Sunday, November 26, 2017

Hajatan: Sebuah Renungan Bersama


Hari Sabtu kemarin (25/11), saya berkesempatan rewang di kediaman orang tua salah satu dosen. Rewang adalah hadirnya seseorang dalam suatu pesta, dimana tujuan kedatangannya diminta untuk membantu saat berlangsungnya pesta sampai dengan acara usai. Istilah rewang ini bisa sangat mudah kita temukan dalam budaya Orang Jawa.
Dari setelah magrib (24/11) saya sudah ada di rumah orang tua Kak Dharma Setyawan, di Desa Srisawahan dekat dengan lokasi wisata warga Dam Raman. Malam itu kami seperti layaknya orang rewang; menata kursi, membantu mempersiapkan temp dudukat tamu, mempersiapkan meja untuk penyambutan tamu, dan semua yang berhubungan dengan persiapan pesta yang akan berlangsung besok paginya.
Saya tak ikut merampungkan pekerjaan malam itu, persiapan lain-lain diselesaikan oleh kawan-kawan #ayokedamraman Desa Srisawahan Lampung Tengah yang malam itu datang seusai yasinan sekitar pukul 22.00 WIB.
Pagi harinya, saya bersama Tomi Nurrohman, Habib Rubai, Elman Darmansyah bergegas ke masjid setempat untuk salat subuh sekalian mandi di sana. Selepas itu, kami menuju rumah dan mempersiapkan peralatan yang akan menjadi alat tempur kami untuk mengabadikan gambar dan video dalam acara pernikahan Mbak Meti dan suaminya.
Sekira pukul 07.00 WIB, kawan-kawan lain yang merupakan bagian dari tim Cangkir Digital Creative (CDC) datang. Elvan Firmansyah (Kembaran Elman Darmansyah), Ajad Sudrajad, Wahyu Eko Prasetyo (Wepo). Tak lama tawa pecah diantara kami. Selalu ada guyonan yang dilontarkan dalam tim CDC ini. Ada saja yang menjadi bahan guyonan, tujuannya tidak lain untuk sekadar menjaga suasana asyik dan yang pasti agar terjalin hubungan yang hangat.  Tak lama Dwi Nugroho datang, dia adalah salah satu editor yang menyelesaikan film Dam Raman tempo hari yang dipresentasikan di acara AICIS 2017 yang bersamaan dengan acara Pendis Expo.
Kami segera mencoba peralatan yang ada; kamera, handycam, tripod, dan semua peralatan yang kami bawa kami coba satu persatu untuk memastikan tak ada kendala. Pagi itu suasana aman, kebersihan sekitar area pesta masih terjaga dan cuaca belum terlalu terik.
Semuanya berubah ketika negara api menyerang. Eh, maksud saya semua berubah ketika tamu/rombongan mempelai lelaki datang. Ketika mereka mulai makan aneka jajanan yang disediakan, minum air mineral yang ada. Sampah mulai berserakan, suasana mulai panas, dan cuaca pun panas dengan naiknya matahari menuju garis poros.
Semua seakan tak peduli, semua orang sedang fokus melihat dan mendengarkan rentetan acara ijab kabul. Setelah selesai ijab kabul pun masih sama, sampah terserah dimana-mana.
Memang di pesta tersebut tak ada petugas khusus yang mengurusi. Terlebih karena di desa, memang tidak ada petugas kebersihan. Ini jamak terjadi di pesta yang diadakan di desa-desa−termasuk Desa Binakarya Utama tempat saya lahir dan besar.
Meriahnya pesta, kebahagiaan mempelai, keriuhan orang yang datang nyumbang/mbecek, menyatu dengan sampah yang ada. Tak ada kotak sampah yang disediakan oleh panitia adalah salah satu yang menyebabkan tamu membuang sampah sembarangan, bisa juga karena kesadaran peduli terhadap sampah masih kurang.
Apapun alasannya, budaya seperti ini jelas kurang baik.  Pada akhirnya kita juga perlu memperhatikan masalah sepele ini sebagai salah satu fokus yang harus diselesaikan. Menyediakan kotak sampah, memberikan instruksi agar membuang sampah ditempat yang telah di sediakan, membayar orang yang fokus mengurus sampah, ini semua bisa direncanakan di awal dan dilakukan pada saat pesta berlangsung. Tujuannya tidak lain adalah untuk menjaga kebersihan, kerapian, dan yang jelas agar lalat gak berkeliaran yang kemudian mengganggu kenyamanan para tamu yang hadir di pesta tersebut.
Selain masalah sampah, saya melihat budaya gotong royong di Desa Srisawhan Lampung Tengah−utamanaya pesta ini−mulai memudar. Mungkin karena sudah masuk kategori desa setengah kota sehingga orang yang rewang bisa di hitung dengan jari. Berbeda dengan budaya rewang di desa tempat tinggal saya dimana orang-orang yang rewang bisa mencapai ratusan.
Di pesta itu saya hanya melihat orang yang memasak, cuci piring, dan orang yang bertugas membuat kopi. Mereka itu adalah orang-orang yang dibayar untuk menopang berlangsungnya pesta. Walaupun pasti ada keluarga, saudara yang membantu mempersiapkan lain-lain tapi jumlahnya tak sebanyak yang ada di desa saya.
Saya melihat pesta yang berlangsung sore itu sangat keteteran karena sedikitnya orang yang rewang. Berbeda dengan di desa saya tinggal, semua masih terkondisi karena banyaknya tenaga yang tersediia. Walaupun untuk urusan memasak sama, sama-sama membayar orang untuk membantu memasak.

Bagikan

Jangan lewatkan

Hajatan: Sebuah Renungan Bersama
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.