Monday, June 27, 2016

Jual Beli Ijon Dalam Perspektif Hukum Islam

Dri Santoso dan Lukman Hakim
STAIN Jurai Siwo Metro

Abstract

To fulfill the daily needs, one of the efforts undertaken by humans is to make buying and selling. Sale and purchase transaction will bring together the needs with the needs of others so that one wishes would be fulfilled by the desire of others. There are several purchase transactions are prohibited in Islam as tallaki rukban, bai 'najasi,or ikhtikar. Moreover, Islam also prohibits the sale and purchase containing obscurity (gharar) of goods, prices or the agreement. Examples gharar ie buying and selling calves in the womb, or offering the birds are still flying in the wild. Buying and selling fruits immature perfectly into the category of selling debt bondage. Buying and selling debt bondage is usually done when the fruit is on the tree are still visible green fruit skin (not yet reached perfect ripeness levels) or even still relatively young fruit. When the fruit is sold in a young state will arise two possibilities, the fruit reaches a maximum maturity period or damage as a result of animal disturbance or other reasons. Given the level of risk of loss selling large bonded, some scholars prohibit this practice of buying and selling. But still there are some scholars who allow buying and selling of debt bondage. Therefore, the law needs to be a review of the sale and purchase of debt bondage in the perspective of Islamic law in the review of the arguments of the Koran, the Hadith and the opinions of the scholars.

Keywords: Transaction Gharar, Ijon, Ijon Law.

Abstrak
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, salah satu upaya yang dilakukan oleh manusia adalah dengan melakukan transaksi jual beli. Transaksi jual beli akan mempertemukan satu kebutuhan dengan kebutuhan lain sehingga satu keinginan akan terpenuhi oleh keinginan yang lain. Ada beberapa transaksi jual beli yang dilarang dalam Islam seperti tallaki rukban, bai’ najasi, dan ikhtikar. Selain itu, Islam juga melarang jual beli yang mengandung ketidakjelasan (gharar) baik barang, harga atau akadnya. Contoh jual beli gharar yaitu membeli anak sapi yang masih dalam kandungan, atau menawarkan burung yang masih terbang di alam bebas. Jual beli buah-buahan yang belum matang sempurna masuk dalam kategori jual beli ijon. Jual beli ijon biasanya dilakukan ketika buah yang ada di pohon masih terlihat hijau kulit buahnya (belum mencapai tingkat kematangan sempurna) atau bahkan masih tergolong buah muda. Ketika buah dijual dalam keadaan muda maka akan timbul dua kemungkinan, buah mencapai masa kematangan maksimal atau terjadi kerusakan akibat gangguan binatang atau sebab lain. Dengan melihat tingkat resiko kerugian jual beli ijon yang besar, sebagian ulama melarang praktik jual beli ini. Tetapi masih ada sebagian ulama yang membolehkan jual beli ijon. Oleh karena itu, perlu pengkajian kembali tentang hukum jual beli ijon dalam perspektif hukum Islam di tinjau dari dalil al-Quran, Hadits dan pendapat para ulama.
Kata Kunci: Transaksi Gharar, Ijon, Hukum Ijon.

Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon), memerlukan orang lain dalam rangka berinteraksi dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hubungan dalam berinteraksi dengan orang lain dalam Islam sering disebut dengan muamalah.[1]
Salah satu bentuk muamalah yang dilakukan oleh umat Islam yaitu jual beli. Dalam bertransaksi jual-beli umat Islam dilarang melakukan hal yang dilarang dalam Islam seperti berbuat curang, berbohong, mengurangi timbangan atau melakukan jual beli yang dilarang seperti bai’ najasi (penjual menyuruh orang utuk menawar dengan harga tinggi atau memuji barang yang dijual agar pembeli tertarik membeli), ihktikar (penimbunan), tallaqi rukban (menyembunyikan informasi harga), dan tadlis (penipuan).[2]
Dalam transaksi jual beli, Islam mengajarkan agar jual beli yang dilakukan dilandasi dengan kejelasan. Jelas akad, barang dan harga sehingga tidak ada pihak yang dirugikan oleh pihak lain. Islam melarang melakukan akad jual dengan ketidakjelasan, baik barang, harga atau akadnya. Karena ketidakjelasan (gharar) berpotensi menimbulkan permasalahan ketika jual beli telah berlalu.
Salah satu bentuk jual beli gharar adalah jual beli ijon. Jual beli ijon dalam praktek di masyarakat dilakukan dengan melakukan jual beli buah-buahan yang belum matang sempurna. Sehingga kerugian dapat saja dialami pembeli dikarenakan  buah rusak akibat hama, hewan malam atau gangguan lain. Jual beli ijon contohnya seperti membeli buah rambutan yang masih dipohon, terlihat hijau kulit buahnya. Contoh lain jual beli ijon yaitumenjual jambu air yang yang masih berupa bunga.
Pembahasan tentang jual beli ijon perlu dikaji dengan melihat dalil al-Quran, dalil hadits dan pendapat para ulama. Beragam pendapat ulama tentang jual beli ijon harus dipahami sebagai khasanah keilmuan Islam yang digunakan untuk menjawab berbagai permasalahan yang ada di masyarakat.
Pembahasan
A.    Pengertian Jual Beli
Menurut istilah fikih, jual beli disebut dengan bai‘ yang berarti menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.[3] Jual beli dalam bahasa Indonesia berasal dari dua kata, yaitu jual dan beli. Yang dimaksud dengan jual beli adalah berdagang, berniaga, menjual dan membeli barang.[4]
Menurut Hanafiah, pengertian jual beli (al bai’) secara definif yaitu tukar-menukar harta benda atau sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui cara yang bermanfaat.[5] Adapun menurut Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah, jual beli (al-bai’) yaitu tukar-menukar harta dengan harta pula dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan.[6]
Menurut Ibnu Qudamah, jual beli adalah tukar menukar barang dengan barang yang bertujuan memberi kepemilikan dan menerima hak milik.[7] Menurut Imam Nawawi, jual beli adalah tukar menukar barang dengan barang yang bertujuan memberi kepemilikan.[8]
As-Sayyid Sabiq memberikan definisi jual beli adalah melepaskan harta dengan mendapat harta lain berdasarkan kerelaan atau memindahkan milik dengan mendapatkan benda lain sebagai gantinya secara sukarela dan tidak bertentangan dengan syara’.[9]
B.     Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli sebagai sarana taawun atau tolong menolong antara sesama umat manusia yang mempunyai landasan kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shalallahu alaihi wasallam. Terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang membahas tentang jual beli,[10] di antaranya dalam surah Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi:š

“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata, jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, Maka apa yang telah diambilnya dahulu menjadi miliknya, dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka,  ; mereka kekal di dalamnya”.[11] (QS. Al-Baqarah [2]: 275)

Pada ayat ini orang-orang diperintahkan Allah SWT. untuk memelihara dan berlindung dari siksa api neraka dengan berusaha melaksanakan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah untuk melaksanakan jual beli dan meninggalkan riba.
Dalam surat yang lain juga dijelaskan yaitu surat an-Nisa’[4]: 29

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa[4]: 29)

Begitu juga dijelaskan dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, menyatakan bahwasannya Nabishalallahu alaihi wasallam ketika ditanya tentang usaha apa yang baik beliau menjawab:
”Diriwayatkan dari pada Hakim bin Hizam ra. katanya: Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda: Penjual dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi mereka belum berpisah. Sekiranya mereka jujur serta membuat penjelasan mengenai barang yang dijual belikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Sekiranya mereka menipu dan merahsiakan mengenai apa-apa yang harus diterangkan tentang barang yang dijual belikan akan terhapus keberkahannya.” (HR. Ahmad)[12]

Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya sendiri, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.[13]
C.     Rukun dan Syarat Jual Beli
Jual beli merupakan perbuatan hukum yang mempunyai konsekuensi terjadinya peralihan hak atas sesuatu barang dari pihak penjual kepada pihak pembeli, maka syarat dan rukun jual beli menjadi wajib dipenuhi untuk memperoleh sahnya transaksi yang dilakukan.[14]
Dalam menentukan rukun jual beli ini, terdapat perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan qabul yang menunjukkan adanya tukar menukar atau yang serupa dengannya dalam bentuk saling memberikan (at-Ta’ati).[15] Menurutnya yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanya kerelaan kedua belah pihak untuk berjual beli.
Sebenarnya secara implisit pendapat dari ulama Hanafiyah telah mencakup semua rukun jual beli. Dengan adanya kerelaan penjual dan pembeli, artinya objek, akad, barang dan harga terpenuhi sekaligus.
Sedangkan rukun jual beli menurut jumhur ulama terdiri dari:[16]
1.      Pihak-pihak yang berakad (al-‘aqidain)
Orang yang melakukan akad jual beli meliputi penjual dan pembeli. Pelaku ijab dan qabul haruslah orang yang ahli akad baik mengenai apa saja, anak kecil, orang gila, orang bodoh, tidak diperbolehkan melakukan akad jual beli. Dan orang yang melakukan akad jual beli haruslah tidak ada paksaan.
2.      Adanya uang (harga) dan barang (ma‘qud‘alaih)
Adanya harga beserta barang yang diperjualbelikan.
3.      Adanya sighat akad (ijab qabul)
Ijab dan qabul merupakan bentuk pernyataan (serah terima) dari kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Dalam hal ini Ahmad Azhar Basyir telah menetapkan kriteria yang terdapat dalam ijab dan qabul, yaitu:
a.       Ijab dan qabul harus dinyatakan oleh orang sekurang-kurangnya telah mencapai umur tamyiz, yang menyadari dan mengetahui isi perkataan yang diucapkan, sehingga ucapannya merupakan pernyataan isi hatinya. Dengan kata lain, ijab dan qabul harus dilakukan oleh orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum.
b.      Ijab dan qabul harus tertuju pada suatu objek akad.
c.       Ijab dan qabul harus berhubungan langsung dalam suatu majelis, apabila kedua belah pihak sama-sama hadir atau sekurang-kurangnya dalam majelis diketahui ada ijab oleh pihak yang tidak hadir. Ijab dan qabul (sighat akad) dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
1)      Secara lisan, yaitu dengan menggunakan bahasa atau perkataan apapun asalkan dapat dimengerti oleh masing-masing pihak yang berakad.
2)      Dengan tulisan, yaitu akad yang dilakukan dengan tulisan oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak yang berakad. Cara yang demikian ini dapat dilakukan apabila orang yang berakad tidak berada dalam satu majelis atau orang yang berakad salah satu dari keduanya tidak dapat bicara.
3)      Dengan isyarat, yaitu suatu akad yang dilakukan dengan bahasa isyarat yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak yang berakad atau kedua belah pihak yang berakad tidak dapat berbicara dan tidak dapat menulis.[17]
D.    Jual Beli yang diLarang
Menurut Jumhur ulama tidak ada perbedaan antara jual beli fasid dan jual beli batil. Sedangkan Hanafi membedakan antara keduanya. Ada empat sebab yang membuat rusaknya akad jual beli yaitu, pelaku akad (penjual dan pembeli), sighat, objek jual beli (barang yang diperjual belikan), dan kaitan antara akad dengan sifat, syarat atau larangan syara’.
1.      Jual beli yang dilarang karena pelaku akad
Para fuqaha sepakat bahwa jual beli akan sah jika dilakukan oleh orang yang telah baligh, berakal, dapat melakukan tindakan secara bebas, tidak dilarang membelanjakan hartanya asalkan tidak dilarang oleh hukum. Maka jual beli yang dilakukan oleh orang gila dianggap tidak sah.
2.      Jual beli yang dilarang karena sighat
Menurut jumhur ulama, jual beli dianggap sah jika terjadi kerelaan antara penjual dan pembeli yang disebabkan oleh kesesuaian antara ijab dan qabul. Ada beberapa jual beli yang tidak sah, diantaranya:
a.      Jual beli mu’thah
Jual beli tanpa ijab dan qabul tetapi hanya dengan kesepakatan kedua pelaku akad.
3.      Jual beli yang dilarang karena objek (ma’qul alaih)
Ma’qul alaih secara umum bermakna harta yang dikeluarkan oleh pelaku akad, salah satunya adalah barang dagangan (penjual) dan alat tukar bisa berupa uang atau barang lain (bagi pembeli).  Fuqaha bersepakat bahwa ma’qul alaih adalah barang yang berharga, ada wujudnya, dapat diserahkan dan diketahui oleh orang yang melakukan akad, bukan hak orang lain dan tidak dilarang oleh syara’.
Jumhur ulama berbeda pendapat mengenai sifat jual beli yang dilarang, yaitu:
a.      Jual beli yang tidak ada atau beresiko.
b.      Jual beli barang yang tidak bisa diserahkan.
c.       Jual beli yang mengandung penipuan (gharar).
d.      Jual beli utang dengan nasiah (tidak tunai).
e.       Jual beli sesuatu najis atau terkena najis.
f.        Jual beli sesuatu yang tidak diketahui.
g.      Jual beli sesuatu yang tidak ada ditempat transaksi.
h.      Jual beli sesuatu sebelum ada serah terima.
i.        Jual beli tanaman atau buah-buahan yang masih belum jelas.[18]
E.      Jual Beli Ijon Perspektif Hukum Islam
Ijon yang dalam bahasa Arab dinamakan mukhadlaroh, yaitu memperjual belikan buah-buahan atau biji-bijian yang masih hijau.[19]Jual beli dengan sistem ijon, yaitu jual beli yang belum jelas barangnya, seperti buah-buhan yang masih muda, padi yang masih hijau yang memungkinkan dapat merugikan orang lain.[20]
Maksud jual beli ijon disini adalah jual beli buah yang belum jelas kemanfaatanya, karena jual beli buah yang belum berbentuk (masih berupa bunga atau belum muncul sama sekali) adalah jual beli yang dilarang menurut para ulama karena jual beli semacam itu termasuk dalam kategori jual beli yang belum dimiliki atau jual beli gharar (penipuan karena pasti salah satu pelaku akan tertimpa kerugian).
Larangan jual beli buah-buahan yang belum terlihat masak dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam muslim berikut ini.
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهُ
“Sesungguhnya Nabi saw. telah  melarang untuk menjual buah hingga mulai tampak kelayakannya”(HR Muslim, an-Nasa’i, Ibn Majah dan Ahmad).
Imam Muslim meriwayatkan hadis ini dari Yahya bin Yahya, Yahya bin Ayyub, Qutaibah dan Ibn Hujrin; semuanya dari  Ismail bin Ja’far, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibn Umar. Dari jalur Ahmad bin Utsman an-Nawfali dari Abu ‘Ashim; dari Muhammad bin Hatim, dari Rawh, dan keduanya (Rawh dan Abu ‘Ashim) dari Zakariya’ bin Ishaq, dari Amru bin Dinar, dari Jabir bin Abdullah.
Manthûq (makna tekstual) hadis ini menunjukkan larangan menjual buah (ats-tsamar hasil tanaman) yang masih berada di pohonnya jika belum mulai tampak kelayakannya.  Sebaliknya, mafhûmal-mukhâlafah (pemahaman kebalikannya) hadis ini menunjukkan bolehnya menjual buah yang masih di pohonnya jika sudah mulai tampak kelayakannya.[21]
Maksud yabduwa shalâhuhu (mulai tampak kelayakannya) dijelaskan oleh riwayat lainnya. Dalam riwayat dari Jabir bin Abdullah ra. dikatakan “hatta yathîba (hingga masak)” (HR al-Bukhari dan Muslim), atau “hatta yuth’ama (hingga bisa dimakan) (HR Muslim dan an-Nasa’i).  Dalam riwayat yang lain, Jabir ra., menuturkan:

نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ تُبَاعَ الثَّمَرَةُ حَتَّى تُشْقِحَ فَقِيلَ وَمَا تُشْقِحُ قَالَ تَحْمَارُّ وَتَصْفَارُّ وَيُؤْكَلُ مِنْهَا
“Nabi saw. melarang buah dijual hingga tusyqih, Ditanyakan, “Apa tusyqih itu?” Beliau menjawab, “Memerah dan menghijau serta (bisa) dimakan darinya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Ibn ‘Abbas menuturkan:
نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ النَّخْلِ حَتَّى يُؤْكَلَ مِنْهُ أَوْ يَأْكُلَ مِنْهُ وَحَتَّى يُوزَنَ
“Nabi saw. telah melarang menjual kurma hingga bisa dimakan darinya atau orang bisa makan darinya dan hingga bisa ditimbang”(HR al-Bukhari).
Jadi, batasan buah yang masih ada di pohonnya bisa dijual adalah jika sudah layak dimakan. Tanda-tanda buah itu sudah bisa dimakan berbeda-beda sesuai dengan jenis buahnya. Hal itu telah diisyaratkan di dalam riwayat Anas bin Malik ra.:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعِنَبِ حَتَّى يَسْوَدَّ وَعَنْ بَيْعِ الْحَبِّ حَتَّى يَشْتَدَّ
“Rasulullah saw. melarang menjual anggur hitam hingga warnanya menghitam dan menjual biji-bijian hingga sudah keras”(HR Abu Dawud).
Dalam hal buah-buahan, secara umum terdapat dua jenis. Pertama: buah-buahan yang ketika sudah tua/cukup umur bisa dipetik dan selanjutnya bisa masak, seperti mangga, pisang, pepaya, dan sebagainya.  Jika sudah ada semburat warna merah atau kuning yang menandakan buah sudah cukup tua, buah itu bisa dipetik dan nantinya akan masak. Jika belum tampak tanda-tanda seperti itu buah dipetik maka tidak bisa masak.  Buah-buahan jenis ini, jika sudah tampak tanda-tanda perubahan warna itu, yakni sudah cukup tua untuk dipetik, maka sudah boleh dijual meski masih di pohonnya.[22]
Kedua, buah-buahan yang harus dipetik ketika sudah masak seperti semangka, jambu, salak, jeruk, anggur, rambutan dan sejenisnya.  Jika sudah seperti itu maka buah yang masih dipohonnya boleh dijual. Batas tersebut bisa diketahui dengan mudah oleh orang yang berpengalaman tentangnya.
Ada juga tanaman yang kebanyakan dari jenis sayuran seperti ketimun, buncis, kacang panjang, dan sebagainya yang jika bunganya sudah berubah menjadi buah, maka saat itu sudah mulai layak untuk dikonsumsi.  Buah tanaman sejenis ini, jika bunga sudah berubah menjadi buah, sudah boleh dijual.  Adapun jenis biji-bijian, seperti padi, kedelai, jagung dan sebagainya, maka sesuai hadis Anas di atas, sudah boleh dijual ketika sudah keras.
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai jual beli di atas pohon dan hasil pertanian di dalam bumi. Hal ini karena adanya kemungkinan bentuk ijon yang didasarkan pada adanya perjanjian tertentu sebelum akad.
Imam Abu Hanifah atau fuqaha Hanafiyah membedakan menjadi tiga alternatif hukum sebagai berikut:[23]
1.      Jika akadnya mensyaratkan harus di petik maka sah dan pihak pembeli wajib segera memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada izin dari pihak penjual.
2.      Jika akadnya tidak disertai persyaratan apapun, maka boleh.
3.      Jika akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap dipanen) sampai masak-masak, maka akadnya fasad.
Sedang para ulama berpendapat bahwa mereka membolehkan menjualnya sebelum bercahaya dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada hadis nabi yang melarang menjual buah-buahan sehingga tampak kebaikannya. Para ulama tidak mengartikan larangan tersebut kepada kemutlakannya, yakni larangan menjual beli sebelum bercahaya. Kebanyakan ulama malah berpendapat bahwa makna larangan tersebut adalah menjualnya dengan syarat tetap di pohon hingga bercahaya.[24]
Jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) berpendapat, jika buah tersebut belum layak petik, maka apabila disyaratkan harus segera dipetik sah. Karena menurut mereka, sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya adalah gugurnya buah atau ada serangan hama. Kekhawatiran seperti ini tidak terjadi jika langsung dipetik. Sedang jual beli yang belum pantas (masih hijau) secara mutlak tanpa persyaratan apapun adalah batal.[25]
Pendapat-pendapat ini berlaku pula untuk tanaman lain yang diperjual belikan dalam bentuk ijon, seperti halnya yang biasa terjadi di masyarakat kita yaitu penjualan padi yang belum nyata keras dan dipetik atau tetap dipohon, kiranya sama-sama berpangkal pada prinsip menjauhi kesamaran dengan segala akibat buruknya. Namun analisa hukumnya berbeda.
Tampaknya kelayakan buah untuk dikonsumsi itu tidak harus terpenuhi pada seluruh buah di kebun.  Hal itu adalah sangat sulit. Sebabnya, buah di satu kebun bahkan satu pohon memang tidak memiliki tingkat ketuaan yang sama dan tidak bisa masak secara bersamaan.  Ketuaan dan menjadi masak itu terjadi secara bertahap hingga seluruh buah di kebun menjadi tua/masak. Karena itu,  maksud yabduwa shalâhuhu itu adalah jika ada sebagian buah sudah layak dikonsumsi, maka buah yang sama di satu kebun itu boleh dijual semuanya, baik yang sudah mulai masak maupun yang belum.
Buah-buahan sangat mudah terkena bencana dan gangguan sebelum tampak matang, sehingga tidak ada kemaslahantanya bagi pembeli jika ia di jual selagi buah belum tampak matang.
Maka Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam melarang penjual dan pembeli dalam jual beli buah-buahan sehingga tampak menguning atau memerah, yang berarti sudah mulai tampak matang. Sebagai buktinya ialah kurma di pohon yang kekuning-kuningan atau kemerah-merahan.[26]
Kemudian beliau memberikan penjelasan larangan jual beli itu, bahwa sekiranya ada kerusakan yang menimpanya atau sebagian diantaranya, maka dengan alasan apa engkau wahai penjual menghalalkan harta saudaramu pembeli? Bagaimana engkau mengambil hartanya tanpa ada pengganti dan manfaat yang dia dapatkan?
Mengenai batas mulai layak dikonsumsi itu bergantung pada masing-masing jenis buah.  Misalnya jika sudah ada sebagian mangga yang masak maka semua mangga yang ada di satu kebun itu boleh dijual.  Jika ada sebagian semangka yang sudah layak dikonsumsi maka seluruh semangka jenis yang sama di kebun itu boleh dijual, termasuk yang masih muda. Jika sudah ada sebagian bunga ketimun yang berubah menjadi buah maka semua ketimun di seluruh kebun itu boleh dijual.  Jika ada sebagian tongkol jagung manis sudah layak dipetik maka seluruh jagung manis di kebun itu boleh dijual.
Jika buah yang masih di pohon itu dijual, lalu terjadi bencana cuaca seperti hujan, angin, hawa dingin, angin kering/panas, dan sebagainya, maka penjual wajib menarik diri dari harga buah yang mengalami cacat atau rusak dan mengembalikannya kepada pembeli.  Jabir ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

إِنْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ فَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Jika engkau menjual buah kepada saudaramu, lalu terkena bencana, maka tidak halal bagimu mengambil sesuatu pun darinya karena (ketika itu) engkau mengambil harta saudaramu tidak secara haq” (HR Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i).
Namun, jika kerusakan itu bukan karena bencana cuaca seperti pencurian, kekeringan karena kerusakan pompa, gempa, banjir, kebakaran, dan sebagainya, maka penjual tidak harus melepaskan harganya.  Bencana seperti itu tidak termasuk dalam cakupan makna hadis tersebut.
Kesimpulan
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai jual beli diatas pohon dan hasil pertanian di dalam bumi. Hal ini karena adanya kemungkinan bentuk ijon yang didasarkan pada adanya perjanjian tertentu sebelum akad.
Ulama Hanafiyah mengungkapkan jika akadnya mensyaratkan harus di petik maka sah dan pihak pembeli wajib segera memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada izin dari pihak penjual. Jika akadnya tidak disertai persyaratan apapun, maka boleh. Jika akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap dipanen) sampai masak-masak, maka akadnya fasad.
Jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) berpendapat, jika buah tersebut belum layak petik, maka apabila disyaratkan harus segera dipetik sah. Karena menurut mereka, sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya adalah gugurnya buah atau ada serangan hama. Kekhawatiran seperti ini tidak terjadi jika langsung dipetik. Sedang jual beli yang belum pantas (masih hijau) secara mutlak tanpa persyaratan apapun adalah batal
   
DAFTAR PUSTAKA           
Abdullah bin Abdurahman Abu Bassam, 2002, Syarah Hadits pilihan Bukhari Muslim, diterjemahkan oleh Katrur Suhardi, cetakan I, Jakarta: Darul fatah
Amir, Dja’far, 1991, Ilmu Fiqih, Solo: Ramadhani
As-Sayyid Sabiiq, 1983, Fiqh as-Sunnah, Beirut: Dār al-Fikr
Azhar Basyir, Ahmad, 2004, Asas-asas Hukum Muamalat, Cet. Ke-2,  (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: UII Press
Basyir, Ahmad Azhar,2000,Asas-asas Hukum Muamalah, Yogyakarta: UII Press
Basyir, Ahmad Azhar, 2004, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Cet. Ke-2, Yogyakarta: UII Press
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka, Jakarta: Penerbit
Hamid, Syamsul Rijal, 1997, Buku Pintar Agama Islam, Jakarta: Penebar Salam
Haroen, Nasrun, 2000, Fiqh Mu’amalah,  Jakarta: Gaya Media Pratama
Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal asy-Syamiyin, Jil. 4 Beirut, Libanon: Dar- Al-kutub Al-Ilmiah, t.t.
Karim, Adiwarman,2011, Ekonomi Mikro Islami, cet.ke-4 ,Jakarta: Rajawali Pers
Mardani, 2012, Fiqh Ekonomi Syariah, Cet. Pertama, Jakarta: Kencan
Mas’adi, Ghufron A., 2002, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: Rajawali Pers
Muhammad Asy-Syarbini, Mugnil mutaaj, Juz 2, Beirut: dar al-Fikr
Poerwodarminto, 1993, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Rusyd, Ibnu, 1990, Terjemahan Bidayatul Mujtahid, Semarang:  CV. As-Sifa
Syafe’i, Rachmat, 2001, FiqihMuamalah, Bandung: Pustaka Setia
Wahbah Az-Zuhaily, 2006, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia
Ya’qub, Hamzah,  1992, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Dalam Hidup Berekonomi), Bandung: CV. Diponegoro



[1] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Cet. Ke-2, (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 11
[2] Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, cet.ke-4 ,(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 193
[3] Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h.2.
[4] Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h.32.
[5] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, cet. Pertama, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 101
[6] Ibid
[7] Wahbah Az-Zuhaily, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 1
[8] Muhammad Asy-Syarbini, Mugnil mutaaj, Juz 2, (Beirut: dar al-Fikr), h. 2
[9] As-Sayyid Sabiiq, Fiqh as-Sunnah,(Beirut: Dār al-Fikr, 1983), h. 126.
[10] Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 113.
[11] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka, (Jakarta: Penerbit Kalam) h. 48.
[12] Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal asy-Syamiyin, Jil. 4 (Beirut, Libanon: Dar- Al-kutub Al-Ilmiah, t.t.), h. 284.
[13] Rachmat Syafe’i, FiqihMuamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 75.
[14] Syamsul Rijal hamid, Buku Pintar Agama Islam, (Jakarta: Penebar Salam, 1997), h. 18.
[15] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h.  347.
[16] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h.  19.
[17]Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah, (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 68-70.
[18] Dja’far Amir, Ilmu Fiqih, (Solo: Ramadhani, 1991), h.161
[19] Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Dalam Hidup Berekonomi), (Bandung: CV. Diponegoro, 1992), h. 124
[20] Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 125
[21]Ibid
[22] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), h. 139
[23] Ibid
[24] Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, (Semarang:  CV. As-Sifa , 1990), h. 52
[25] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, h. 140
[26] Abdullah bin Abdurahman Abu Bassam, Syarah Hadits pilihan Bukhari Muslim, diterjemahkan oleh Katrur Suhardi, cetakan I, (Jakarta: Darul fatah, 2002), h. 692-693
Baca selengkapnya