Dri Santoso dan Lukman Hakim
STAIN Jurai Siwo Metro
Abstract
To fulfill the daily needs, one of the efforts
undertaken by humans is to make buying and selling. Sale and purchase
transaction will bring together the needs with the needs of others so that one
wishes would be fulfilled by the desire of others. There are several purchase
transactions are prohibited in Islam as tallaki rukban, bai 'najasi,or
ikhtikar. Moreover, Islam also prohibits the sale and purchase containing
obscurity (gharar) of goods, prices or the agreement. Examples gharar ie
buying and selling calves in the womb, or offering the birds are still flying
in the wild. Buying and selling fruits immature perfectly into the category of
selling debt bondage. Buying and selling debt bondage is usually done when the
fruit is on the tree are still visible green fruit skin (not yet reached
perfect ripeness levels) or even still relatively young fruit. When the fruit
is sold in a young state will arise two possibilities, the fruit reaches a
maximum maturity period or damage as a result of animal disturbance or other
reasons. Given the level of risk of loss selling large bonded, some scholars
prohibit this practice of buying and selling. But still there are some scholars
who allow buying and selling of debt bondage. Therefore, the law needs to be a
review of the sale and purchase of debt bondage in the perspective of Islamic
law in the review of the arguments of the Koran, the Hadith and the opinions of
the scholars.
Keywords: Transaction Gharar, Ijon, Ijon Law.
Abstrak
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
salah satu upaya yang dilakukan oleh manusia adalah dengan melakukan transaksi
jual beli. Transaksi jual beli akan mempertemukan satu kebutuhan dengan
kebutuhan lain sehingga satu keinginan akan terpenuhi oleh keinginan yang lain.
Ada beberapa transaksi jual beli yang dilarang dalam Islam seperti tallaki
rukban, bai’ najasi, dan ikhtikar. Selain itu, Islam juga melarang
jual beli yang mengandung ketidakjelasan (gharar) baik barang, harga
atau akadnya. Contoh jual beli gharar yaitu membeli anak sapi yang masih
dalam kandungan, atau menawarkan burung yang masih terbang di alam bebas. Jual
beli buah-buahan yang belum matang sempurna masuk dalam kategori jual beli
ijon. Jual beli ijon biasanya dilakukan ketika buah yang ada di pohon masih
terlihat hijau kulit buahnya (belum mencapai tingkat kematangan sempurna) atau
bahkan masih tergolong buah muda. Ketika buah dijual dalam keadaan muda maka
akan timbul dua kemungkinan, buah mencapai masa kematangan maksimal atau
terjadi kerusakan akibat gangguan binatang atau sebab lain. Dengan melihat
tingkat resiko kerugian jual beli ijon yang besar, sebagian ulama melarang
praktik jual beli ini. Tetapi masih ada sebagian ulama yang membolehkan jual
beli ijon. Oleh karena itu, perlu pengkajian kembali tentang hukum jual beli
ijon dalam perspektif hukum Islam di tinjau dari dalil al-Quran, Hadits dan
pendapat para ulama.
Kata Kunci: Transaksi Gharar, Ijon,
Hukum Ijon.
Pendahuluan
Manusia sebagai
makhluk sosial (zoon politicon), memerlukan orang lain dalam rangka
berinteraksi dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hubungan dalam berinteraksi
dengan orang lain dalam Islam sering disebut dengan muamalah.[1]
Salah satu
bentuk muamalah yang dilakukan oleh umat Islam yaitu jual beli. Dalam bertransaksi
jual-beli umat Islam dilarang melakukan hal yang dilarang dalam Islam seperti
berbuat curang, berbohong, mengurangi timbangan atau melakukan jual beli yang
dilarang seperti bai’ najasi (penjual menyuruh orang utuk menawar dengan
harga tinggi atau memuji barang yang dijual agar pembeli tertarik membeli), ihktikar
(penimbunan), tallaqi rukban (menyembunyikan informasi harga), dan tadlis
(penipuan).[2]
Dalam transaksi
jual beli, Islam mengajarkan agar jual beli yang dilakukan dilandasi dengan
kejelasan. Jelas akad, barang dan harga sehingga tidak ada pihak yang dirugikan
oleh pihak lain. Islam melarang melakukan akad jual dengan ketidakjelasan, baik
barang, harga atau akadnya. Karena ketidakjelasan (gharar) berpotensi
menimbulkan permasalahan ketika jual beli telah berlalu.
Salah satu
bentuk jual beli gharar adalah jual beli ijon. Jual beli ijon dalam
praktek di masyarakat dilakukan dengan melakukan jual beli buah-buahan yang
belum matang sempurna. Sehingga kerugian dapat saja dialami pembeli
dikarenakan buah rusak akibat hama,
hewan malam atau gangguan lain. Jual beli ijon contohnya seperti membeli buah
rambutan yang masih dipohon, terlihat hijau kulit buahnya. Contoh lain jual
beli ijon yaitumenjual jambu air yang yang masih berupa bunga.
Pembahasan
tentang jual beli ijon perlu dikaji dengan melihat dalil al-Quran, dalil hadits
dan pendapat para ulama. Beragam pendapat ulama tentang jual beli ijon harus
dipahami sebagai khasanah keilmuan Islam yang digunakan untuk menjawab berbagai
permasalahan yang ada di masyarakat.
Pembahasan
A. Pengertian
Jual Beli
Menurut istilah fikih, jual beli
disebut dengan bai‘ yang berarti menjual, mengganti dan menukar sesuatu
dengan sesuatu yang lain.[3]
Jual beli dalam bahasa Indonesia berasal dari dua kata, yaitu jual dan beli.
Yang dimaksud dengan jual beli adalah berdagang, berniaga, menjual dan membeli
barang.[4]
Menurut Hanafiah, pengertian jual beli
(al bai’) secara definif yaitu tukar-menukar harta benda atau sesuatu
yang diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui cara yang bermanfaat.[5]
Adapun menurut Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah, jual beli (al-bai’)
yaitu tukar-menukar harta dengan harta pula dalam bentuk pemindahan milik dan
kepemilikan.[6]
Menurut Ibnu Qudamah, jual beli adalah
tukar menukar barang dengan barang yang bertujuan memberi kepemilikan dan
menerima hak milik.[7] Menurut Imam Nawawi, jual
beli adalah tukar menukar barang dengan barang yang bertujuan memberi
kepemilikan.[8]
As-Sayyid Sabiq memberikan definisi
jual beli adalah melepaskan harta dengan mendapat harta lain berdasarkan
kerelaan atau memindahkan milik dengan mendapatkan benda lain sebagai gantinya
secara sukarela dan tidak bertentangan dengan syara’.[9]
B. Dasar
Hukum Jual Beli
Jual beli sebagai sarana taawun atau
tolong menolong antara sesama umat manusia yang mempunyai landasan kuat dalam
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shalallahu alaihi wasallam. Terdapat beberapa
ayat Al-Qur’an yang membahas tentang jual beli,[10]
di antaranya dalam surah Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi:
“Orang-orang
yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata, jual beli
itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti,
Maka apa yang telah diambilnya dahulu menjadi miliknya, dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni
neraka, ; mereka kekal di dalamnya”.[11] (QS.
Al-Baqarah [2]: 275)
Pada ayat ini orang-orang diperintahkan
Allah SWT. untuk memelihara dan berlindung dari siksa api neraka dengan
berusaha melaksanakan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah untuk
melaksanakan jual beli dan meninggalkan riba.
Dalam surat yang
lain juga dijelaskan yaitu surat an-Nisa’[4]: 29
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa[4]:
29)
Begitu juga
dijelaskan dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, menyatakan
bahwasannya Nabishalallahu alaihi wasallam ketika ditanya tentang usaha
apa yang baik beliau menjawab:
”Diriwayatkan dari pada Hakim bin Hizam
ra. katanya: Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda: Penjual dan pembeli
diberi kesempatan berfikir selagi mereka belum berpisah. Sekiranya mereka jujur
serta membuat penjelasan mengenai barang yang dijual belikan, mereka akan
mendapat berkah dalam jual beli mereka. Sekiranya mereka menipu dan merahsiakan
mengenai apa-apa yang harus diterangkan tentang barang yang dijual belikan akan
terhapus keberkahannya.” (HR. Ahmad)[12]
Ulama telah sepakat bahwa jual beli
diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan
dirinya sendiri, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang
milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya
yang sesuai.[13]
C. Rukun
dan Syarat Jual Beli
Jual beli merupakan perbuatan hukum
yang mempunyai konsekuensi terjadinya peralihan hak atas sesuatu barang dari
pihak penjual kepada pihak pembeli, maka syarat dan rukun jual beli menjadi
wajib dipenuhi untuk memperoleh sahnya transaksi yang dilakukan.[14]
Dalam menentukan rukun jual beli ini,
terdapat perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama. Menurut ulama
Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan qabul yang menunjukkan
adanya tukar menukar atau yang serupa dengannya dalam bentuk saling memberikan
(at-Ta’ati).[15]
Menurutnya yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanya kerelaan kedua belah
pihak untuk berjual beli.
Sebenarnya secara implisit pendapat
dari ulama Hanafiyah telah mencakup semua rukun jual beli. Dengan adanya
kerelaan penjual dan pembeli, artinya objek, akad, barang dan harga terpenuhi
sekaligus.
Sedangkan rukun
jual beli menurut jumhur ulama terdiri dari:[16]
1.
Pihak-pihak yang berakad (al-‘aqidain)
Orang yang melakukan akad jual beli
meliputi penjual dan pembeli. Pelaku ijab dan qabul haruslah
orang yang ahli akad baik mengenai apa saja, anak kecil, orang gila, orang
bodoh, tidak diperbolehkan melakukan akad jual beli. Dan orang yang melakukan
akad jual beli haruslah tidak ada paksaan.
2.
Adanya uang (harga) dan barang (ma‘qud‘alaih)
Adanya harga
beserta barang yang diperjualbelikan.
3.
Adanya sighat akad (ijab
qabul)
Ijab dan qabul merupakan bentuk
pernyataan (serah terima) dari kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Dalam
hal ini Ahmad Azhar Basyir telah menetapkan kriteria yang terdapat dalam ijab
dan qabul, yaitu:
a.
Ijab
dan qabul harus dinyatakan oleh orang sekurang-kurangnya telah mencapai
umur tamyiz, yang menyadari dan mengetahui isi perkataan yang diucapkan,
sehingga ucapannya merupakan pernyataan isi hatinya. Dengan kata lain, ijab
dan qabul harus dilakukan oleh orang yang cakap untuk melakukan tindakan
hukum.
b. Ijab dan qabul harus tertuju pada
suatu objek akad.
c. Ijab dan qabul harus berhubungan
langsung dalam suatu majelis, apabila kedua belah pihak sama-sama hadir atau
sekurang-kurangnya dalam majelis diketahui ada ijab oleh pihak yang
tidak hadir. Ijab dan qabul (sighat akad) dapat dilakukan
dengan berbagai cara, yaitu:
1)
Secara
lisan, yaitu dengan menggunakan bahasa atau perkataan apapun asalkan dapat
dimengerti oleh masing-masing pihak yang berakad.
2)
Dengan
tulisan, yaitu akad yang dilakukan dengan tulisan oleh salah satu pihak atau
kedua belah pihak yang berakad. Cara yang demikian ini dapat dilakukan apabila
orang yang berakad tidak berada dalam satu majelis atau orang yang berakad
salah satu dari keduanya tidak dapat bicara.
3)
Dengan
isyarat, yaitu suatu akad yang dilakukan dengan bahasa isyarat yang dapat
dipahami oleh kedua belah pihak yang berakad atau kedua belah pihak yang
berakad tidak dapat berbicara dan tidak dapat menulis.[17]
D. Jual
Beli yang diLarang
Menurut Jumhur ulama tidak ada
perbedaan antara jual beli fasid dan jual beli batil. Sedangkan
Hanafi membedakan antara keduanya. Ada empat sebab yang membuat rusaknya akad
jual beli yaitu, pelaku akad (penjual dan pembeli), sighat, objek jual
beli (barang yang diperjual belikan), dan kaitan antara akad dengan sifat,
syarat atau larangan syara’.
1. Jual
beli yang dilarang karena pelaku akad
Para fuqaha sepakat bahwa jual beli akan sah jika dilakukan
oleh orang yang telah baligh, berakal, dapat melakukan tindakan secara
bebas, tidak dilarang membelanjakan hartanya asalkan tidak dilarang oleh hukum.
Maka jual beli yang dilakukan oleh orang gila dianggap tidak sah.
2. Jual
beli yang dilarang karena sighat
Menurut jumhur ulama, jual beli dianggap sah jika terjadi
kerelaan antara penjual dan pembeli yang disebabkan oleh kesesuaian antara ijab
dan qabul. Ada
beberapa jual beli yang tidak sah, diantaranya:
a. Jual
beli mu’thah
Jual beli tanpa ijab dan qabul
tetapi hanya dengan kesepakatan kedua pelaku akad.
3. Jual
beli yang dilarang karena objek (ma’qul alaih)
Ma’qul alaih secara umum
bermakna harta yang dikeluarkan oleh pelaku akad, salah satunya adalah barang
dagangan (penjual) dan alat tukar bisa berupa uang atau barang lain (bagi
pembeli). Fuqaha bersepakat bahwa ma’qul
alaih adalah barang yang berharga, ada wujudnya, dapat diserahkan dan
diketahui oleh orang yang melakukan akad, bukan hak orang lain dan tidak
dilarang oleh syara’.
Jumhur ulama berbeda pendapat mengenai sifat jual beli yang
dilarang, yaitu:
a. Jual
beli yang tidak ada atau beresiko.
b. Jual
beli barang yang tidak bisa diserahkan.
c. Jual
beli yang mengandung penipuan (gharar).
d. Jual
beli utang dengan nasiah (tidak tunai).
e. Jual
beli sesuatu najis atau terkena najis.
f.
Jual beli sesuatu yang tidak diketahui.
g. Jual
beli sesuatu yang tidak ada ditempat transaksi.
h. Jual
beli sesuatu sebelum ada serah terima.
i.
Jual beli tanaman atau buah-buahan yang
masih belum jelas.[18]
E. Jual
Beli Ijon Perspektif Hukum Islam
Ijon yang dalam bahasa Arab
dinamakan mukhadlaroh, yaitu memperjual belikan buah-buahan atau
biji-bijian yang masih hijau.[19]Jual beli dengan sistem ijon, yaitu
jual beli yang belum jelas barangnya, seperti buah-buhan yang masih muda, padi
yang masih hijau yang memungkinkan dapat merugikan orang lain.[20]
Maksud jual beli ijon disini adalah
jual beli buah yang belum jelas kemanfaatanya, karena jual beli buah yang belum
berbentuk (masih berupa bunga atau belum muncul sama sekali) adalah jual beli yang
dilarang menurut para ulama karena jual beli semacam itu termasuk dalam
kategori jual beli yang belum dimiliki atau jual beli gharar (penipuan
karena pasti salah satu pelaku akan tertimpa kerugian).
Larangan jual beli buah-buahan yang
belum terlihat masak dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam muslim berikut
ini.
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهُ
“Sesungguhnya
Nabi saw. telah melarang untuk menjual buah hingga mulai tampak
kelayakannya”(HR Muslim, an-Nasa’i, Ibn Majah dan
Ahmad).
Imam
Muslim meriwayatkan hadis ini dari Yahya bin Yahya, Yahya bin Ayyub, Qutaibah
dan Ibn Hujrin; semuanya dari Ismail bin Ja’far, dari Abdullah bin Dinar,
dari Ibn Umar. Dari jalur Ahmad bin Utsman an-Nawfali dari Abu ‘Ashim; dari
Muhammad bin Hatim, dari Rawh, dan keduanya (Rawh dan Abu ‘Ashim) dari
Zakariya’ bin Ishaq, dari Amru bin Dinar, dari Jabir bin Abdullah.
Manthûq
(makna tekstual) hadis ini menunjukkan larangan menjual
buah (ats-tsamar hasil tanaman)
yang masih berada di pohonnya jika belum mulai tampak kelayakannya.
Sebaliknya, mafhûmal-mukhâlafah
(pemahaman kebalikannya) hadis ini menunjukkan bolehnya menjual buah yang masih
di pohonnya jika sudah mulai tampak kelayakannya.[21]
Maksud
yabduwa shalâhuhu
(mulai tampak kelayakannya) dijelaskan oleh riwayat lainnya. Dalam riwayat dari
Jabir bin Abdullah ra. dikatakan “hatta yathîba (hingga
masak)” (HR al-Bukhari dan Muslim), atau “hatta yuth’ama (hingga
bisa dimakan) (HR Muslim dan an-Nasa’i). Dalam riwayat yang lain, Jabir
ra., menuturkan:
نَهَى النَّبِيُّ صلى الله
عليه وسلم أَنْ تُبَاعَ الثَّمَرَةُ حَتَّى تُشْقِحَ فَقِيلَ وَمَا تُشْقِحُ قَالَ
تَحْمَارُّ وَتَصْفَارُّ وَيُؤْكَلُ مِنْهَا
“Nabi saw. melarang buah dijual
hingga tusyqih, Ditanyakan, “Apa tusyqih itu?” Beliau menjawab, “Memerah dan
menghijau serta (bisa) dimakan darinya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ibn
‘Abbas menuturkan:
نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ النَّخْلِ حَتَّى
يُؤْكَلَ مِنْهُ أَوْ يَأْكُلَ مِنْهُ وَحَتَّى يُوزَنَ
“Nabi
saw. telah melarang menjual kurma hingga bisa dimakan darinya atau orang bisa
makan darinya dan hingga bisa ditimbang”(HR
al-Bukhari).
Jadi,
batasan buah yang masih ada di pohonnya bisa dijual adalah jika sudah layak
dimakan. Tanda-tanda buah itu sudah bisa dimakan berbeda-beda sesuai dengan
jenis buahnya. Hal itu telah diisyaratkan di dalam riwayat Anas bin Malik ra.:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ بَيْعِ
الْعِنَبِ حَتَّى يَسْوَدَّ وَعَنْ بَيْعِ الْحَبِّ حَتَّى يَشْتَدَّ
“Rasulullah
saw. melarang menjual anggur hitam hingga warnanya menghitam dan menjual
biji-bijian hingga sudah keras”(HR Abu Dawud).
Dalam
hal buah-buahan, secara umum terdapat dua jenis. Pertama: buah-buahan yang ketika sudah
tua/cukup umur bisa dipetik dan selanjutnya bisa masak, seperti mangga, pisang,
pepaya, dan sebagainya. Jika sudah ada semburat warna merah atau kuning
yang menandakan buah sudah cukup tua, buah itu bisa dipetik dan nantinya akan
masak. Jika belum tampak tanda-tanda seperti itu buah dipetik maka tidak bisa
masak. Buah-buahan jenis ini, jika sudah tampak tanda-tanda perubahan
warna itu, yakni sudah cukup tua untuk dipetik, maka sudah boleh dijual meski
masih di pohonnya.[22]
Kedua,
buah-buahan yang harus dipetik ketika sudah masak seperti semangka, jambu,
salak, jeruk, anggur, rambutan dan sejenisnya. Jika sudah seperti itu
maka buah yang masih dipohonnya boleh dijual. Batas tersebut bisa diketahui
dengan mudah oleh orang yang berpengalaman tentangnya.
Ada
juga tanaman yang kebanyakan dari jenis sayuran seperti ketimun, buncis, kacang
panjang, dan sebagainya yang jika bunganya sudah berubah menjadi buah, maka
saat itu sudah mulai layak untuk dikonsumsi. Buah tanaman sejenis ini,
jika bunga sudah berubah menjadi buah, sudah boleh dijual. Adapun jenis
biji-bijian, seperti padi, kedelai, jagung dan sebagainya, maka sesuai hadis
Anas di atas, sudah boleh dijual ketika sudah keras.
Para
fuqaha berbeda pendapat mengenai jual beli di atas pohon dan hasil pertanian di
dalam bumi. Hal ini karena adanya kemungkinan bentuk ijon yang didasarkan pada
adanya perjanjian tertentu sebelum akad.
Imam
Abu Hanifah atau fuqaha Hanafiyah membedakan menjadi tiga alternatif hukum
sebagai berikut:[23]
1. Jika
akadnya mensyaratkan harus di petik maka sah dan pihak pembeli wajib segera
memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada izin dari pihak
penjual.
2. Jika
akadnya tidak disertai persyaratan apapun, maka boleh.
3. Jika
akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap dipanen) sampai
masak-masak, maka akadnya fasad.
Sedang
para ulama berpendapat bahwa mereka membolehkan menjualnya sebelum bercahaya
dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada hadis nabi yang melarang menjual
buah-buahan sehingga tampak kebaikannya. Para ulama tidak mengartikan larangan
tersebut kepada kemutlakannya, yakni larangan menjual beli sebelum bercahaya.
Kebanyakan ulama malah berpendapat bahwa makna larangan tersebut adalah
menjualnya dengan syarat tetap di pohon hingga bercahaya.[24]
Jumhur
(Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) berpendapat, jika buah tersebut belum
layak petik, maka apabila disyaratkan harus segera dipetik sah. Karena menurut
mereka, sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya adalah gugurnya buah
atau ada serangan hama. Kekhawatiran seperti ini tidak terjadi jika langsung
dipetik. Sedang jual beli yang belum pantas (masih hijau) secara mutlak tanpa
persyaratan apapun adalah batal.[25]
Pendapat-pendapat
ini berlaku pula untuk tanaman lain yang diperjual belikan dalam bentuk ijon,
seperti halnya yang biasa terjadi di masyarakat kita yaitu penjualan padi yang
belum nyata keras dan dipetik atau tetap dipohon, kiranya sama-sama berpangkal
pada prinsip menjauhi kesamaran dengan segala akibat buruknya. Namun analisa
hukumnya berbeda.
Tampaknya
kelayakan buah untuk dikonsumsi itu tidak harus terpenuhi pada seluruh buah di
kebun. Hal itu adalah sangat sulit. Sebabnya, buah di satu kebun bahkan
satu pohon memang tidak memiliki tingkat ketuaan yang sama dan tidak bisa masak
secara bersamaan. Ketuaan dan menjadi masak itu terjadi secara bertahap
hingga seluruh buah di kebun menjadi tua/masak. Karena itu, maksud yabduwa shalâhuhu
itu adalah jika ada sebagian buah sudah layak dikonsumsi, maka buah yang sama
di satu kebun itu boleh dijual semuanya, baik yang sudah mulai masak maupun
yang belum.
Buah-buahan
sangat mudah terkena bencana dan gangguan sebelum tampak matang, sehingga tidak
ada kemaslahantanya bagi pembeli jika ia di jual selagi buah belum tampak
matang.
Maka
Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam melarang penjual dan pembeli
dalam jual beli buah-buahan sehingga tampak menguning atau memerah, yang
berarti sudah mulai tampak matang. Sebagai buktinya ialah kurma di pohon yang
kekuning-kuningan atau kemerah-merahan.[26]
Kemudian
beliau memberikan penjelasan larangan jual beli itu, bahwa sekiranya ada
kerusakan yang menimpanya atau sebagian diantaranya, maka dengan alasan apa engkau
wahai penjual menghalalkan harta saudaramu pembeli? Bagaimana engkau mengambil
hartanya tanpa ada pengganti dan manfaat yang dia dapatkan?
Mengenai
batas mulai layak dikonsumsi itu bergantung pada masing-masing jenis
buah. Misalnya jika sudah ada sebagian mangga yang masak maka semua
mangga yang ada di satu kebun itu boleh dijual. Jika ada sebagian
semangka yang sudah layak dikonsumsi maka seluruh semangka jenis yang sama di
kebun itu boleh dijual, termasuk yang masih muda. Jika sudah ada sebagian bunga
ketimun yang berubah menjadi buah maka semua ketimun di seluruh kebun itu boleh
dijual. Jika ada sebagian tongkol jagung manis sudah layak dipetik maka
seluruh jagung manis di kebun itu boleh dijual.
Jika
buah yang masih di pohon itu dijual, lalu terjadi bencana cuaca seperti hujan,
angin, hawa dingin, angin kering/panas, dan sebagainya, maka penjual wajib
menarik diri dari harga buah yang mengalami cacat atau rusak dan
mengembalikannya kepada pembeli. Jabir ra. menuturkan bahwa Nabi saw.
pernah bersabda:
إِنْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا
فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ فَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا بِمَ
تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Jika
engkau menjual buah kepada saudaramu, lalu terkena bencana, maka tidak halal
bagimu mengambil sesuatu pun darinya karena (ketika itu) engkau mengambil harta
saudaramu tidak secara haq” (HR
Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i).
Namun,
jika kerusakan itu bukan karena bencana cuaca seperti pencurian, kekeringan
karena kerusakan pompa, gempa, banjir, kebakaran, dan sebagainya, maka penjual
tidak harus melepaskan harganya. Bencana seperti itu tidak termasuk dalam
cakupan makna hadis tersebut.
Kesimpulan
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai jual
beli diatas pohon dan hasil pertanian di dalam bumi. Hal ini karena adanya
kemungkinan bentuk ijon yang didasarkan pada adanya perjanjian tertentu sebelum
akad.
Ulama Hanafiyah mengungkapkan jika akadnya
mensyaratkan harus di petik maka sah dan pihak pembeli wajib segera memetiknya
sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada izin dari pihak penjual. Jika
akadnya tidak disertai persyaratan apapun, maka boleh. Jika akadnya
mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap dipanen) sampai masak-masak,
maka akadnya fasad.
Jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah)
berpendapat, jika buah tersebut belum layak petik, maka apabila disyaratkan
harus segera dipetik sah. Karena menurut mereka, sesungguhnya yang menjadi
halangan keabsahannya adalah gugurnya buah atau ada serangan hama. Kekhawatiran
seperti ini tidak terjadi jika langsung dipetik. Sedang jual beli yang belum
pantas (masih hijau) secara mutlak tanpa persyaratan apapun adalah batal
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah
bin Abdurahman Abu Bassam, 2002, Syarah Hadits pilihan Bukhari Muslim, diterjemahkan
oleh Katrur Suhardi, cetakan I, Jakarta: Darul fatah
Amir, Dja’far, 1991, Ilmu Fiqih, Solo:
Ramadhani
As-Sayyid Sabiiq, 1983, Fiqh
as-Sunnah, Beirut: Dār al-Fikr
Azhar Basyir, Ahmad, 2004,
Asas-asas Hukum Muamalat, Cet. Ke-2, (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: UII
Press
Basyir, Ahmad Azhar,2000,Asas-asas
Hukum Muamalah, Yogyakarta: UII Press
Basyir, Ahmad Azhar, 2004,
Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Cet. Ke-2, Yogyakarta: UII
Press
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
Tafsir Per Kata Tajwid Kode Angka, Jakarta: Penerbit
Hamid, Syamsul Rijal, 1997, Buku
Pintar Agama Islam, Jakarta: Penebar Salam
Haroen, Nasrun, 2000, Fiqh
Mu’amalah, Jakarta: Gaya Media
Pratama
Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Imam
Ahmad bin Hambal asy-Syamiyin, Jil. 4 Beirut, Libanon: Dar- Al-kutub
Al-Ilmiah, t.t.
Karim, Adiwarman,2011, Ekonomi Mikro
Islami, cet.ke-4 ,Jakarta: Rajawali Pers
Mardani, 2012, Fiqh Ekonomi Syariah,
Cet. Pertama, Jakarta: Kencan
Mas’adi,
Ghufron A., 2002, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: Rajawali Pers
Muhammad Asy-Syarbini, Mugnil
mutaaj, Juz 2, Beirut: dar al-Fikr
Poerwodarminto, 1993, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka
Rusyd,
Ibnu, 1990, Terjemahan Bidayatul Mujtahid, Semarang: CV. As-Sifa
Syafe’i, Rachmat, 2001, FiqihMuamalah,
Bandung: Pustaka Setia
Wahbah
Az-Zuhaily, 2006, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia
Ya’qub, Hamzah, 1992, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola
Pembinaan Dalam Hidup Berekonomi), Bandung: CV. Diponegoro
[1] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum
Perdata Islam), Cet. Ke-2, (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 11
[3] Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2000), h.2.
[4] Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1993), h.32.
[8] Muhammad Asy-Syarbini, Mugnil mutaaj, Juz 2,
(Beirut: dar al-Fikr), h. 2
[9] As-Sayyid Sabiiq, Fiqh as-Sunnah,(Beirut: Dār
al-Fikr, 1983), h. 126.
[10] Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2000), h. 113.
[11] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid
Kode Angka, (Jakarta: Penerbit Kalam) h. 48.
[12] Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal
asy-Syamiyin, Jil. 4 (Beirut, Libanon: Dar- Al-kutub Al-Ilmiah, t.t.), h.
284.
[13] Rachmat Syafe’i, FiqihMuamalah, (Bandung: Pustaka
Setia, 2001), h. 75.
[14] Syamsul Rijal hamid, Buku Pintar Agama Islam, (Jakarta:
Penebar Salam, 1997), h. 18.
[15] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1989), h. 347.
[16] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1989), h. 19.
[17]Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah, (Yogyakarta:
UII Press, 2000), h. 68-70.
[19] Hamzah
Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Dalam Hidup
Berekonomi), (Bandung: CV. Diponegoro, 1992), h. 124
[21]Ibid
[24] Ibnu Rusyd,
Terjemah Bidayatul Mujtahid, (Semarang:
CV. As-Sifa , 1990), h. 52
[25] Ghufron A.
Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, h. 140
[26] Abdullah
bin Abdurahman Abu Bassam, Syarah Hadits pilihan Bukhari Muslim, diterjemahkan
oleh Katrur Suhardi, cetakan I, (Jakarta: Darul fatah, 2002), h. 692-693
Bagikan
Jual Beli Ijon Dalam Perspektif Hukum Islam
4/
5
Oleh
Lukman Hakim