Sunday, October 15, 2017

Mendedah Hom Pim Pah

Komunitas Mocopat sedang Memperkenalkan Diri dan Ngidung
Pukul 20.50 WIB (14/10), saya sudah duduk bersama jamaah Maiyah Dusun Ambengan di Rumah Hati Lampung. Setelah mengambil jajanan yang disediakan ibu-ibu panitia, saya langsung mengambil tempat duduk dibelakang. Hal ini sengaja saya lakukan agar dapat menikmati pemandangan jamaah Maiyah Dusun Ambengan dengan lebih leluasa.

Kang Sadikin sebagai moderator dalam acara awal Maiyah Dusun Ambengan membuka acara dengan bersalawat. Kang Sakidin menyinggung salah satu kegiatan yang ada di Rumah Hati Lampung yaitu Monitor Artis.

"Jadi, kita di sini punya kelompok Monitor Artis, bu. Sampean bisa lihat dibelakang sana, itu adalah gambar Monitor Artis. Jadi kegiatan kita nyorot artis-artis dengan kamera."  terangnya dengan cengengesan.

"Lah, sampean apa percoyo bapak ibu?" lanjutnya dengan cekikikan.

Acara Maiyah edisi ke-26 ini mengambil tema Hom Pim Pah.  Kang Sadikin juga membuka diskusi ringan soal makna Hom Pim Pah. "Hom Pim Pah sebagai permainan tradisional sekarang sudah banyak ditinggalkan oleh anak-anak kita. Mereka lebih senang bermain hape." jelas Sadikin.
Banner Acara "Hom Pim Pah" Maiyah Dusun Ambengan Edisi 26

Guyonan adalah menu yang tidak pernah terlewatkan dari pagelaran Maiyah Dusun Ambengan. Selalu ada hal yang bisa ditertawakan dalam hidup ini, agar hidup tak tegang dan tak terus sepanteng. Kemudian Kang Sadikin mempersilakan Pak Sukindar untuk menyampaikan perkembangan Sekolah Sepak Bola (SSB) yang merupakan salah satu kegiatan yang dinaungi oleh Rumah Hati Lampung.

Pak Sukindar kemudian menyampaikan tentang SSB. "Kami tidak hanya membina pemain laki-laki. Tapi anak perempuan juga sudah ada yang kami bina. Jadi semua orang di tampung di Maiyah ini," jelasnya.

Tidak banyak yang disampaikan oleh Pak Sukindar malam ini. Sebagai salah satu pengurus SSB, Pak Sukindar menyatakan bahwa kegiatan persepakbolaan anak-anak di Margototo masih berjalan baik-baik saja.

Setelah pak Sukindar, Pak Narto adalah pembicara selanjutnya. Pak Narto yang malam itu berbaju putih, memakai peci hitam merah khas Maiyah--selain merah dan putih--menjelaskan tentang Monitor Artis. Monitor Artis adalah akronim dari komunitas donor darah gratis. Kegiatan ini juga merupakan salah satu komunitas yang ada di bawah bendera Maiyah Dusun Ambengan.

"Jadi sampean semua jangan percaya sama Mas Sukindar kalau Monitor Artis itu tugasnya suka nyuting artis-artis. Kami ini kegiatannya ya donor darah. Kami sudah membantu teman-teman yang membutuhkan darah. Jadi jika ada saudara atau siapapun yang membutuhkan darah, silahkan hubungi kami," tegas Narto.
Penampilan Jamus Kalimasada dan Cak Sul
Pak Narto  juga fokus mengurus BPJS. "Jadi untuk warga yang ada disekitar sini kalau ada yang mau ngurus BPJS bisa hubungi saya. Insyaallah akan dibantu semampunya sampai klir," lanjutnya.

Narto juga menyampaikan pandangannya tentang makna Hom Pim Pah. Menurutnya Hom Pim Pah adalah permainan anak, permainan dulu yang masih bisa dilakukan sekarang. "Anak jaman sekarang lebih asik dengan henpon mereka, siapa yang salah?" tanya Narto kepada jamaah.

Sebenarnya kita sebagai orang tua yang mengatur sinau, nyekel hape, tetek bengek kita yang harus ngatur. Kita orang tua berhak dengan semua itu.

Dalam Hom Pim Pah, lanjut Narto, yang beda adalah yang menang. "Tapi apakah perbedaan di masyarakat juga akan menang? Yang menang itu seperti apa? Mereka yang bisa menerima pandom adalah yang menang, yang bisa memaknai hidup, mensyukuri nikmat hidup," tegasnya.

Selanjutnya adalah Kang Sulis yang berbicara soal Hom Pim Pah. Menurutnya Hom Pim Pah itu mencari salah satu yang berbeda. Satu yang berbeda yang akan memperoleh kemenangan. "Hom Pim Pah alaihum gambreng, Mak Ijah pakai baju rombeng, itu kalau versi Betawi," katanya.

Permainan Hom Pim Pah itu tidak bisa dilakukan sendiri. Artinya, kita memerlukan orang lain untuk melakukan itu, jadi kita bisa membangun komunikasi langsung dengan orang-orang di Hom Pim Pah. "Kita akan merasakan hal berbeda jika membangun komunikasi langsung. Dan komunikasi langsung itu harus diterapkan di keluarga dan masyarakat. Sebagai contoh, karena perkembangan teknologi mosok mamak nyuruh anaknya makan dengan sms atau melalui whatapps, jadi itu yang harus dihindarkan," bebernya

Hom Pim Pah dilakukan oleh orang yang tidak membedakan yang lain. Tidak melihat warna kulit, suku, dan lain-lain. "Permainan jaman dulu yang masih bisa dimainkan sekarang. Karena perkembangan teknologi itulah permainan tradisional  ini tergeser," tambahnya.

Malam itu juga ada rombongan dari Mocopat Buana Sakti 47 atau Umbul Gareng. Sembilan lelaki sepuh di panggung akan menyanyikan kidung Mocopat yang merupakan karya Sunan Kalijaga.

Menurut Mbah Giyo, juru bicara kelompok ini, seni kidung Mocopat merupakan seni mulut tunggal tanpa musik. Mbah Giyo kemudian melantunkan kidung "puput dandang gulo". Setelah menyelesaikan kidungnya, empat orang anggota perempuan Mocopat pun ikut ke depan untuk bergabung bersama kelompok lain yang lebih dulu ke panggung.

Saya tak paham betul dengan macam-macam kidung yang dilantunkan oleh kelompok Mocopat ini. Yang saya tahu, setelah selesai melantunkan kidung "Mas Kumambang",  Jamus Kalimasada bersiap-siap. naik panggung. Kidung "mujil" mengakhiri penampilan kawan-kawan Mocopat Umbul Gareng.

Akhirnya Jamus Kalimasada dan Cak Sul naik panggung. Cak Sul kemudian mempersilakan beberapa jamaah untuk naik ke atas panggung. Satu orang dari Pugung Raharjo, dari Marga Jaya, dan seorang ibu dari Mocopat, Pak Camat Metro Kibang, dan satu orang  dari jamaah sekitar. Mereka diminta untuk mempraktikkan Hom Pim Pah. Selanjutnya camat dimintai pendapat mengenai simulasi Hom Pim Pah tersebut.

"Apakah Pak Camat merasa diremehkan, direndahkan?" tanya Cak Sul.
Pak camat tidak merasa direndahkan, malah merasa senang. "Saya tetap  senang walaupun tidak pernah menang," kemudian pernyataan ini disambut gelak tawa oleh jamaah Maiyah.

"Hidup itu tidak usah takut mati,  tidak perlu takut susah. tapi takutlah sama Alloh. Biar hidup itu enak," kata Cak Sul.

Kemudian Cak Sul dan Jamus Kalimasada menyanyikan lagu pertama berjudul Hom Pim Pah, dilanjutkan dengan lagu kedua Baiti Jannati. Setelah lagu kedua, Cak Sul bertanya kepada kelompok Mocopat. "Apakah sampean-sampean ini sudah selesai dalam urusan ekonomi? Kok masih semangat Bermaiyah dan berkomunitas?" tanya Cak Sul.

"Ya belum," jawab salah satu anggota kelompok Mocopat. "Hidup ini ada istirahat untuk jeda, jadi kami ngidung itu ya itu jedanya," sahut yang lain.

Selanjutnya Cak Sul mengatakan orang hindu menyebut Tuhan dengan sebutan Hom Suwasti Hom. Karena para penyebar agama Islam dulu tidak menghapus budaya hindu yang sudah mengakar kuat, maka kemudian wali memadukan dengan kebudayaan yang ada sehingga menjadi permainan Hom Pim Pah alaihum gambreng.

Cak Sul mengatakan kalau hidup mau maju kita tidak harus menatap ke depan terus, tapi juga harus melihat ke belakang. "Kenapa kita angkat tema Hom Pim Pah, karena kita ingin bernostalgia dengan permainan anak-anak ini. Sekarang ini teknologi gajet telah menerpa anak jaman sekarang sehingga hidup anak tidak tertata. Jangankan untuk bermain permainan tradisional, mereka asik dengan gajetnya. Tapi apakah kemajuan jaman itu kita tolak? Jelas tidak, karena ini sudah jamannya. Kalau kita tidak mau terseret ke sana maka kita tidak boleh jadi subjek, kita harus jadi tuan. Jika kita tidak demikian maka kita akan terbawa oleh informasi yang tidak benar dan meyakini itu sebagai kebenaran. Jadi kita harus tahu apa yang harus dilakukan dengan gajet," papar Cak Sul.

Kemudian Cak Sul menyebutkan sebuah ayat Al-Qur'an  "Tidak penduduk surga dan penduduk neraka." "Penduduk surga adalah yang menang. Dan dalam Hom Pim Pah mereka yang berbeda adalah yang menang." paparnya

Saya menikmati penampilan Jamus Kalimasada malam itu. Dan pada kesempatan selanjutnya adalah giliran Mbah Bolo tampil di panggung.

Saya kira Mbah Bolo ini adalah stand up comedian generasi awal sebelum guyonan ini populer di Indonesia sepeti sekarang ini.
Penampilan Mbah Bolo di Acara Maiyah Dusun Ambengan
Sengaja saya tidak menulis apa yang disampaikan oleh Mbah Bolo malam itu. Saya fikir cerita Mbah Bolo saru untuk dikonsumsi publik, terlebih jika orang-orang yang tak terbiasa dengan guyonan dengan bahasa saru dan kasar pasti akan merasa risih.

Malam itu acara Maiyah Dusun Ambengan selesai sekitar pukul 01.30 WIB. Seperti biasa, sebelum pulang jamaah disilakan menikmati makan dini hari. Nasi tiwul dan sambel ikan asin menjadi menu yang saya ambil buat bersantap.

Di tengah makan, saya merapat ke Bang Endri Kalianda, belio adalah salah satu senior saya waktu awal-awal dulu saya menulis. Beliau dulu adalah Pimpinan Redaksi Koran Editor Lampung dan sering memuat opini saya sekitar tahun 2014. Malam itu saya berkonsultasi soal penerbitan buku. Saya dan kawan-kawan sedang menggarap buku "Desa di Ujung Rindu" yang merupakan kumpulan puisi. Intinya kami kangen desa, begitulah.

Setelah saya ngobrol ngalor ngidul dengan bang Endri, Cak Sul, juga dengan yang lain. Saya memutuskan untuk pulang karena tidak tega melihat Elman Darmansyah yang sudah ngantuk berat. Akhirnya pukul 02.30 WIB saya berpamitan.

Pagi itu, saya tidak merasa takut dalam perjalanan pulang walaupun harus menikmati bulak dari Metro Kibang menuju Kota Metro. Karena pagi itu seperti pagi-pagi lain, sudah banyak bapak ibu yang pergi ke pasar. Sepagi itu mereka sudah keluar rumah mengais rejeki. Saya hanya bisa berdoa semoga mereka sehat-sehat saja. Karena pagi itu saya ingat pula kepada bapak mamak di rumah.

Berilah mereka kesehatan Ya Alloh! Aamiin.

Bagikan

Jangan lewatkan

Mendedah Hom Pim Pah
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.