Saturday, September 30, 2017

Bolidi dan Lagu Genjer-genjer


Bolidi











Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Emake thulik teka-teka mbubuti genjer
Emake thulik teka-teka mbubuti genjer
Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tulih-tulih
Genjer-genjer saiki wis digawa mulih
"Hussss!! Ngapa nyetel lagu itu. Matikan!"
"Loh, apa yang salah sama lagu ini, mak?" tanya Bolidi heran.
Bolidi yang awalnya rebaran, kemudian bangun menegakkan badan.
"Itu lagu PKI tahu. Jangan disetel, kalau ada polisi atau tentara kamu nanti bisa ditangkap, Bol."
"Lagu itu kan cuma cerita genjer to mak. Genjer kan cuma tumbuhan yang kadang di sayur atau biasanya juga diambil buat pakan sapi. Perasaan nggak ada seram-seramnya." sergah Bolidi.
"Itu lagu P K I !!!" teriak emak Bolidi sembari menuju ke ruang tamu yang semula dari dapur.
"Kamu tahu kan Bol, lagu itu di putar pas Gerwani lagi nyileti jenderal-jenderal yang di culik. Gerwani kelihatan ganas. Apa kamu nggak pernah nonton film PKI?"
"Itu film propaganda Suharto aja lo, mak. Ojo percaya gitu aja."
"Lah gimana mamakmu ini nggak percaya. Wong film pemberontakan PKI itu di putar setiap tahun pas Pak Harto jadi presiden dulu. Semua warga di suruh nonton, pas lagi nonton di tunggu karo tentara meneh. Jadi mau nggak mau ya harus nonton."
"La makanya mamak itu harusnya nonton film-film yang lain. Film senyap atau film jagal. Itu yang buat pakde Joshua."
"Joshua yang nyanyi diobok-obok itu to, Bol?"
"Bukan mak. Joshua wong luar negeri. Pokoknya mamak kapan-kapan wajib nonton."
"Yang wajib itu ya golek mangan, le. Bisa makan aja kita sudah untung. Dan jangan lupa selalu bersyukur kepada Tuhan. Mamakmu nggak sempet nonton yang begituan. Wes ben, masalah begitu diurus orang-orang pinter yang sekolah. Sekarang ini yang penting dapur bisa ngebul, bisa nyekolahkan anak, bisa ngibadah kepada Gusti Allah, itu sudah bejo."
"La tapi nanti mamak anggep lagu genjer-genjer itu tetap lagu PKI, mak. Padahal kan bukan. Lagu genjer-genjer itu dulu cerita tentang penderitaan rakyat pas dijajah Jepang, paceklik dan akhirnya karena nggak ada bahan makanan, rakyat makan genjer, mak."
"Lah terus pas dulu acara PKI kok lagu itu sering dinyanyikan, Bol?"
"Wajar mak. Kan dulu warga banyak yang hafal sama lagu itu. Jadi lagu genjer-genjer di pakai buat kampanye, sebagai lagu wong cilik yang menggambarkan penderitaannya."
"Terus, apa mamakmu ini sekarang udah kayak bapakmu ya?"
"Mirip to mak? Ya jelas mirip. Kan kata orang kalau jodoh itu keliatan mirip-mirip, mak".
"Bukan itu Bol maksud mamak. Apa mamak udah mirip bapakmu yang suka ngerokok. Padahal bapakmu tahu kalau ngerokok itu nggak bagus buat kesehatan tapi masih saja dilakukan. Apa mamakmu ini istilahnya udah kecanduan film G30 S ya? Jadi yang ada cuma kengerian kalau mendengar nama PKI."
"Iya paleng mak. Propaganda ya penak aja to mak dilakukan, apalagi untuk mereka yang sedang berkuasa."
"Propaganda itu apa to, Bol? Dari tadi propaganda, propaganda, propaganda terus yang kamu omongin."
"Propaganda itu ya propaganda, mak," wehehe.
"Yawes sekarang nggak usah mikiri PKI atau propaganda, Bol. Lantainya kotor, buruan disapu! Jangan cuma mikir yang besar tapi nggak mau berbuat yang kecil, nyapu nggak mau."
Bolidi pun bergegas mengambil sapu. "Sekalian bantu masak nggak, mak?" teriak Bolidi di teras rumah.
Baca selengkapnya

Friday, September 29, 2017

Nasib Petani

Ilustrasi Petani. Sumber www.edunews.id

Petani...
Tanpa tanah garapan
Seperti nelayan tanpa lautan
Layaknya guru tanpa sekolahan
Atau dokter tanpa gedung pengobatan

Petani.....
Sering menelan harapan kenyamanan
Dan jaminan  kesejahteraan
Tapi angan tak sejalan kenyataan
Tertipu mulut manis pengumbar bualan

Petani...
Nasibmu dulu dan kini
Tak ada pembeda yang berarti
Sebagai pilar penting bangsa ini
Sering terlonta kesana sini

Petani....
Ingin tanah moyangmu  diakui negara
Kau dianggap melawan dan meronta
Dituduh membangkang penguasa
Persekusi jadi perlakuan biasa

Petani...
Waktu tanam tiba
Bibit, pupuk melejit
Waktu panen tiba
Harga anjlok kau pun menjerit
Baca selengkapnya

Thursday, September 28, 2017

Menulis

Ilustrasi Menulis. Sumber: kompasiana.com




Menulis itu melukis, ibaratnya
Melukis peristiwa dengan kata
Merangkai kata menjadi makna
Membawa makna bersikap wibawa

Menulis itu berekspresi
Ekspresi jiwa dari relung hati
Hati yang berkomunikasi
Dengan pikir yang bersih suci

Menulis itu khayal
Berkhayal dengan akal
Menelusur dari ujung ke pangkal
Berkhayal yang mendedah bebal

Menulis itu mengabadi
Peristiwa dulu diketahui kini
Sejarah lampau bisa dipelajari
Menulis itu proses awet abadi

Menulis itu candu, harusnya
Tak sebentar pun kita meninggalkannya
Kamu menulis maka kamu ada
Ada dalam rasa, karsa dan karya

Metro, 28 September 2017
Baca selengkapnya

Takut PKI

Gambar Partai Komunias Indonesia, Sumber: wikimedia.org
Apakah kalian takut PKI?
Mereka bangkit lagi
Padahal mereka sudah lama mati
Setengah abad lebih, kini

Kenapa kalian benci PKI?
Sampai ke urat nadi
Benci tanpa mengimbangi
Benci butalah kalian, kini

Isu PKI
Dipakai Oligarki untuk menunggang Demokrasi
Jadilah Democrazy
Demokrasi delusi, demokrasi ilusi

Berlaku adil pada PKI
Bukti manusia berakal budi
Menimbang dengan hati nurani
Adillah sejak dulu dan kini

Sejarah PKI
Adalah sejarah negeri
PKI turut membangun negeri
Nusantara dulu, Indonesia kini 

Metro, 28 September 2017
Baca selengkapnya

Sunday, September 24, 2017

Musim Kemarau

Suatu pagi di Musim Kemarau. Foto/koleksi pribadi











 

Pagi buta
Di langgar terdengar orang mengaji
Melantunkan ayat-ayat suci
Bapak-bapak, ibu-ibu berbondong pergi
Memenuhi panggilan Ilahi

Musim kemarau...
Ayam-ayam turun lebih awal
Mencari bekal untuk mengganjal
Perut yang lapar
Bangun pagi tanpa bekal

Musim kemarau...
Debu menderu
Tetangga sedang menyapu
Daun coklat-kuning jatuh
Bahkan tanpa terpaan angin

Musim kemarau...
Tanah meringgas
Tanaman melemas
Ada manusia yang mengganas
Menggilas, meremas, tanpa melas

Musim kemarau...
Anak sekolah berangkat bersepeda
Menyusuri jalanan dengan setitik Asa
Bersalaman, pamit dengan orang tua
Untuk sekadar mengejar cita

Musim kemarau...
Matahari selalu terik
Pun ketika lewat tengah titik
Ada manusia yang hanya mengkritik
Tanpa didik
Oh, bahkan tanpa titik
Tetap saja mengkritik

Binakarya Utama, 24 September 2017
Baca selengkapnya

Saturday, September 16, 2017

Bolidi dan Sepeda Ontel (Bagian 1)


Sumiran adalah seorang sepuh yang jika pergi selalu menggunakan sepeda ontelnya. Sepeda ontel milik Sumiran sudah berumur lebih tua dari usia Sumiran sendiri, di atas 74 tahun. 
Senin pagi itu, Sumiran pergi ke pasar untuk sekadar mencari jamu, tembakau, cengkeh dan paper. Memang pasar di Kecamatan Putra Rumbia hanya buka dua kali dalam seminggu, hari senin dan kamis saja. Selain hari itu, hanya ada beberapa pedagang yang membuka toko untuk menjajakan barang dagangannya.
"Monggo mbah, kulo duluan," tegur Bolidi ketika melewati Sumiran yang asik mengayuh sepedanya.
Sumiran kontan menengok ke kanan, menuju sumber suara. "Ayo le Bolidi. Mau ke pasar juga to?".
"Iya mbah. Kulo duluan, mbah," Bolidi terlihat semakin jauh meninggalkan Sumiran yang sesekali berhenti mengayuh sepedanya.
Sumiran sudah menempuh setengah perjalanan. Jarak antara rumahnya ke pasar sekitar 1 kilometer. Sesampainya di pasar, Sumiran tidak parkir di tempat parkir pasar, dia memilih parkir di halaman rumah Sartono yang berada di sebelah utara pasar.
"Mbah Sumiran baru sampek, mbah?" sapa Bolidi ketika keluar dari keriuhan pasar.
"Iya le. La sampean apa udah selesai belanjanya?" jawab Sumiran yang sedang menyenderkan sepeda di pohon mangga di pinggir jalan.
"Sampun mbah, wong cuma beli baju sepotong".
"Zaman sekarang ini serba cepat ya le. Serba enak."
"Serba cepat gimana, mbah?"
"Dulu itu, sekitar tahun 1975, pasar ini cuma kayak pasar-pasaran. Jalan masih setapak, becek,bangunan masih jelek dengan atap alang-alang, masih kayak hutan. Masih bongkoran daerah kita ini. Kalau mau ke pasar kita harus jalan kaki. Bahkan diawal bukaan desa ini, waktu itu belum adapasar di sini. Kita harus pergi ke pasar lain; Pasar Seputih Banyak atau Pasar Kotagajah dan itu harus berjalan kaki ke Rumbia, lalu  numpang mobil truk jelek untuk ke sana."
Tanpa komando, Bolidi dan Sumiran menuju ke dangkrak. Dangkrak itu berada tak jauh dari pohon mangga tempat ontel itu diparkirkan. Mereka melanjutkan obrolan di atas kursi bambu  yangsekira memiliki ukuran 80 sentimeter lebar dan 2 meter panjang dengan tinggi sekitar 70 sentimeter.
"Sekarang ini kan zaman sudah enak. Jalan diaspal, banyak kendaraan; kuda besi, kinjeng besi, dan kendaraan bermotor."
"Kinjeng besi opo to, mbah?"
"Motor mabur kae lo, le. Kapal mabur."
"Hoalah, tapi kan walaupun zaman yang katanya enak ini. Kita malah banyak masalah, mbah. Banyak petani yang nggak punya tanah akhirnya buruh, banyak petani yang buka lahan malah dimusuhi aparat, hidup sekarang hanya menilai segala sesuatu dengan materi, mbah."
"Aku yo ngerasa begitu le Bolidi. Temenku dulu ada yang takut sama kentara gara-gara buka lahan."
"Tentara, mbah."
"Iya mereka yang pake seragam itu. Dulu, dulu ya. Gaplek itu jadi makanan pengganti beras, jadi nasi tiwul, jadi gatot, bahkan  goreng tempe benguk itu pakai tepung gaplek, Bol. Kita bisa hidup dengan yang ada disekitar kita."
"Nggeh mbah. Sekarang ini Indonesia malah jadi salah satu pengonsumsian beras terbesar dunia, mbah."
"Aku gumun makanya sama orang sekarang, le. Pembangunan maju, tapi ngopo kita malah nggak mandiri. Makin banyak dokter makin banyak penyakit, makin banyak yang pinter makin banyak yang keblinger, akeh seng korupsi."
Pria sepuh itu mengeluarkan sisa rokok yang tinggal setengah dari plastik mbakonya. Sebelumnya batang rokok itu sudah dihisap sebelum berangkat ke pasar. Bolidi hanya memperhatikan gerik Sumiran; menghidupkan korek besi, menyulut rokok, kemudian menyedot dengan kekuatan penuh. Tak lama, kepulan asap putih tebal menutupi muka Sumiran.
"Aku yang sudah tua ini makanya nggak mau aneh-aneh, Bol. Nggak pengen belajar motor, cukup ngontel. Itung-itung sekalian olahraga.”
“Kalo aku kan masih muda, mbah. Jadi ya harus mengikuti perkembangan zaman”
“Boleh mengikuti perkembangan le, yang penting jangan lupa diri,  ojo gembedeojo ngebut-ngebutan kalo motoran. Hidup kan kayak ngayuh sepeda ontel itu, harus terus berjalan biar nggak jatuh. Tapi suatu saat kita harus berhenti untuk istirahat, memperbaiki sepeda, artinya memperbaiki awak. e dewe. Tujuannya agar kita tidak jatuh pada menjadi orang yang sombong to?
“Nggeh mbah.
“Yowes le, aku mau cari mbako dulu.
Kreeeeek.. Dangkrak itu berdenyit saat Bolidi dan Sumiran bangun dari duduk. Mereka berpisah, Bolidi pulang sedangkan Sumiran masuk pasar mencari mbako.

Lukman Hakim

Baca selengkapnya

Saturday, September 2, 2017

Bolidi, Lebaran dan Mati



Dentuman beduk terdengar bersahutan dari satu masjid ke musala yang lain, pertanda waktu magrib telah tiba. Azan pun dikumandangkan, Desa Binakarya Utama tak putus dengan suara susul-menyusul azan yang lebih 10 menit itu.
Usai azan, masjid dan musala tak seperti biasanya. Biasanya terdengar anak-anak bersalawat, puji-pujian. Malam itu masjid dan musala mengumandangkan takbiran pertanda  datangnya  hari besar Islam-Idhul Adha. Magrib itu, Kecamatan Putra Rumbia di kagetkan dengan meninggalnya tokoh agama yang biasa mengimami istighosah kubro. Kyai Suyuti Namanya.
"Kang Mandeng, itu bener nggak Kyai Suyuti meninggal?".
"Sepertinya sih begitu kang Bol. Aku tadi lewat depan rumahnya lagi ramai
orang. Ada suara tangisan ibu-ibu gitu Kang Bolidi".
"Ya Allah, memang mati itu nggak pandang bulu ya kang. Buktinya, sekelas tokoh agama saja bisa meninggal kapan saja".
"Jadi Kang Bolidi baru percaya to  kalo mati itu bisa datang kapan saja?".
"Bukan begitu Kang Mandeng, Mbah Kyai Suyuti itu kan kyai, tokoh agama, terus hari ini beliau itu puasa arafah. Dan besok kang, besok beliau mau kurban kang. Masak Tuhan nggak nunda barang sehari matinya kang? Biar beliau bisa menikmati lebaran kurban bareng keluarga", kesah Bolidi.
"Umur, jodoh dan rejeki bukankah udah ditentukan Allah to kang?.
"Iya aku tau itu Kang Mandeng, tapi aku belum percaya kalau Mbah Kyai Suyuti sudah nggak ada".
Allahuakbar... Allahuakbar... Allahuakbar... La ilahailallah huwallahu akbar... Allahuakbar walilllahilham.
Suara takbiran bocah-bocah kampung di Masjid Nurul Hidayah dusun setempat seolah menjadi suara latar dari perbincangan Bolidi dan Mandeng.
"Mungkin ini bisa jadi pelajaran buat kita yang masih hidup kang Bolidi".
"Bener Kang Mandeng", sahut Bolidi sembari menyangga rahang kanannya dalam posisi bersila.
"Apalagi kita ini bukan tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat atau tokoh lain kang Bol".
Sambil mengubah tubuh dalam posisi tegak Bolidi berujar, "Kita juga nggak termasuk tokoh bangunan atau tokoh beras Kang Mandeng".
"Ha-ha-ha", sontak tawa Bolidi dan Mandeng pecah ditengah obrolan mereka soal mati.
"Ini obrolan kita soal mati Kang Bol, jangan guyon. Saru!!!".
"Amit Kang Mandeng. Aku coba menghibur diri biar suasana juga nggak serem kang".
"Intinya mati itu nggak melihat siapa kita, apa jabatan kita, atau sepinter apapun kita".
"Wah, Kang Mandeng ini bener lagi".
"Aku makanya ngeri campur prihatin Kang Bol".
"Ngeri kenapa kang? Kalau mau campur yang enak ya campur es, campur roti, campur susu atau campur ayam goreng kang. Whehehe", timpal Bolidi cengengesan.
"Ah, guyon terus sampean ini kang Bol".
"Amit Kang Mandeng. Lah ngeri campur prihatin gimana yang Kang Mandeng maksud?"
"Apakah aku ini masih bangga dan sombong diri, sombong dengan jabatan, sombong dengan ilmu sehingga merendahkan orang lain. Wong mati itu selalu mengintai kita".
"Kalau aku gimana Kang Mandeng masih sombong nggak?", tanya Bolidi serius.
"Sampean jawab sendiri kang. Kang Bolidi pasti lebih tau kondisi awak.e dewe to?".
"Aku bingung jawabnya kang. Yang penting aku berusaha jadi orang baik".
"Semoga kita mati dalam keadaan khusnul khotimah ya Kang Bol".
"Kalau aku pengen mati khusnul siapa ya? Emmmmm...
Yang penting nggak merepotkan orang ajalah Kang Mandeng. Tapi orang mengenang kebaikan ku".

Baca selengkapnya