Tuesday, August 30, 2016

Jejak Sejarah Desa Negeri Tua

Lukman Hakim
Peminat Kajian Sejarah
Tugu Selamat Datang Desa negeri Tua

Desa Negeri Tua berdiri sejak tahun 1907. Sejarah nama  “Negeri Tua” berasal dari masyarakat Lampung asli yang dulu tinggal di bedeng 51, Desa Pakem Kecamatan Sekampung dan kemudian membuka ladang di tanah yang sekarang bernama Negeri Tua.[1] Desa Negeri Tua merupakan desa yang terletak di tanah warga yang berdiri sejak jaman Pemerintahan Belanda Sekitar tahun 1816 sampai sekarang. Berdasarkan data yang ada dan keterangan dari tokoh adat Desa Negeri Tua, bahwa Desa Negeri Tua telah mengalami pergantian pimpinan atau kepala desa diantarannya:[2]
1.      Rebo/Dalem Sangun                               : Sebelum 1916
2.      Abdullah                                                 : 1916–1925
3.      Gedung Inten                                          : 1925-1934
4.      Pangeran Dulu                                        : 1935-1942
5.      Pangeran Dulu                                        : 1942-1947
6.      Abdul gani umar                                     : 1947–1951
7.      Ngemum Ratu                                         : 1951–1967
8.      Abdul gani umar                                     : 1968–1976
9.      Harun Ibrahim                                         : 1976–1985
10.  Karta Raharja                                          : 1986–1994
11.  H.Abdullah                                             : 1994–2002
12.  Wahyudin                                               : 2002-Sekarang
Ketika Harun Ibrahim menjabat sebagai kepala desa, Karta Raharja sedang mengampu jabatan sekretaris desa dan Suwarno menduduki jabatan kepala dusun 5, Tulung Aman.
Diangkatnya Suwarno menjadi carik/sekretaris desa karena carik sebelumnya tidak menjalankan tugas sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) sehingga pada saat kepala desa di pegang oleh Karta Raharja, Suwarno diangkat sebagai sekretaris desa, yang sebelumnya Suwarno merupakan Kaur Administrasi menggantikan Syaifullah.
Ketika diberlakukan syarat sekretaris desa harus memiliki ijazah dan lulus setara sekolah menengah atas (SMA), barulah kemudian Suwarno melepaskan jabatannya yang dijalani selama tiga puluh tahun.
Suwarno mengisahkan, dirinya masuk ke Desa Negeri Tua pada tahun 1963. Pada tahun itu, di Dusun 4 hanya terdapat 3 kepala keluarga saja yaitu Asgar, Saman dan Marsan. “Kami tinggal saling berjauhan satu sama lain, biasanya gubuk tempat tinggal dibuat sesuuai dengan lokasi dimana seserorang mempunyai lahan garapan”, jelas Warno.
“Dulu saya di Candimas, Kota Bumi, pada saat saya datang pertama kali di Lampung”. Ketika itu Suwarno berumur 16 tahun. Dia di ajak oleh kakaknya untuk bekerja di PT. Karet yang berada di kota Bumi. “Ketika itu tahun 1954 saya masih berumur 16 tahun, bujang tanggung. Tapi saya sudah ikut transmigrasi ke Lampung bersama kakak saya, kemudian saya diajak ke Nakau untuk bekerja di PT karet di sana”, tambah Warno.
Sebelum tahun 2015, Desa Negeri Tua memiliki 4 dusun yaitu Dusun 1 Menanga Sari, Dusun 2 Negeri Tua Induk, Dusun 3 Kota Banyu Atas dan Kota Banyu Bawah, dan Dusun 4 Tulung Aman. Sebelumnya, Desa Tanjung Harapan yang berada di selatan Desa Negeri Tua merupakan bagian dari dusun 4 Tulung Aman. Baru pada tahun 1985, Tanjung Harapan menjadi desa secara mandiri terpisah dengan Desa Negeri Tua.
Nama masing-masing dusun diambil berdasarkan kesejarahan yang mengikutinya. Dusun 1 Menanga Sari, lebih di kenal dengan para pendatang dari Menanga, Komering, Sumatera Selatan. Untuk Selanjutnya dusun ini lebih terkenal dengan sebutan Menanga sari atau dusun komering. Pada perkembangannya dan sampai tahun 2016, tidak hanya suku komering di dusun tersebut, tetapi dapat di jumpai pula suku lampung asli dan suku jawa yang berada di ada di dusun tersebut.
Dusun 2 Negeri Tua Induk, menurut cerita Suwarno, nama “Negeri Tua” berasal dari orang-orang Negeri Tua yang berasal dari bedeng 51, kemudian membuka ladang di Negeri Tua yang sekarang. Lambat laun banyak orang Negeri Tua bedeng 51 yang akhirnya pindah ke Negeri Tua, dengan berjalannya waktu dusun ini kemudian disebut Negeri Tua Induk.
Dusun 3 Kota Banyu memiliki sejarah yang berbeda. “Kota Banyu berasal dari bahasa Lampung “Kutau Banyeu”, Kutau artinya pagar, Banyeu berati air”. Jika diperhatikan, Dusun Kota Banyu memang dipagari/dikelilingi oleh sumber-sumber air. Sebelah barat yang berbatsan dengan Desa Mekar Sari, antara keduanya dipisahkan oleh kali Mbang Putih. “Kota banyu merupakan dusun yang kebanyakan warganya berasal dari desa tetangga yaitu Mekar Sari dan Sumber Sari”, tambahnya.
Dusun Kota Banyu memiliki dua nama yang berbeda yaitu Kota Banyu Atas dan Kota Banyu Bawah. Penamaan yang berbeda ini salah satunya dikarenakan perbedaan diantara keduanya, struktur tanah merah merupakan karakter tanah di Kota Banyu Atas sedangkan Kota Banyu Bawah memiliki struktur tanah pasir. Antara keduanya dipisahkan oleh mbulak, yaitu ladang atau kebun yang membentang sepanjang jalan menuju desa.
Pada sekitar tahun 1964-1965, jumlah kepala keluarga di Kota Banyu Bawah sebanyak 62 orang. Terpaut jauh dengan Kota Banyu Atas yang hanya 16 kepala keluarga saja, sedangkan di dusun 4 hanya terdapat 4 kepala keluaga. “Kota Banyu Bawah Dulu lebih ramai jika dibanding dengan Kota Banyu Bawah”.
Setelah “geger 65”, banyak warga yang dituduh terlibat dengan partai Komunis Indonesia (PKI) atau lembaga yang ada di bawahnya seperti Gerakan Tani Indonesia (GTI), Barisan Tani Indonesia (BTI) atau Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). “Sebanyak 36 warga di Desa Negeri Tua di tetapakan sebagai tahanan politik,  sebanyak 32 orang dari Dusun Kota Banyu dan 4 orang dari dusun 1 Palis. Tepatnya dilakukan pada sekitar tahun rentang tahun 1965-1967”, jelas Suwarno mengenang. Saat ini 2016, di Kota Banyu Atas hanya ada 24 kepala keluarga dan 22 kepala keluaraga di Kota Banyu Bawah.
Pernyataan lain diungkapkan oleh Romlah[3], Dusun Kota Banyu pada saat geger 65 sudah memilki kurang lebih 400 penduduk. “Kota Banyu dulu sebelum Geger 65, jumlah masyarakat kurang lebih 400 warga.
Nenek 75 tahun ini menjelaskan bahwa setiap malam ada segerombolan orang datang dengan sepatu berbunyi prak-prok berkeliling desa, “Setelah kejadian 65 dan banyak penangkapan yang dilakukan oleh orang-orang yang menggunakan sepatu besar yang terdengar prak-prok pada malam hari.  Warga Kota Banyu banyak yang memutuskan untuk pindah ke desa atau daerah lain”, jelas Romlah.
Dusun 4 dan 5 yang akrab disapa Dusun Tulung Aman juga memiliki asal usul nama. Tulung Aman berasal dari kata Tulung dan Aman. Tulung diambil dari bahasa Lampung yang berarti sumber air, sebutan lain dalam bahasa Lampung yaitu supuk yang memiliki arti yang sama dengan tulung. Sedangkan kata “Aman” sendiri muncul karena Desa Negeri Tua tidak pernah terjamah oleh Jepang, sehingga dikatakan bahwa Tulung Aman adalah tempat yang aman.
Sumber air yang dijadikan sebagai dasar penamaan terletak di sebelah barat dusun 5, konon sumber air yang sekarang menjadi sawah tadah ini dahulu memilki sumber air yang melimpah sehingga  wajar saja jika dijadikan sebagai nama Tulung Aman.
Dusun Tulung Aman dulunya adalah daerah yang meliputi Desa Tanjung Harapan, Umbul Way, dan Tulung Aman sendiri. Di kemudian hari, pada tahun 1985 Tanjung Harapan berdiri sendiri sebagai desa. Dan Umbul Way pecah menjadi 2 yaitu Umbul Way yang masuk Dusun 5 Desa Negeri Tua dan Umbul Way yang masuk Desa Tanjung Harapan.
Seperti yang telah disinggung bahwa pada sekitar tahun 1963, ada 3 kepala kelurga yang berada di Dusun Tulung Aman. Asgar, Saman dan Marsan adalah warga yang pertama-tama tinggal di Dusun ini. Jarak tempat tinggal mereka pun saling berjauhan karena gubuk tinggal mereka dibangun berdasarkan letak tanah garapan mereka.
Untuk mengangkut hasil pertanian, masyarakat menggunkan gerobak sapi sebagai alat transportasi utama. Jika warga yang tidak menggunakan gerobak, maka perjalanan harus menembus jalan setapak bekas roda gerobak sepanjang jalan menuju ladang. Jalanan yang harus dilalui setiap pergi ke ladang adalah jalan berlumpur yang bila musim hujan tiba, berarti harus siap dengan kondisi jalan berlubang dan penuh lumpur yang tidak jarang membuat sapi bekerja ekstra untuk membawa hasil panen.
Lada pada waktu itu sudah menjadi hasil ladang petani Dusun Tulung Aman kebanyakan, selain singkong, jagung dan hasil pertanian lain. Dengan gerobak sapi, petani harus menempuh jarak yang cukup jauh ke Sukadana untuk menjual lada-lada yang telah dipanen. Biasanya perjalanan memakan waktu lebih satu hari sehingga petani harus menyiapkan bahan makanan untuk makan diperjalanan.
Baru setelah tahun 1997, masyarakat di Dusun Tulung Aman dapat menikmati jalan batu  yang memudahkan perjalanan dan pengangkutan hasil panen. Sampai saat ini Dusun Tulung Aman dan Kota Banyu adalah dua dusun yang menikmati jalan batu di Desa Negeri Tua.
   
  




                [1] Wawancara dengan Suwarno, Sekretaris Desa Negeri Tua periode 1985-2015, pada 27 Agustus 2016. Suwarno lahir di Banyumas pada 5 Agustus 1938, tetapi di identitas kartu tanda penduduk tertulis tahun 1942.
                [2] Dokumen Desa Negeri Tua Kecamatan Marga Tiga Lampung Timur.
                [3] Wawancara dengan Romlah pada 30 Agustus 2016.
Baca selengkapnya

Wednesday, August 10, 2016

Perempuan Tanpa Masak?

Lukman Hakim
Pemerhati Perempuan
Gambar Ilustrasi: Perempuan sedang Masak

Sejarah memasak makanan sudah ada sejak 1,9 juta tahun lalu, seperti yang dinyatakan oleh  Ahli biologi evolusi dari Harvard University, Chris Organ, dia menemukan hal itu ketika menelusuri sejarah menghidangkan makanan dengan menengok perkembangan ukuran gigi dan perilaku konsumsi makanan pada pohon keluarga manusia. Mereka menyimpulkan bahwa memasak lazim dilakukan Homo erectus. Pengecilan ukuran gigi geraham di duga karena gigi digunakan untuk mengunyah makanan yang telah dimasak terlebih dahulu sehingga lebih mudah. Pada akhirnya gigi geraham ukuran besar tidak digunakan lagi untuk mengunyak makanan keras yang belum dimasak. (https://m.tempo.co)
Berbicara soal masak-memasak, kaum hawa selalu identik dengan pekerjaan yang satu ini. Masak merupakan bagian dari aktifitas yang dijalani perempuan sebagai ibu rumah tangga atau kodrat perempuan yang harus mengurus dapur. Ungkapan yang menyatakan urusan perempuan hanya di dapur, kasur dan sumur sudah lama bergeser seiring dengan tingkat pendidikan kaum perempuan yang makin tinggi, dan munculnya emansipasi wanita (atau tentang gender) sebagai upaya menyama-padankan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan sebagai manusia.
Dengan dalih emansipasi wanita,  perempuan-perempuan yang mempunyai tugas membantu suami untuk menjaga harta benda, rumah dan anak-anak, kini mereka tertarik berkarir untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam agama Islam, semua tugas rumah tangga sesungguhnya menjadi kewajiban suami, seperti memasak, mencuci, membereskan rumah, mengurus anak, dan segala keperluan keluarga, tetapi tugas laki-laki kemudian terbagi dengan hadirnya wanita sebagai isteri.
Dalam persepsi penulis, perempuan yang bekerja untuk membantu suami mencari nafkah tidak menyalahi aturan, selama pekerjaan yang dilakoni tidak melupakan kewajiban perempuan sebagai seorang isteri, ibu dan pengurus keluarga. Selama pekerjaan yang dijalani tidak membuat kewajiban terabaikan, maka semua bisa difahami sebagai upaya bersama suami dan isteri untuk membuat kondisi keluarga menjadi lebih baik. Lalu bagaimana dengan perempuan yang bekerja dan menyerahkan urusan rumah tangga kepada orang lain−asisten rumah tangga?
Jika diperhatikan, lakon perempuan dalam mengurus rumah sebenarnya dipermudah dengan hadirnya teknolgi. Mencuci misalnya, dipermudah dengan hadirnya mesin cuci, atau memasak yang sekarang dapat lebih praktis dengan bantuan kompor gas dan peralatan canggih lain. Lantas, kenapa kemudian perempuan tidak/belum memasak?
Soal masak-memasak, penulis fikir seorang perempuan wajib menguasai ilmu ini. Bahwa memasak adalah bagian yang tidak boleh dipisahkan dari perempuan. Suatu waktu, boleh saja memasak dimawakilkan kepada orang lain, mungkin asisten rumah tangga atau chatering di rumah makan. Tapi pada akhirnya perempuan tetap harus akrab dengan dengan dunia masak-memasak.
Seorang perempuan  tulen ditunjukkan dengan kemahirannya memasak. Selain itu, memasak adalah usaha untuk mendekatkan hubungan emosional antar anggota keluarga. Dimana masakan yang dihidangkan oleh seorang isteri menjadi bagian dari perhatian kepada suami. Pun dengan anak, bahwa masakan yang dibuat seorang ibu adalah bagian dari wujud kepedulian.
Masak juga mendidik anak-anak agar terbiasa bersikap disiplin. Seorang ibu harus bangun pagi untuk mulai memasak, dan makanan harus siap sebelum anggota keluarga berangkat mengerjakan kegiatan, anak pergi ke sekolah dan suami pergi bekerja.
Masak merupakan keterampilan meracik bahan makanan dan bumbu-bumbu dapur sehingga memunculkan hidangan istimewa dengan cita rasa berbeda. Perempuan yang terbiasa memasak berarti  sudah mahir meramu bahan-bahan makanan satu dengan yang lain. Dengan kata lain, perempuan yang mahir memasak diharapkan juga mahir dalam ‘meramu’ keluarga sehingga suasana nikmat berkeluarga bisa dirasakan oleh semua anggota keluarga.
Perempuan tidak masak, ibarat masakan tanpa bumbu-bumbu, kurang sedap.
Baca selengkapnya

Saturday, August 6, 2016

Meruwat Local Wisdom dalam Bingkai Keragaman

Lukman Hakim
Peminat Kajian Keragaman
Meruwat Local Wisdom
Sudah jamak diketahui bahwa Indonesia merupakan bangsa yang kaya budaya, suku, adat istiadat, dan bahasa, yang semua itu dapat hidup damai berdampingan dalam bingkai bhineka tinggal ika. Semangat kebhinekaan inilah yang sejak awal menjadi landasan terbentuknya Negara Indonesia. Nusantara yang berpulau-pulau kemudian memutuskan untuk bergabung menjadi  satu karena memiliki ikatan se-nasib se-penanggungan akibat dijajah oleh kaum kolonial.
Lalu bagimana menjaga semangat keragaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang merupakan negara multikultural yang multietnik, multiras, dan multiagama? Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki kekhasan masing-masing yang menjunjung nilai persaudaraan, nilai keragaman, yang berkembang sejak jaman nenek moyang,  akrab disebut dengan local wisdom.
Secara sederhana kearifan lokal (local wisdom)  diartikan sebagai nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur secara turun temurun yang memiliki fungsi mengatur hubungan antar individu dan komunitasnya, serta bagaimana memperlakukan lingkungan dimana mereka hidup, termasuk membina bagaimana kehidupan yang harmonis antar unsur pembentuk komunitas. Menurut John M. Echols dan Hassan Shadily, kearifan lokal atau local wisdom dapat diartikan sebagai gagasan–gagasan setempat (bersifal lokal) yang dianggap bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang diemban oleh masyarakat setempat.
Nilai-nilai yang diyakini oleh komunitas masyarakat adat harus dijamin eksistensinya oleh Negara sebagai kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Setiap komunitas adat berkewajiban menjaga berbagai warisan nilai, budaya, adat istiadat, sebagai bagian hidup sehari-hari. Dalam menjalankan berbagai aktifitas warisan leluhur, sikap toleransi sangat diperlukan untuk menjaga masing-masing warisan leluhur agar berjalan bersamaan secara damai.
Lampung sebagai Provinsi di ujung Sumatera, beberapa kali didera konflik bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Konflik di Bali Nuraga Lampung Selatan antara masyarakat Bali dan Lampung, Konflik Bumijawa Lampung Timur, Konflik Padang Ratu, Lampung Tengah merupakan konflik yang sebenarnya berawal dari hal sepele.
Konflik kemudian reda dengan melibatkan banyak pihak untuk mendamaikan, kalangan tokoh adat, tokoh agama, kepolisian dan berbagai elemen membuka ruang dialok untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
Masyarakat Lampung dengan kearifan lokal Piil Pesenggiri misalnya, mereka beranggapan bahwa kehormatan diri dan komunitas wajib di bela. Etos dan semangat kelampungan (spirit of Lampung) piil pesenggiri mengajarkan seseorang tidak mengapa menyakiti orang lain demi menjaga harga diri.
Paham piil pesenggiri perlu diletakkan sesuai dengan makna asalnya, dimana orang yang memegang piil pesenggiri akan menjelma sebagai manusia pekerja keras, kreatif, cermat, dan teliti, orientasi pada prestasi, berani kompetisi dan pantang menyerah atas tantangan yang muncul. Semua karena mempertaruhkan harga diri dan martabat seseorang untuk sesuatu yang mulya di tengah-tengah masyarakat.
Pengertian ini kemudian harus dilahirkan dalam rangka hidup bersama dengan masyarakat pendatang di Lampung. Bentuk penghargaan kepada pendatang yaitu dengan menghargai kekayaan budaya yang dibawa oleh mereka, misalnya masyarakat, Jawa, Padang, Palembang atau pendatang lain.
Dengan memaknai kearifan lokal sebagai aset kekayaan budaya yang wajib dijaga bersama-sama maka akan terjalin hubungan harmonis antarelemen masyarakat adat. Konflik antaretnis, antarentis dapat ditekan, kecintaan menjaga local wisdom menjadi kekuatan besar yang mendorong semua masyarakat adat menjaga keluhuran warisan nenek moyang.
         


Baca selengkapnya