Saturday, September 16, 2017

Bolidi dan Sepeda Ontel (Bagian 1)


Sumiran adalah seorang sepuh yang jika pergi selalu menggunakan sepeda ontelnya. Sepeda ontel milik Sumiran sudah berumur lebih tua dari usia Sumiran sendiri, di atas 74 tahun. 
Senin pagi itu, Sumiran pergi ke pasar untuk sekadar mencari jamu, tembakau, cengkeh dan paper. Memang pasar di Kecamatan Putra Rumbia hanya buka dua kali dalam seminggu, hari senin dan kamis saja. Selain hari itu, hanya ada beberapa pedagang yang membuka toko untuk menjajakan barang dagangannya.
"Monggo mbah, kulo duluan," tegur Bolidi ketika melewati Sumiran yang asik mengayuh sepedanya.
Sumiran kontan menengok ke kanan, menuju sumber suara. "Ayo le Bolidi. Mau ke pasar juga to?".
"Iya mbah. Kulo duluan, mbah," Bolidi terlihat semakin jauh meninggalkan Sumiran yang sesekali berhenti mengayuh sepedanya.
Sumiran sudah menempuh setengah perjalanan. Jarak antara rumahnya ke pasar sekitar 1 kilometer. Sesampainya di pasar, Sumiran tidak parkir di tempat parkir pasar, dia memilih parkir di halaman rumah Sartono yang berada di sebelah utara pasar.
"Mbah Sumiran baru sampek, mbah?" sapa Bolidi ketika keluar dari keriuhan pasar.
"Iya le. La sampean apa udah selesai belanjanya?" jawab Sumiran yang sedang menyenderkan sepeda di pohon mangga di pinggir jalan.
"Sampun mbah, wong cuma beli baju sepotong".
"Zaman sekarang ini serba cepat ya le. Serba enak."
"Serba cepat gimana, mbah?"
"Dulu itu, sekitar tahun 1975, pasar ini cuma kayak pasar-pasaran. Jalan masih setapak, becek,bangunan masih jelek dengan atap alang-alang, masih kayak hutan. Masih bongkoran daerah kita ini. Kalau mau ke pasar kita harus jalan kaki. Bahkan diawal bukaan desa ini, waktu itu belum adapasar di sini. Kita harus pergi ke pasar lain; Pasar Seputih Banyak atau Pasar Kotagajah dan itu harus berjalan kaki ke Rumbia, lalu  numpang mobil truk jelek untuk ke sana."
Tanpa komando, Bolidi dan Sumiran menuju ke dangkrak. Dangkrak itu berada tak jauh dari pohon mangga tempat ontel itu diparkirkan. Mereka melanjutkan obrolan di atas kursi bambu  yangsekira memiliki ukuran 80 sentimeter lebar dan 2 meter panjang dengan tinggi sekitar 70 sentimeter.
"Sekarang ini kan zaman sudah enak. Jalan diaspal, banyak kendaraan; kuda besi, kinjeng besi, dan kendaraan bermotor."
"Kinjeng besi opo to, mbah?"
"Motor mabur kae lo, le. Kapal mabur."
"Hoalah, tapi kan walaupun zaman yang katanya enak ini. Kita malah banyak masalah, mbah. Banyak petani yang nggak punya tanah akhirnya buruh, banyak petani yang buka lahan malah dimusuhi aparat, hidup sekarang hanya menilai segala sesuatu dengan materi, mbah."
"Aku yo ngerasa begitu le Bolidi. Temenku dulu ada yang takut sama kentara gara-gara buka lahan."
"Tentara, mbah."
"Iya mereka yang pake seragam itu. Dulu, dulu ya. Gaplek itu jadi makanan pengganti beras, jadi nasi tiwul, jadi gatot, bahkan  goreng tempe benguk itu pakai tepung gaplek, Bol. Kita bisa hidup dengan yang ada disekitar kita."
"Nggeh mbah. Sekarang ini Indonesia malah jadi salah satu pengonsumsian beras terbesar dunia, mbah."
"Aku gumun makanya sama orang sekarang, le. Pembangunan maju, tapi ngopo kita malah nggak mandiri. Makin banyak dokter makin banyak penyakit, makin banyak yang pinter makin banyak yang keblinger, akeh seng korupsi."
Pria sepuh itu mengeluarkan sisa rokok yang tinggal setengah dari plastik mbakonya. Sebelumnya batang rokok itu sudah dihisap sebelum berangkat ke pasar. Bolidi hanya memperhatikan gerik Sumiran; menghidupkan korek besi, menyulut rokok, kemudian menyedot dengan kekuatan penuh. Tak lama, kepulan asap putih tebal menutupi muka Sumiran.
"Aku yang sudah tua ini makanya nggak mau aneh-aneh, Bol. Nggak pengen belajar motor, cukup ngontel. Itung-itung sekalian olahraga.”
“Kalo aku kan masih muda, mbah. Jadi ya harus mengikuti perkembangan zaman”
“Boleh mengikuti perkembangan le, yang penting jangan lupa diri,  ojo gembedeojo ngebut-ngebutan kalo motoran. Hidup kan kayak ngayuh sepeda ontel itu, harus terus berjalan biar nggak jatuh. Tapi suatu saat kita harus berhenti untuk istirahat, memperbaiki sepeda, artinya memperbaiki awak. e dewe. Tujuannya agar kita tidak jatuh pada menjadi orang yang sombong to?
“Nggeh mbah.
“Yowes le, aku mau cari mbako dulu.
Kreeeeek.. Dangkrak itu berdenyit saat Bolidi dan Sumiran bangun dari duduk. Mereka berpisah, Bolidi pulang sedangkan Sumiran masuk pasar mencari mbako.

Lukman Hakim

Bagikan

Jangan lewatkan

Bolidi dan Sepeda Ontel (Bagian 1)
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.