Hari Sabtu kemarin
(25/11), saya berkesempatan rewang di
kediaman orang tua salah satu dosen. Rewang
adalah hadirnya seseorang dalam suatu pesta, dimana tujuan kedatangannya
diminta untuk membantu saat berlangsungnya pesta sampai dengan acara usai.
Istilah rewang ini bisa sangat mudah
kita temukan dalam budaya Orang Jawa.
Dari setelah
magrib (24/11) saya sudah ada di rumah orang tua Kak Dharma Setyawan, di Desa
Srisawahan dekat dengan lokasi wisata warga Dam Raman. Malam itu kami seperti
layaknya orang rewang; menata kursi,
membantu mempersiapkan temp dudukat tamu, mempersiapkan meja untuk penyambutan
tamu, dan semua yang berhubungan dengan persiapan pesta yang akan berlangsung
besok paginya.
Saya tak ikut
merampungkan pekerjaan malam itu, persiapan lain-lain diselesaikan oleh
kawan-kawan #ayokedamraman Desa Srisawahan Lampung Tengah yang malam itu datang
seusai yasinan sekitar pukul 22.00 WIB.
Pagi harinya,
saya bersama Tomi Nurrohman, Habib Rubai, Elman Darmansyah bergegas ke masjid
setempat untuk salat subuh sekalian mandi di sana. Selepas itu, kami menuju
rumah dan mempersiapkan peralatan yang akan menjadi alat tempur kami untuk
mengabadikan gambar dan video dalam acara pernikahan Mbak Meti dan suaminya.
Sekira pukul
07.00 WIB, kawan-kawan lain yang merupakan bagian dari tim Cangkir Digital Creative (CDC) datang. Elvan Firmansyah (Kembaran
Elman Darmansyah), Ajad Sudrajad, Wahyu Eko Prasetyo (Wepo). Tak lama tawa
pecah diantara kami. Selalu ada guyonan yang dilontarkan dalam tim CDC ini. Ada
saja yang menjadi bahan guyonan, tujuannya tidak lain untuk sekadar menjaga
suasana asyik dan yang pasti agar terjalin hubungan yang hangat. Tak lama Dwi Nugroho datang, dia adalah salah
satu editor yang menyelesaikan film Dam Raman tempo hari yang dipresentasikan
di acara AICIS 2017 yang bersamaan dengan acara Pendis Expo.
Kami segera
mencoba peralatan yang ada; kamera, handycam,
tripod, dan semua peralatan yang kami
bawa kami coba satu persatu untuk memastikan tak ada kendala. Pagi itu suasana
aman, kebersihan sekitar area pesta masih terjaga dan cuaca belum terlalu
terik.
Semuanya
berubah ketika negara api menyerang. Eh, maksud saya semua berubah ketika
tamu/rombongan mempelai lelaki datang. Ketika mereka mulai makan aneka jajanan
yang disediakan, minum air mineral yang ada. Sampah mulai berserakan, suasana
mulai panas, dan cuaca pun panas dengan naiknya matahari menuju garis poros.
Semua seakan
tak peduli, semua orang sedang fokus melihat dan mendengarkan rentetan acara
ijab kabul. Setelah selesai ijab kabul pun masih sama, sampah terserah
dimana-mana.
Memang di pesta
tersebut tak ada petugas khusus yang mengurusi. Terlebih karena di desa, memang
tidak ada petugas kebersihan. Ini jamak terjadi di pesta yang diadakan di
desa-desa−termasuk Desa Binakarya Utama tempat saya lahir dan besar.
Meriahnya
pesta, kebahagiaan mempelai, keriuhan orang yang datang nyumbang/mbecek, menyatu dengan sampah yang ada.
Tak ada kotak sampah yang disediakan oleh panitia adalah salah satu yang
menyebabkan tamu membuang sampah sembarangan, bisa juga karena kesadaran peduli
terhadap sampah masih kurang.
Apapun
alasannya, budaya seperti ini jelas kurang baik. Pada akhirnya kita juga perlu memperhatikan
masalah sepele ini sebagai salah satu fokus yang harus diselesaikan.
Menyediakan kotak sampah, memberikan instruksi agar membuang sampah ditempat
yang telah di sediakan, membayar orang yang fokus mengurus sampah, ini semua
bisa direncanakan di awal dan dilakukan pada saat pesta berlangsung. Tujuannya
tidak lain adalah untuk menjaga kebersihan, kerapian, dan yang jelas agar lalat
gak berkeliaran yang kemudian mengganggu kenyamanan para tamu yang hadir di
pesta tersebut.
Selain masalah
sampah, saya melihat budaya gotong royong di Desa Srisawhan Lampung Tengah−utamanaya
pesta ini−mulai memudar. Mungkin karena sudah masuk kategori desa setengah kota
sehingga orang yang rewang bisa di
hitung dengan jari. Berbeda dengan budaya rewang di desa tempat tinggal saya
dimana orang-orang yang rewang bisa
mencapai ratusan.
Di pesta itu
saya hanya melihat orang yang memasak, cuci piring, dan orang yang bertugas
membuat kopi. Mereka itu adalah orang-orang yang dibayar untuk menopang
berlangsungnya pesta. Walaupun pasti ada keluarga, saudara yang membantu mempersiapkan
lain-lain tapi jumlahnya tak sebanyak yang ada di desa saya.
Saya melihat pesta
yang berlangsung sore itu sangat keteteran
karena sedikitnya orang yang rewang. Berbeda dengan di desa saya tinggal, semua
masih terkondisi karena banyaknya tenaga yang tersediia. Walaupun untuk urusan
memasak sama, sama-sama membayar orang untuk membantu memasak.
Bagikan
Hajatan: Sebuah Renungan Bersama
4/
5
Oleh
Lukman Hakim