Thursday, September 29, 2016

Metro Wedusan


Lukman Hakim
Kontributor berita pojoksamber.com
Muhdi Sedang Melihat Kandang Kambing

Wedusan adalah sebutan yang melekat pada kelurahan Hadimulyo Timur Kecamatan Metro Pusat, Kota Metro. Sebutan ini berasal dari kebiasaan masyarakat Hadimulyo Timur yang memelihara dan melakukan aktifitas jual-beli kambing. Kambing dalam bahasa jawa disebut wedus. Sebutan Metro wedusan sudah muncul sejak tahun 1960an.
Menurut penuturan Muhdi, warga yang tinggal di Kelurahan Hadimulyo Timur sejak 1967, orang yang mula-mula tinggal di Kelurahan Hadimulyo memiliki kebiasaan memelihara kambing. Kebiasaan memilihara kambing telah masyarakat lakukan sebelum masuk ke Lampung, setelah mengikuti program transmigrasi dari pemerintah dan pindah ke Lampung, kebiasaan masyarakat dalam memelihara kambing tidak surut, malah lestari dan berkembang secara turun-temurun.
Muhdi juga mengatakan bahwa sebutan wedusan merupakan nama yang disematkan oleh tokoh agama, Kyai Mahfud Sidik. Kyai yang bekerja di kantor penerangan agama ini mengatakan bahwa masyarakat Hadimulyo pada saat itu, melangsungkan pernikahan dengan tetangga yang masih memiliki hubungan persaudaraan yang dekat. Dalam satu keluaarga, kakak menikah dengan kakak, adik menikah dengan adik.  Padahal pernikahan yang memilki hubungan kekerabatan dekat akan berpotensi menyebabkan keturunan hasil pernikahan memiliki daya kecerdasan rendah.
“Ibaratnya, saat kambing sampai pada musim kawin, maka kambing tidak memandang apakah kambing yang dikawini itu anaknya, saudaranya atau masih berkerabat dekat. Yang penting bisa kawin, itu yang ada dibenak kambing. Maka  kambing bebas kawin dengan siapa saja”, Muhdi menjelaskan. Demikian sebutan Metro wedusan menurut Kyai Mahfud Sidik.
Orang yang telah bergelut dalam jual beli kambing di Kelurahan Hadimulyo−dulu sebelum pecah menjadi Kelurahan Hadimulyo Timur dan Hadimulyo Barat, Hadimulyo adalah nama kelurahan di Kecamatan Metro Raya yaitu sebelum Metro menjadi kota administratif pada tahun 1986− yaitu Umar dan Asnawi. Mereka telah memulai aktifitas jual beli kambing sekitar tahun 1960an. Selain memelihara kambing, aktifitas jual beli kambing merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Hadimulyo pada waktu itu.
Kambing-kambing yang ditampung sementara oleh Umar dan Asnawi dibeli dari pedagang atau petani yang berada di sekitaran Bangun Rejo, Kali Rejo, Kota Gajah, Punggur, Bandar Jaya dan beberapa daerah di seputaran Metro. Sebelum dijual ke luar kota seperti Jakarta, Jambi, Palembang, atau Batam, kambing-kambing ditampung di kandang dalam kurun beberapa hari. Kambing-kambing ini mendapatkan pemeriksaan kesehatan yang ketat dari dinas kesehatan untuk memastikan kambing dalam kondisi layak konsumsi.
Awal perkembangan jual beli kambing di Kelurahan Hadimulyo, setiap blantik kambing hanya dapat mengisi satu kandang dengan  2-3 kotak yang setiap kotaknya berisi satu atau dua ekor kambing. Artinya ada sekitar 2-6 ekor kambing yang ada di kandang penampungan. Untuk saat ini, dalam satu kandang, penampung bisa memelihara lebih dari 20 ekor kambing.
Setelah generasi  Umar dan Asnawi,  aktifitas bisnis kambing dilanjutkan oleh Syahri, Wiyoto, Winoto, Joni, Doni, Haji Wahab, Badrun, Kaulan dan orang-orang yang ada di Kelurahan Hadimulyo Timur. Bisa dikatakan mereka adalah generasi kedua setelah Umar dan Asnawi.
Salah satu keluarga yang secara turun-temurun menggeluti usaha jual beli kambing adalah Asnawi, Badrun dan Iwan. Mereka adalah tiga generasi dalam satu garis keturunan yang berjibaku dalam bisnis jual beli kambing. Diawali oleh Asnawi yang memulai bisnis wedus sejak tahun 1960an, kemudian dilanjutkan oleh anaknya Badrun. Sekarang Badrun dibantu oleh Iwan dalam pemeliharaan dan perawatan kambing-kambing yang ditampung sementara dikandangnya.    
Menurut penuturan Iwan, sekali pengiriman kambing ke luar daerah, biasanya tidak kurang dari 50 kambing yang diangkut kendaraan. Permintaan kambing akan meningkat menjelang hari raya Idul Adha, pasca Idul Adha sampai tenggat waktu satu bulan, biasanya permintaan daging atau kambing hidup akan menurun karena masyarakat masih menikmati daging-daging  kurban Idul Adha. Setelah itu, harga daging dan kambing hidup akan normal kembali.
Jenis kambing yang diperjual belikan oleh penampung diantaranya jenis prambon, koploh, kambing kacang, etawa dan beberapa jenis lain. Tetapi karena pemasaran kambing etawa−kambing penghasil susu− kurang bagus, penampung memutuskan hanya menjual belikan jenis kambing pedaging seperti prambon, koploh, dan jenis kacang.
Selain jual beli kambing, Iwan juga mengolah kulit-kulit kambing menjadi kikil. Kikil didatangkan dari pulau Jawa. Dalam satu bulan biasanya Iwan dapat mengolah kikil sebanyak 2-3 kuintal kikil basah. Kikil-kikil dipasarkan di sekitaran Metro, Batanghari, ada pula permintaan dari konsumen Seputih Raman.
Sebutan wedusan membuat warga Kelurahan Hadimulyo Timur kreatif dalam memanfaatkan kambing-kambing yang ada. Dijual belikan, dibuat kikil kulitnya, dan kotorannya dimanfaatkan sebagai pupuk alami yang menyuburkan tanah.
Saat ini, pasar kambing yang ada di Metro hanya di pasar 24 Tejo Agung. Dulu pernah ada pasar kambing di sekitaran pasar pagi Cendrawasih. Tapi karena penyempitan lahan, pembangunan toko di sana sini, akhirnya mau tidak mau pasar kambing di pasar Cendrawasih harus tutup.


Baca selengkapnya

Thursday, September 22, 2016

Negeri Tua dan Geger 65

Lukman Hakim
Peminat Kajian Sejarah
Wawancara penulis Bersama Mbah Romlah
Peristiwa G-30-S menyisakan beragam cerita dan kenangan dalam ingatan mereka yang pernah menjadi bagian di dalamnya. Lakon Geger 65 yang telah berakhir, kini meninggalkan sepenggal cerita dari orang-orang yang pernah hidup bersama peristiwa tersebut.
Desa Negeri Tua Kecamatan Marga Tiga Kabupaten Lampung Timur adalah salah satu desa yang menjadi bagian dari riuh−senyap geger 65 yang menyisakan banyak tanda tanya bagi rakyat Indonesia. Cerita tentang peritiwa 65 yang terjadi di Desa Negeri Tua, seperti yang ditututurkan oleh Suwarno[1], bahwa masyarakat yang dianggap terlibat yaitu masyarakat yang ada di Dusun Kota Banyu Bawah, dan salah satu RT di Dusun 1 Menanga Sari yang terkenal dengan sebutan Palis.
Penangkapan terhadap orang-orang yang tertuduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) karena mereka bergabung dengan organisasi yang teralifiasi dengan organisasi PKI seperti bergabung dengan organisasi Gerakan Tani Indonesia (GTI), Barisan Tani Indonesia (BTI) atau Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA).
Bergabungnya masyarakat Kota Banyu dengan BTI dan GTI karena diiming-imingi sejumlah beberapa hektar tanah oleh pengurus PKI. Masyarakat Dusun 4 dan 5 Tulung Aman tidak berminat untuk bergabung dengan BTI dan GTI karena kalkulasi hasil panen mereka selama satu tahun sudah cukup untuk membeli satu hektar tanah.
Sebanyak 32 orang dari Dusun Kota Banyu Bawah menjadi tahanan politik, dan 4 orang dari Palis Dusun 1 Desa Negeri Tua.  Mereka yang berasal dari Kota Banyu yang diangggap terlibat yaitu Pondrio, Cikri, Sakri, Sakip, Sutiman, Tukiman, Diryo, Jiman, Suji dan beberapa nama yang tidak diketahui namanya. Sedangkan 4 orang yang berasal dari Palis yaitu Marsono, Wagio, Wagino dan satu nama yang tak dapat diingat. Itulah nama-nama yang dalam ingatan Suwarno, mereka menjadi tahanan politik yang ditahan mulai dari 10 bulan atau ada yang mencapai 6 tahun kurungan penjara.
Orang-orang di Desa Negeri Tua masuk dalam kategori tahanan politik (Tapol) C yaitu mereka yang sekedar menjadi anggota massa PKI atau organisasi yang teralifiasi, tanpa memerankan tugas aktif kepemimpinan. Warga yang terlibat dalam GTI, BTI dan LEKRA adalah orang-orang yang berasal dari desa tetangga, Desa Mekar Sari yang kemudian pindah ke Dusun Kota Banyu untuk membuka tanah tinggal dan tanah garapan.
Wawancara penulis Bersama Mbah Suwarno

Romlah[2], salah warga Dusun Kota Banyu menuturkan, sebelum pecah peristiwa 30 September 1965, jumlah warga Kota Banyu Atas dan Bawah mencapai 400 kepala keluarga. Wilayahnya pun tak terpisah seperti sekarang ini. Dari Kota Banyu Atas sampai Kota Banyu bawah atau sebaliknya penuh dengan rumah, pekarangan yang sekarang kosong pun dulu penuh terisi oleh rumah-rumah warga. Rumah warga tidak hanya berada di tepi jalan utama, tetapi berderet juga ke belakang, ada dua atau tiga jalur ke belakang rumah warga berbaris rapi. Setelah pecahnya peristiwa G-30-S, warga memutuskan untuk pergi meninggalkan dusun ini dan pindah ke daerah lain. Sebagian dari mereka masih bertahan, seperti Romlah dan beberapa warga lain.
Romlah yang masuk ke Dusun Kota Banyu pada tahun 1962, menceritakan tentang zaman gilang yang melanda di tahun 1961. Zaman Gilang yaitu paceklik yang tingkat keparahannya terberat sepanjang peceklik yang pernah dialami oleh Romlah. Pada waktu paceklik gilang melanda, orang-orang membeli pohon aren, kemudian dibuka batangnya untuk diambil isi batang, dan ditumbuk untuk diambil acinya sebagai bahan makanan. Pada paceklik tahun 1961, orang-orang sangat kesulitan mencari bahan makanan seperti mencari gaplek, apalagi beras.
Sewaktu paceklik gilang, Romlah berada di Desa Sambi Karto Kecamatan Sekampung. Musim kemarau pada saat itu berlangsung sampai 7 bulan sehingga para warga kesulitan untuk mencari bahan makanan.
Kemudian terjadi musim paceklik tahun 1963, tepatnya setelah Romlah tinggal 1 tahun di Desa Negeri Tua Kecamatan Marga Tiga. Di musim paceklik tahun 1963, masyarkat di Dusun Kota Banyu tidak merasakan kekhawatiran seperti paceklik sebelumnya. Haji Abdullah, salah seorang warga di Desa Negeri Tua memiliki peladangan singkong yang luas, kemudian singkong-singkong itu dibuat gaplek oleh masyarakat.
Sepanjang Kota Banyu Atas sampai perbatasan kali sesek−perbatasan antara Dusun Kota Banyu dan Desa di Kecamatan Sekampung−hampir semua ladang Haji Abdullah ditanami singkong. Dan orang-orang ikut nggaplek, dalam setengah hari orang-orang akan merasa lelah jika memanen sepuluh batang pohon karena singkong yang subur dan besar buahnya. Singkong yang dihasilkan ladang Haji Abdullah besarnya mencapai paha orang dewasa.
Orang yang ikut nggaplek tidak hanya warga di Dusun  Kota banyu, tetapi ada juga dari Desa Sambi Karto, Sumber Sari, setiap orang yang mendengar pembuatan gaplek maka mereka berbondong-bondong ikut. Haji Dullah begitu panggilan akrab Haji Abdullah, membagi setengah bagian antara dirinya dan orang yang ikut membuat gaplek.
Sebelum dibuka menjadi dusun di Desa Negeri Tua, peladangan di Dusun Kota Banyu adalah milik Haji Abdullah, tapi karena akan dijadikan sebuah dusun, kemudian Haji Dullah mengapling dan menjual kepada masyarakat yang baru pindah ke Dusun Kota Banyu.
Setelah geger 65, seluruh masyarakat di Kota Banyu Bawah ditangkap karena dianggap terlibat dalam peristiwa G-30-S. sedangkan masyarakat di Kota Banyu Atas tidak ditangkap karena memiliki kartu anggota warga Nahdatul Ulama (NU).
Sebelum kabar berhembusnya PKI, pemimpin Suriah NU, Masrur dari Desa Sumber Sari Kecamatan Sekampung, yang merupakan anak dari bibinya Romlah telah dulu menginisiasi dibuatnya kartu tanda pengenal anggota NU untuk berjaga-jaga. Mbah kyai Tresno yang saat itu menjabat sebagai Majelis Wakil Cabang Nahdhatul Ulama (MWCNU) Sekampung juga mendukung pembuatan kartu tanda anggota tersebut.
Masyarakat Kota Banyu Atas kebanyakan adalah orang-orang pindahan dari desa tetangga seperti Sumber Sari, Mekar sari sehingga kebanyakan adalah santri dari pondok di Sekampung. Hubungan antara orang-orang di Kota Banyu Atas dan pengurus NU di Sekampung terjalin dengan baik sehingga masyarakat Kota Banyu Atas tidak ada yang tertuduh sebagai anggota PKI.
Kesenian Obrok adalah salah satu kesenian yang berkembang pesat di Dusun Kota Banyu Bawah pada tahun 1964-1965. Kesenian obrok dianggap terlibat dalam peristiwa 65 karena terafiliasi dengan PKI. Obrok adalah kesenian sejenis wayang orang, dimana muatan tampilannya sering menyindir pemerintah.
Kerno adalah salah satu pegiat kesenian obrok di Kota Banyu Bawah. Pada akhirnya Kerno tidak berstatus eks-PKI karena tidak turut tanda tangan dalam pengakuan dan pembubaran PKI di daerah setempat.
Suatu malam pada tahun 1965, Romlah bersama suami memutuskan pulang karena tidak tertarik dengan penampilan kesenian obrok. Ketika menuju rumah, Romlah bertemu beberapa polisi di kali watu untuk mencari orang-orang yang sedang berjudi di sana. Kali watu merupakan sebuah kali kecil yang saat musim kemarau kering tidak ada air mengalir, kali watu memisahkan antara Kota Banyu Atas dan Kota Banyu Bawah.
Di dekat rumah Sakun, polisi bertanya kepada Romlah dan suaminya, “ada Judi?”, “ada dibelakang”. Kemudian salah satu anggota polisi yang lain berbisik, “jangan tanya-tanya”. Akhirnya beberapa polisi melanjutkan perjalanan menuju penampilan kesenian obrok, sedangkan Romlah yang saat itu menggendong anakny yang masih bayi, juga melanjutkan perjalanan menuju rumah bersama sang suami.
Tidak lama setelah sampai di rumah, pada saat itu tetangga Romlah, Mulyadi sedang membuat atap masjid yang bahan bakunya ilalang. Mulyadi yang berada di masjid sebelah barat rumah Romlah menyaksikan manusia berhamburan seperti semut yang disiram air. Dan polisi yang menanyai Romlah sudah menggiring seluruh anggota kesenian obrok dan membawa ke arah timur menuju mobil di seberang jalan. Mereka semua ditangkap.
Peristiwa penangkapan anggota kesenian obrok ini terjadi mendekati geger 65. Setelah peristiwa penangkapan anggota kesenian obrok, tidak lama kemudian terdengar kabar bahwa terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap para jenderal yang mayatnya dimasukkan di lubang buaya.
Lagu genjer-genjer juga sering dinyanyikan di penampilan kesenian obrok, memang lagu ini sudah banyak dinyanyikan dimana-mana. “Kesenian obrok juga nyanyi lagu genjer-genjer”, jelas Romlah.
Seluruh masyarakat Kota Banyu Bawah tergabung dalam BTI dan diperintahkan untuk menandatangi pembubaran PKI. Mereka kemudian diberi label eks-PKI, setiap hari mereka diperintahkan untuk bergotong royong membangun jalan, ikut dalam pembangunan-pembangunan yang dilakukan pemerinatah. Mereka semua dikenai wajib lapor.
Mereka yang dianggap eks-PKI kemudian keluar dari Dusun Kota Banyu, pergi ke Menggala, Bawang putih, dan berbagai daerah untuk mencari hidup masing-masing.
“Orang seperti saya, jika tidak teguh imannya maka ingin sekali untuk pergi dari kampung ini. Tapi jika mau pergi, pergi kemana, semua keadaaan waktu itu sama saja, mencekam, mengerikan”. Tegas Romlah. Dimana pun, waktu peritiwa 65, Indonesia sedang geger. Jika malam menjelang, orang-orang tidak dapat tidur karena was-was dengan berbagai kejadian. Setiap malam selepas isya, polisi datang, terdengar suara sepatu “prok-prok-prok”, dan tidak lama setelah itu ada warga yang di tangkap dan diangkut ke dalam mobil yang terletak di ujung jalan sebelah timur, sekitar 400 meter dari lokasi penangkapan.
Polisi yang berjumlah sekitar 6 orang setiap malam datang untuk menagkap warga di Dusun Kota Banyu Bsawah. Mereka yang ditangkap, kemudian di tali seluruh tubuh dan di lempar ke dalam mobil,  pemandangan seperti ini disaksikan setiap malam oleh masyarakat Kota Banyu. Pemandangan seperti ini menyebabkan warga was-was untuk melakukan aktifitas. Siang yang harusnya bekerja, tapi masyarakat enggan melakukannya, masyarakat tidak enak makan, tidak semangat bekerja.
Masyarakat Kota Banyu Atas pernah diancam akan dibunuh oleh anggota PKI. Algojo, pemuda rakyat sudah datang dari kali sesek menuju Kota Banyu Atas. Karena Tuhan tidak berkehendak demikian maka masyarakat Kota Banyu akhirnya selamat. Polisi datang dari arah barat, dari kali sesek dengan sergap polisi menangkap orang-orang yang dianggap akan membunuh warga.
Banyak orang-orang Dusun Kota Banyu Bawah yang akhirnya tertuduh sebagai orang yang terlibat dalam gerakan 30 september 1965. Tidak ada orang yang dibunuh, tapi kemudian ada orang yang hilang pada rangkaian peritiwa Gestok (Gerakan Satu Oktober). Mereka diibaratkan orang yang digigit, mereka tidak berbuat salah, tapi mereka yang harus bertanggung jawab. Mereka yang dihilangkan adalah Cikri dan Songko dari Dusun Kota Banyu. Cikri merupakan ketua PKI yang ada di Dusun Kota Banyu Bawah, sedangkan Songko masuk dalam jajaran pengurus di PKI.  
Ketua Barisan Tani Indonesia (BTI) berada di Desa Bawang Putih. Di depan rumah ketua BTI, tertulis kata “USDEK” di geribik rumahnya. Istilah USDEK lebih terkenal dengan Manipol/USDEK yang merupakan akronim dari Manifesto politik/Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia yang oleh presiden Soekarno dijadikan sebagai haluan Indonesia.
Suasana di Desa Negeri Tua, utamanya Dusun Kota Banyu sangat mencekam. Berbeda dengan masyarakat di kecamatan Sekampung yang dekat dengan kalangan kyai dan para santri. Rasa susah, bingung membayangi setiap hari. Ketika mendengar berita di radio soal geger 65, orang-orang merasa takut, khawatir dan susah. Suasana mencekam saat geger 65 lebih terasa mengerikan jika dibandingkan dengan pemberontakan PKI di tahun 1948 di Madiun.”Ketika di Madiun, masa kecil dulu saya hanya lari ke sana ke mari dan tidak merasa segetir ini”, terang Romlah.
Ada cerita menarik soal anggota Ansor, mereka tidak dipersenjatai dengan pedang, badik atau senjata tajam. Saat itu, mereka membawa rotan sebagai senjata yang dibawa menyisir mencari anggota PKI. Menurut penuturan Romlah, rotan itu jika disabetkan ke rumah, maka rumah bisa terbakar. Rotan-rotan ini kemudian ditarik oleh Kyai Joyo Ulomo seiring dengan surutnya isu tentang PKI.
Di sekampung, anak-anak di bawah umur di rekrut menjadi anggota pemuda rakyat. Pemuda rakyat adalah sayap organisasi pemuda dari Partai Komunias Indonesia (PKI). “Perekrutan pemuda rakyat saya rasa ngawur karena melibatkan anak-anak di bawah umur”, jelas Romlah.





                [1] Wawancara dengan Suwarno, Sekretaris Desa Negeri Tua periode 1985-2015, pada 27 Agustus 2016. Suwarno lahir di Banyumas pada 5 Agustus 1938, tetapi di identitas kartu tanda penduduk tahun lahir tertulis 1942
                [2] Wawancara dengan Romlah pada 10 September 2016, Mbah Romlah telah tinggal di Dusun Kota Banyu sejak tahun 1962
Baca selengkapnya

Monday, September 12, 2016

Serba Serbi Kurban

Suasana Kurban di Dusun Tulung Aman Desa Negeri Tua Kec. Marga Tiga
Setelah selesai memotong-motong daging hewan kurban, penulis bergegas pulang untuk beristirahat. Belum lama beristirahat, panitia kurban telah membagi-bagikan daging kepada masyarakat. Tak lupa, penulis ikut mendapatkan jatah daging kurban karena telah membantu, walaupun sebenarnya hanya membantu sekedar yang penulis bisa.
Keceriaan tampil di wajah masyarakat Dusun Tulung Aman, tidak lain karena hari besar umat Islam−Idul Adha− tahun ini bisa berjalan serempak seluruh Indonesia. Selain itu, rasa senang muncul karena pada momen idul adha semua masyarakat bisa berkumpul melaksanakan shalat eid berjamaah. Kesempatan dimana masyarakat di suatu dusun bisa berkumpul, saling bertatap muka dan berjabat tangan.   
Musim Idul Adha tahun ini, jumlah hewan kurban di Dusun 5 Desa Negeri Tua cukup banyak, 9 ekor kambing. Jumlahnya meningkat jika dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu 8 ekor kambing, 7 ekor kambing, jika dihitung mundur secara berurutan dari tahun lalu.
Siang setelah daging selesai dibagikan (12/9/16), penulis diminta untuk makan di rumah salah satu warga yang menjadi panitia kurban.  Di kediaman pak Sukamat, penulis terlibat dalam obrolan tiga generasi soal tetek bengek kurban. Dari soal peserta kurban yang jumlahnya  fluktuatif−kadang ada dan kadang tidak ada, atau soal pembagian daging kurban yang kadang menimbulkan masalah di sana- sini.
Penulis sebut obrolan tiga generasi karena pada waktu itu orang-orang yang terlibat dalam perbincangan adalah kakek, anak dan cucu. Mbah Suwarno adalah orang tua dari pak Sukamat, sedangkan pak Sukamat adalah orang tua dari mas Eko. Artinya, penulis berbincang dengan mereka yang sangat dekat dengan keseharian di Dusun Tulung Aman. Mbah Suwarno adalah sesepuh setempat dan termasuk orang pertama yang ikut membuka Dusun Tulung Aman.  Sedangkan pak Sukamat adalah orang yang sejak masa kecil lahir, remaja dan setelah menikah pun memutuskan untuk tinggal di Tulung Aman. Mas Eko pun sama, pasca menikah akhirnya memutuskan untuk menjadi warga Tulung Aman−sekarang sebagai sekretaris Desa Negeri Tua.
“Setiap orang memiliki gagasan yang berbeda soal bagimana teknis pembagian daging kurban”, mbah Warno membuka pembicaraan. Jangan sampai permasalahan kecil akan membawa dampak besar yang berlangsung lama. Istilahnya, jangan karena tidak kebagian satu kilo daging tapi menjadi omongan sampai beberapa lama.
Panitia kurban harus paham untuk siapa saja daging harus dibagikan, “Bukankah daging kurban untuk mereka yang membutuhkan dan untuk warga di sekeliling masjid tempat dilaksanakan kurban, seperti zakat yang diperuntukkan bagi mereka yang sedang membutuhkan”, jelas mbah Warno. Tapi kebanyakan warga tidak memahami hal demikian, semua harus dibagi rata, padahal mereka yang lebih membutuhkan yang harus didahulukan dan mendapatkan jatah yang lebih banyak.
Dalam membagi-bagi daging kurban, panitia harus paham jumlah orang-orang yang berhak menerimanya. Panitia harus berjaga-jaga agar jumlah daging yang dibagikan tidak kurang, oleh karenanya saat penghitungan jumlah penerima, jumlah daging harus dilebihkan dari data penerima yang ada. “Jika ada 100 orang penerima kurban maka panitia harus menyiapkan 110 bagian untuk berjaga-jaga agar tidak terjadi warga yang tidak kebagian”, jelas pak Sukamat. Artinya harus ada persiapan jika ada warga lain yang datang, walaupun tidak meminta, pasti panitia menyediakan untuk mereka walaupun hanya setengah bagian dari yang wajib menerima jatah.
“Tetapi untuk  tahun ini, panitia tidak menyediakan jatah untuk mereka yang main ke sini”, sahut mas Eko. Daging kurban dibagikan untuk warga sekitar saja. Untuk masyarakat di Dusun 5, dan beberapa penerima yang berasal dari dusun 4 Tulung Aman. 
Yang terpenting bukanlah seberapa banyak jumlah daging yang diperoleh, tetapi upaya merawat sikap gotong royong antar warga masyarakat, menjaga hubungan harmonis dengan guyonan dan sarat dengan pesan untuk membangun hubungan sosial masyarakat!



 

Baca selengkapnya