Wednesday, November 29, 2017

Bolidi dan Gotong Royong

Pagi itu angin pelan berhembus, menerpa Bolidi dan Kadirun yang berjalan pulang dari masjid selepas salat subuh.
"Nanti sampean ikut sambatan nanem padi di ladang Kang Wito nggak, Run?" tanya Bolidi kepada Kadirun.
"Belum tahu, Bol. Soalnya aku nanti mau kerja di tempat Pak Misno"
Sepagi itu sudah ada kucing liar bertengkar yang tak tahu sedang memperebutkan apa. Suaranya terdengar sangat jelas karena pagi itu belum ada suara kendaraan atau manusia yang sedang berbincang.
"Hus, hus, hus." Bolidi mencoba melerai kucing tersebut. Tapi tetap saja kucing itu bertengkar, Bolidi dan Kadirun berlalu.
"Gotong royong, sambatan itu penting lo, Run. Kita nanti kan bisa berkumpul sama tetangga, ngobrol-ngobrol juga pas di ladang"
"Sampean bener, Bol. Tapi ya mau gimana lagi. Aku ini kan petani yang nggak punya ladang, biasa buruh. Kalau aku nggak kerja ya nggak bisa dapat uang. Aku juga punya keluarga; anak dan istri yang harus dipenuhi kebutuhannya. Biaya sekolah anak, kebutuhan sehari-hari, begitu lo, Bol." jawab Kadirun.
"Iya aku tahu, Run. Tapi kalau nggak salah nanti di tempat Kang Wito di kasih upah, kita dibayar," jelas Bolidi kepada Kadirun.
"Wah, alhamdulillah kalau begitu. Tapi aku sudah janji duluan mau kerja di tempat Pak Misno. Jadi ya tetap nggak bisa ikut sambatan di tempat Kang Wito," jawab Kadirun yang sudah sampai di pinggir jalan depan rumahnya.
"Mampir dulu, Bol. Kita ngopi sambil ngobrol-ngobrol dulu," ajak Kadirun.
"Aku langsung lanjut aja, Run."
Bolidi melanjutkan perjalanan menuju rumahnya yang jaraknya sepuluh rumah dari rumah Kadirun menuju selatan. Sedangkan Masjid Nurul Hidayah yang mereka datangi untuk salat subuh berjamaah berjarak lima belas rumah arah utara dari rumah Kadirun.
"Sekarang ini budaya gotong royong sudah terkikis dimasyarakat. Nggak kayak dulu zamanku kecil. Sekarang ini apa-apa harus diukur dengan duit. Tapi memang ada benarnya juga apa yang dikatakan Kadirun, kalau dia nggak kerja gimana dia mencukupi kebutuhan keluarganya. Sekarang ini sambatan ya dibayar," gerutu Bolidi dalam hati sambil jalan menuju rumahnya.
Baca selengkapnya

Sunday, November 26, 2017

Hajatan: Sebuah Renungan Bersama


Hari Sabtu kemarin (25/11), saya berkesempatan rewang di kediaman orang tua salah satu dosen. Rewang adalah hadirnya seseorang dalam suatu pesta, dimana tujuan kedatangannya diminta untuk membantu saat berlangsungnya pesta sampai dengan acara usai. Istilah rewang ini bisa sangat mudah kita temukan dalam budaya Orang Jawa.
Dari setelah magrib (24/11) saya sudah ada di rumah orang tua Kak Dharma Setyawan, di Desa Srisawahan dekat dengan lokasi wisata warga Dam Raman. Malam itu kami seperti layaknya orang rewang; menata kursi, membantu mempersiapkan temp dudukat tamu, mempersiapkan meja untuk penyambutan tamu, dan semua yang berhubungan dengan persiapan pesta yang akan berlangsung besok paginya.
Saya tak ikut merampungkan pekerjaan malam itu, persiapan lain-lain diselesaikan oleh kawan-kawan #ayokedamraman Desa Srisawahan Lampung Tengah yang malam itu datang seusai yasinan sekitar pukul 22.00 WIB.
Pagi harinya, saya bersama Tomi Nurrohman, Habib Rubai, Elman Darmansyah bergegas ke masjid setempat untuk salat subuh sekalian mandi di sana. Selepas itu, kami menuju rumah dan mempersiapkan peralatan yang akan menjadi alat tempur kami untuk mengabadikan gambar dan video dalam acara pernikahan Mbak Meti dan suaminya.
Sekira pukul 07.00 WIB, kawan-kawan lain yang merupakan bagian dari tim Cangkir Digital Creative (CDC) datang. Elvan Firmansyah (Kembaran Elman Darmansyah), Ajad Sudrajad, Wahyu Eko Prasetyo (Wepo). Tak lama tawa pecah diantara kami. Selalu ada guyonan yang dilontarkan dalam tim CDC ini. Ada saja yang menjadi bahan guyonan, tujuannya tidak lain untuk sekadar menjaga suasana asyik dan yang pasti agar terjalin hubungan yang hangat.  Tak lama Dwi Nugroho datang, dia adalah salah satu editor yang menyelesaikan film Dam Raman tempo hari yang dipresentasikan di acara AICIS 2017 yang bersamaan dengan acara Pendis Expo.
Kami segera mencoba peralatan yang ada; kamera, handycam, tripod, dan semua peralatan yang kami bawa kami coba satu persatu untuk memastikan tak ada kendala. Pagi itu suasana aman, kebersihan sekitar area pesta masih terjaga dan cuaca belum terlalu terik.
Semuanya berubah ketika negara api menyerang. Eh, maksud saya semua berubah ketika tamu/rombongan mempelai lelaki datang. Ketika mereka mulai makan aneka jajanan yang disediakan, minum air mineral yang ada. Sampah mulai berserakan, suasana mulai panas, dan cuaca pun panas dengan naiknya matahari menuju garis poros.
Semua seakan tak peduli, semua orang sedang fokus melihat dan mendengarkan rentetan acara ijab kabul. Setelah selesai ijab kabul pun masih sama, sampah terserah dimana-mana.
Memang di pesta tersebut tak ada petugas khusus yang mengurusi. Terlebih karena di desa, memang tidak ada petugas kebersihan. Ini jamak terjadi di pesta yang diadakan di desa-desa−termasuk Desa Binakarya Utama tempat saya lahir dan besar.
Meriahnya pesta, kebahagiaan mempelai, keriuhan orang yang datang nyumbang/mbecek, menyatu dengan sampah yang ada. Tak ada kotak sampah yang disediakan oleh panitia adalah salah satu yang menyebabkan tamu membuang sampah sembarangan, bisa juga karena kesadaran peduli terhadap sampah masih kurang.
Apapun alasannya, budaya seperti ini jelas kurang baik.  Pada akhirnya kita juga perlu memperhatikan masalah sepele ini sebagai salah satu fokus yang harus diselesaikan. Menyediakan kotak sampah, memberikan instruksi agar membuang sampah ditempat yang telah di sediakan, membayar orang yang fokus mengurus sampah, ini semua bisa direncanakan di awal dan dilakukan pada saat pesta berlangsung. Tujuannya tidak lain adalah untuk menjaga kebersihan, kerapian, dan yang jelas agar lalat gak berkeliaran yang kemudian mengganggu kenyamanan para tamu yang hadir di pesta tersebut.
Selain masalah sampah, saya melihat budaya gotong royong di Desa Srisawhan Lampung Tengah−utamanaya pesta ini−mulai memudar. Mungkin karena sudah masuk kategori desa setengah kota sehingga orang yang rewang bisa di hitung dengan jari. Berbeda dengan budaya rewang di desa tempat tinggal saya dimana orang-orang yang rewang bisa mencapai ratusan.
Di pesta itu saya hanya melihat orang yang memasak, cuci piring, dan orang yang bertugas membuat kopi. Mereka itu adalah orang-orang yang dibayar untuk menopang berlangsungnya pesta. Walaupun pasti ada keluarga, saudara yang membantu mempersiapkan lain-lain tapi jumlahnya tak sebanyak yang ada di desa saya.
Saya melihat pesta yang berlangsung sore itu sangat keteteran karena sedikitnya orang yang rewang. Berbeda dengan di desa saya tinggal, semua masih terkondisi karena banyaknya tenaga yang tersediia. Walaupun untuk urusan memasak sama, sama-sama membayar orang untuk membantu memasak.
Baca selengkapnya

Friday, November 24, 2017

Desa di Ujung Rindu

Suatu senja di Desa. Yeni Ipma

Ada rasa yang tertahan
Menggebu mengusik hati
Apa?
Ah, mungkinkah aku merindu

Serpih kenangan bersama
Teman kecilku

Atau ingatkah kamu
Kita berlagak jadi pemburu
Ikan di rawa-rawa takut berlarian
Mereka yang masuk bubu
Sudah jadi nasib
Pasti masuk perut bersama bumbu

Kepik kita tangkapi
Sekadar mengagumi indah
Suara, warna atau bentuknya
Sesudahnya kita lepas mereka
Karena semua berhak bebas merdeka

Kita punya senjata mematikan
Sebuah pistol laras panjang
Terbuat dari pelapah pisang
Tenanglah tenang
Itu tak akan membunuh atau mematikanmu
Seperti laras panjang sungguhan yang disalahgunakan

Aku memang merindu
Rindu masa kecil di desaku
Kepadamu desa di ujung rindu


Lukman Hakim
Baca selengkapnya

Thursday, November 23, 2017

Bolidi dan Cerita Hape

Suatu sore di warung kopi Mbok Yah, Bolidi berbincang bersama Lek Tekat dan Wagino. Bolidi yang malam itu sedikit meriang memilih kopi pahit sebagai minuman yang di seruput bersama bakwan dan pisang goreng.
"Lek, sampean mau minum apa?" tanya Bolidi kepada Lek Tekat yang baru pertama kali singgah di warung Mbok Yah.
"Kopi Robusta Liwa ya. Jadi kopi dan gula harus pas takarannya biar menghasilkan rasa yang sedap," timpal Lek Tekat.
"Woalah lek-lek, di sini ya nggak ada kopi Robusta Liwa Lampung Barat to. Apalagi kopi arabikanya, ya jelas kosong blong lah. Wes sampean minum kopi lokal saja. Yang ada yang di minum yo lek. Soal rasa jangan di tanya, nggak kalah enak, lek. Wong sama-sama kopi lokalnya to?."
"Woo bocah ini, la sampean tadi kan nawari mau kopi apa, aku ya nawar Kopi Robusta Liwa to, Bol."
"Maaf lek. Kan biar ada basa-basinya lo, lek," jawab Bolidi dengan sedikit slengekan.
"He Wagino! Sampean mau pesen apa?" tanya Bolidi kepada Wagino.
Wagino tak menggubris panggilan Bolidi. Rupa-rupanya Wagino sedang asyik bermain hape android barunya.
"Beginilah kalau orang baru punya hape, lupa dengan orang di sekitarnya. Nggak ngobrol malah asyik sama hapenya sendiri," gerutu Bolidi.
"Heh, Wagino! Sampean mau minum apa?" panggil Bolidi sekali lagi.
Karena tidak mendengar panggilannya, akhirnya Bolidi menghampiri tempat duduk Wagino yang ada di seberang Bolidi. Mereka sebenarnya masih satu meja, Bolidi di sebalah utara sedangkan Wagino berada di selatan. Meja  persegi panjang berukuran 4x1 meter itu terlihat lusuh, berwarna hitam karena daki pelanggan yang sering menempel di sana. Tiap hari daki itu terus bertambah karena pelanggan di warung Mbok Yah tak pernah sepi.
Bolidi terus menggerutu karena merasa jengkel. “Wasu tenan Wagino ini, aku kok malah dikerjain begini,” gumamnya dalam hati.
"Plak!
Sampean mau minum apa?" tanya Bolidi sambil menepuk pundak kiri Wagino.
“Dari tadi aku manggil-manggil sampean, malah sampean ini asyik sendiri main hape.”
Sembari nyengir dan menoleh ke arah Bolidi, Wagino masih memegang hapenya. “Amit Mas Bol, aku lagi njajal hape baru. Aku minum teh aja Mas Bol.”
Bolidi tak menjawab permintaan maaf Wagino. Bolidi pun bergegas menuju dapur untuk menemui Mbok Yah.
“Mbok, pesen teh satu, kopi satu dan kopi pahit satu.”
“Pesen soto nggak, Bol?”
“Nggak mbok”
“Pecele pesen nggak?”
Mboten juga mbok. Cukup ngopi sama makan gorengan aja mbok”
“Yasudah di tunggu dulu. Mbok buatkan dulu teh sama kopinya”
Bolidi bergegas mendekat menuju Lek Tekat sambil mengangkat banggu panjang yang memiliki panjang sama dengan meja tetapi memilki lebar 20 sentimeter. Bangku itu mempunyai tinggi sekitar 40 sentimeter dari tanah, lusuhnya sama dengan meja di warung Mbok Yah.  
“Dengar-dengar sampean sekarang kerja di pemerintahan, lek. Di bagian apa sampean kerjanya?” ujar Bolidi membuka obrolan.
“Kerja di pemerintahan apa. Aku ya tetap jadi pengangguran gini to Bol,” jawab Lek Tekat setelah menghisap rokok berukuran jumbo dan menghembuskan asapnya membumbung ke udara. 
“Sampean selalu ngaku pengangguran, lek. Tapi kerjaannya dolan terus,” timpal Bolidi tanpa menengok Lek Tekat. Mulut Bolidi saat itu penuh dengan bakwan.
“Lah wong dolan itu sudah jadi tuntutan profesi, Bol. Profesi seorang pengangguran,” jawab Lek Tekat dibarengi dengan tawa lepas.
“Wasu sampean, lek. Aku ini tanya beneran lek, malah sampean guyon. Kalau ada kerjaan yang bisa dibagi dan bisa aku kerjakan mbok ya bagi-bagi.”
“Yasudah kalau kamu maksa minta kerjaan, Bol. Nanti malam kamu temeni aku main kartu, main leng. Sudah lama aku nggak main leng. Lumayan, yang kalah nanti mijit yang menang. Aku ini kan belum pernah terkalahkan selama main leng. Aku raja leng, Bol,” kelakar Lek Tekat sambil menghembuskan lagi rokok lintingan yang besarnya sejempol tangan orang dewasa.
“Bmelgedes!! Yasudah nanti kita buktikan lek, siapa yang bakal dipijat dan siapa yang bakal mijit. Aku padahal minta kerjaan, lah malah diajak main kartu. Wasu tenan sampean, lek.
Tak lama kopi pesanan mereka datang.
“Ini kopi pahit untuk Bolidi, ini kopi lokal untuk Lek Tekat,” ujar Mbok Yah yang menaruh kopi di atas meja.
“Matur suwun, mbok,” ujar Bolidi dan Lek Tekat secara bersamaan.
“Ini tehnya buat siapa, Bol?”
“Itu buat si Wagino, mbok.”
Mbok Yah terlihat mengantarkan kopi ke meja Wagino, tapi sedikitpun Wagino tak menggubris keberadaan Mbok Yah. Bahkan ketika Mbok Yah mempersilakan minum kepada Wagino.
“Lihat itu Wagino, lek. Mentang-mentang punya hape baru terus  lali ndunyo. Tahu begitu aku tadi males ngajak dia”
“Wes biarkan saja, Bol. Zaman now ya begitu to. Kalau lagi asyik sama hape ya lupa sama sekitarnya. Lah, sampean apa nggak begitu?”
“Iya sih, lek. Tapi ya nggak nemen banget kayak si Wagino. Wasu tenan kok bocah itu.”
“Wes Bol, sekarang mending kita ngopi dan menyantap gorengan yang ada. Nanti malam kita main kartu, panen pijet kita,” jawab Lek Tekat yang sedang makan pisang kapok goreng sambil terbahak. 

Penulis: Lukman Hakim
Baca selengkapnya

Wednesday, November 22, 2017

Yang Saya Kangen dari Bapak (Bagian Satu)



Kali ini saya akan bercerita tentang masa kecil saya yang penuh dengan keceriaan sekaligus ujian. Hidup di desa dengan berbagai kekurangan membuat saya tidak merasa kurang sama sekali karena waktu kecil saya hanya memikirkan bermain, mengaji, sekolah atau membantu orang tua semampunya saja.
Jika seorang anak laki-laki selalu diidentikkan dekat dengan seorang mamak dan tidak pernah dekat dengan seorang bapak, maka saya akan membantah anggapan itu semua. Saya adalah orang yang menjalin hubungan emosional yang sama kuat antara bapak dan mamak. Sedari kecil saya sudah menjadi orang yang dekat dengan bapak, walaupun bapak sering merantau mobat-mabit mencari rezeki untuk kami anak-anaknya. Tapi ketika beliau pulang ke rumah, beliau selalu menyempatkan bercengkrama dengan kami walaupun dengan suasana apa adanya bapak tetap memperhatikan kami.
Saya memahami betul alasan kenapa bapak tidak banyak membersamai saya dan kami. Desakan ekonomi, alasan itulah yang menyebabkan bapak harus bekerja sebagai buruh pencabut singkong, tukang bangunan, atau merantau membuka lahan register yang tentu akan menghabiskan berbulan-bulan lamanya karena proses mambuka lahan, menanam dan mengurus tanaman di lahan perantauan sampai masa panen datang. Tapi terdakang bapak akan pulang untuk melihat keluarga sesekali sebelum masa panen tiba.
Momen yang menjadi kenangan terindah (ada banyak momen) dengan bapak salah satunya adalah saat saya merengek minta dikeramasi. Bersama dengan adik−Muhammad Alim−biasanya saya akan berebut siapa yang lebih dulu dikeramasi.  Keramas yang saya maksud bukan sekadar keramas biasa, ada sensasi yang sangat menyenangkan sehingga saya merasa kangen dan perlu menuangkannya dalam tulisan.  
Dalam posisi telanjang bulat saya akan dipangku oleh bapak, di pangkuan bapak itulah saya dalam posisi tiduran, di tambah ndangak dan kepala hampir menyentuk tanah. Posisi ini mirip dengan posisi kayang.
Setelah itu bapak akan membasahi rambut saya dengan air yang ada di bak yang telah dipersiapkan sebelumnya, setelah itu bapak akan membasuh rambut saya dengan sampo dan memutar-mutar tangannya sampai sampo rata dirambut saya. Momen itulah yang kadang saya rindukan, ketika saya merem-melek karena takut mata ini kemasukan busa sampo di rambut.
Sambil di elus-elus dengan penuh kasih sayang, bapak kemudian membasuh busa sampo yang tersisa di kepala dengan air, perlahan sampai bersih, sampai tak ada busa lagi. Ketika 'ritual' itu telah usai, saya merasa kegirangan luar biasa. Biasanya saya akan meneruskan dengan mandi sendiri jika adik saya sudah mengantre minta jatah untuk disampo. Ketika tak ada adik, biasanya saya sekalian dimandikan oleh bapak.
Saya masih ingat waktu itu sempat menggunakan sampo merang warna kuning dan warna hijau. Entah dimana produk itu sekarang, mungkin hilang bersama kalahnya persaingan bisnis dan bersama hilangnya sabun batangan yang dulu pernah juga saya gunakan di masa kecil.
Yang jelas, masa kecil bersama bapak tak pernah bisa dilupakan. Tunggu cerita berikutnya tentang momen-momen indah bersama bapak. Jika sempat menulis, saya akan menulis artikel dengan judul “Yang Saya Kangen dari Mamak” dan “Yang Saya Kangen dari Keluarga” sebagai bahan perenungan perjalanan hidup.

Penulis: Lukman Hakim
Baca selengkapnya