Friday, January 13, 2017

Maukah Anda Mengutil?


Mengutil atau biasa disebut ngutil, dalam bahasa keseharian masyarakat Jawa adalah sebuah tindakan mengambil barang orang lain tanpa permisi. Ngutil dapat pula dikatakan sebagai mencuri, atau nyolong. Saya belum bisa membedakan secara pasti berbedaan dari ketiganya, yang pasti ketiga perbuatan tersebut bertentangan dengan norma dan dilarang oleh masyarakat. Atau bisa jadi mereka bertiga adalah saudara akibat ikatan persaudaraan mereka−sinonim. 

Jika ditarik dari segi bahasa, mengutil seharusnya memilki kata dasar kutil. Tapi pada kenyataanya kutil bukanlah kata dasar dari mengutil. Kutil sendiri adalah penyakit kulit atau parasit di kulit yang menyebabkan kulit membentuk sebuah benjolan keras. Sedangkan mengutil atau ngutil adalah kata kerja yang dilakukan oleh pengutil. Jadi kutil bukan kata kerja dari mengutil, atau mungkin si pengutil memilki kutil, sehingga pengambil barang tanpa izin  kemudian disebut pengutil. Ini adalah kemungkinan yang paling masuk akal dari hubungan kutil dan mengutil.

Aksi ngutil-mengutil (atau kutil-mengutil, belum saya cek  kata mana yang merupakan kata baku) biasanya dilakukan di pasar, di warung, di super market atau tempat lain yang memungkinkan untuk melancarkan aksi menguntil. Si pengutil biasanya menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Artinya pengutil akan beraksi jika pemilik toko di pasar atau pemilik warung sedang lengah. Kemudian dengan kecepatan tangan ala pesulap, barang-barang akan berpindah tangan dari rak ke tangan pengutil.

Untuk para pegiat ngutil, sudah seharusnya sampean bersiap diri dengan akibat yang akan diperoleh jika aksi sampean sampai ketangkap basah. Bukan hanya baju dan celana yang bisa basah kuyup akibat keringat dingin, bahkan sampean juga sudah disodori dengan sanki yang memalukan dari masyarakat. Walaupun bukan masyarakat sendiri yang membuat malu, biasanya hati nurani pengutillah yang merasakannya. Malu pun akan dirasakan oleh pengutil jika memang hati mereka masih berfungsi secara baik tanpa di aling-aling dengan perasaan tak tau malu.

Untuk sanki pengutil, saya pernah menjumpai pemberian sanki yang saya fikir cukup sadis yang dilakukan oleh seorang pemilik warung dibilangan 38 B Desa Batanghari Lampung Timur.

Bagaimanakah perlakuannya? Begini, ternyata ada foto seorang ibu paruh baya yang ditempel di tembok sebuah warung dan memegang sebuah kertas yang bertulis “Saya telah mencuri…. Bla bla bla”, yang intinya tulisan itu memberikan pengakuan bahwa si ibu telah mencuri minyak goring di warung. Etdah, alangkah malunya jika saya diperlakukan seperti itu. Mending saya akan pergi dan tak akan pernah muncul-muncul lagi di daerah tersebut, apalagi di warung itu.

Saya sebenarnya merasa perihatin dengan apa yang dialami oleh si ibu pengutil. Perasaan malu jelas merambat ke sekujur tubuhnya, dan jelas ibu itu dibuat sangat malu. Saya fikir pemilik warung keterlaluan dalam memberikan hukuman untuk pelaku ngutil tersebut. Tapi berdasarkan analisis ngawur yang saya lakukan, tujuan dari pemberian sanki tersebut agar si pengutil jera dan tidak melakukan hal yang sama dikemudian hari. Juga memberikan proses edukasi kepada masyarakat bahwa ‘jangan mengutil’ jika tidak ingin bernasib demikian−di foto dan ditempel di tembok dengan pengakuan mengutilnya.

Belum lagi ketika saya menyempatkan diri pulang ke rumah, di Dusun 3 Desa Binakarya Utama Kecamatan Putra Rumbia, ternyata ada juga tetangga yang turut ngeksis dalam aksi ngutil-mengutil. Jelas, mengutil terjadi dimana saja di belahan bumi ini, bukan hanya di kampung saya, dan tidak Cuma di Indonesia.

Jika diamati secara seksama dan dalam tempo yang tidak sesingkat-singkatnya, ada dua tipologi mengutil. Pertama, mengutil karena alasan kepepet disebabkan oleh keadaan yang tidak bersahabat/kekurangan. Kedua, mengutil sudah dijadikan sebagai hobi atau profesi. Untuk kondisi yang pertama, jelas mengutil hanya sekali waktu dan tidak akan berulang. Tapi pada kondisi kedua, mengutil dijadikan sebagai gaya hidup yang jika sekali saja tidak dilakukan maka akan menyebabkan efek samping ketagihan, gata-gatal tangannya, sampai juga muncul slogan ‘ora ngutil ora keren’, setara dengan slogan ‘ora ngapak ora kepenak’. Jelas alasan kedua ini tidak bisa ditolerir. Sama sekali! Blas tanpa tolerir!

Lalu, maukah sampean-sampean ini saya rekomendasikan mengutil yang tidak melanggar? Jelas mau.  Yang pasti anda tidak akan menolak. Mengutil yang satu ini sebenarnya sudah terbukti manjur membawa perubahan di hidup seseorang. Iya, ‘mengutil ilmu’ dari banyak orang, dimana pun tempatnya.

Mohon maaf jika secara bahasa terdengar tidak sopan tentang istilah ‘mengutil ilmu’. Tapi yang sebenarnya saya maksud dengan mengutil ilmu adalah sebagai seorang yang wajib menuntut ilmu sepanjang hayat kita harus mengutil ilmu dimana pun tempatnya dan pada saat kita bergaul dengan siapa saja.

Mengambil hikmah dari setiap perjumpaan dengan orang, memetik pelajaran dari setiap masalah yang telah berhasil dilalui. Tentu hal ini akan mendewasakan kita sebagai manusia dan mematangkan kondisi emosional kita sebagai pribadi dewasa dalam berfikir dan bertindak. Maka janganlah ragu untuk selalu mengasak ilmu mengutil ilmu. Saya pun sedang mengembangkan ilmu ini.
Pesan terakhir dari saya, jangan lupa ngutil ilmu ya!


Baca selengkapnya