Empat. Alhasil, itulah foto pertama kami−yang lain saya abadikan lewat video.
Foto Bareng Tim Smart Tour Lampung di Tugu Simpang Empat Waykanan
Setelah itu kami segera bergegas ke Jembatan Tiga Serangkai. Kami parkir di SMP Negeri 2 Blambangan Umpu, di sana juga banyak peserta lain, salah satunya rombongan dari Wonosobo. 
Rombongan kami melakukan pemanasan di halaman SMP tersebut. Sekira 15 menit kami di pandu oleh kak Feriansyah yang juga merupakan instruktur outbond. Jadi urusan pemanasan adalah sesuatu yang biasa baginya. Soal pemanasan ini, cek juga videonya di saluran youtube Waroeng Batja ya. Hehe
Lalu kami menuju titik awal pemberangkatan rombongan yang akan menuju Jembatan Tiga Serangkai. Dari SMP menuju  titik pemberangkatan, kira-kira kami harus berjalan kaki sejauh 100 meter. Di sana banyak sekali para pegiat pariwisata, ada kelompok blogger dari Batam, juga ada dari Hotel Batikkai, dan lain-lain. 
Titik Awal pemberangkatan di Gedong Batin.
Mereka di antar ke Jembatan Tiga Serangkai secara bergiliran menggunakan mobil bak terbuka−semacam mobil sport. Rombongan perempuan dari Smart Tour berangkat urutan kedua bersama rombongan lain. Sedangkan saya dan sisa dari tim Smart Tour beserta rombongan lain berangkat di urutan ketiga.
Jarak antara titik awal ke Jembatan Tiga Serangkai mungkin sekitar 200 meter. Tetapi track yang harus kami lalui becek dan jalan berbatu. Di tengah perjalanan, tidak jarang suara teriakan orang-orang yang ada di mobil pengangkut membuncah karena mereka terpanting  ke kanan kiri karena kondisi jalan jelek.
Rupanya kami tidak langsung sampai ke Jembatan Tiga Serangkai, kami berhenti di rumah warga yang letaknya berada paling pinggir SungaiWay Besay sebelum ke jembatan. Di sana kami mengenakan jaket pelampung. Alangkah kagetnya ketika saya mendapati jaket pelampung yang disediakan panitia sudah lusuh dan beberapa tanpa dilengkapi dengan tali.  
Yang membikin saya lebih jengkel, pihak BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) berkoar−kalau ngoceh mungkin terlalu kasar--menyuruh mengenakan jaket pelampung yang memiliki tali. Analoginya mereka menyuruh makan hanya menyediakan piring dan nasi saja tanpa ada lauk. Tapi mau tak mau saya juga harus menuruti perintah bapak itu. Tujuannya baik, tidak lain untuk keselamatan peserta. Dan kami memanfatkan tali rapia, semacam tali tambang kecil (Jawa: kenteng) untuk mengaitkan jaket pelampung agar tidak terbuka. 
Bersama pesepeda di Acara Gadong Batin Bamboo Rafting
 Sekira pukul 08.30 WIB, setelah kami selesai memilah dan mengenakan jaket pelampung. Kami berjumpa dengan para pesepeda yang sedari pagi sudah memulai kegiatan mereka. Mereka sudah naik dari Jembatan Tiga Serangkai menuju titik awal kami berangkat ketika kami baru sampai di rumah warga yang tadi sudah disinggung diawal
 
Kerumunan orang, saling ngobrol satu sama lain adalah pemandangan yang pagi itu saya nikmati. Saya dan rombongan dari  Smart Tour Lampung memutuskan menuju ke Jembatan Tiga Serangkai dengan berjalan kaki. Rupanya, rombongan motor track sudah lebih dulu mendahului kami. Mereka sudah berkumpul dan bersiap melewati Jembatan Gantung Tiga Serangkai. Kami jalan kaki sekitar 30 meter dari rumah warga menuju Jembatan Tiga Serangkai.
Tunggu ya di tulisan berikutnya!!! Hehe  

Baca selengkapnya