Saturday, July 30, 2016

Menikah, Bukan Beli Kucing dalam Karung

Lukman Hakim
Pegiat Komunitas Cangkir Kamisan
Menikah, Bukan Beli Kucing dalam Karung
Lepas dari masa remaja dan memasuki fase dewasa, dapat dipastikan bahwa seorang selalu berfikir tentang menikah. Bukan soal menikah perintah agama, tetapi menikah bisa pula sebagai sarana melengkapi kebahagiaan, bahkan untuk melanjutkan garis keturunan.
Menikah bukan membeli kucing dalam karung. Artinya sebelum meminang seseorang untuk dijadikan sebagai pasangan hidup, upaya mengenal dan paham dengan latar belakang calon menjadi hal yang wajib diketahui. Siapa keluarga calon, bagaimana latar belakang pendidikan, bagaimana sifat dan peranggai keseharian dari orang yang ingin dinikahi.
Islam memerintahkan kepada pemeluknya agar menikahi seorang wanita karena empat perkara; karena hartanya, karena garis keturunannya, karena cantiknya, dan karena agamanya. Kemudian diakhir redaksi hadis dikatakan bahwa diperintahkan mencari wanita yang memiliki pemahaman agama Islam yang baik, karena mereka akan masuk kategori kelompok orang yang beruntung.
Lalu bagaimana kemudian seorang yang sudah siap menikah berupaya mengenal orang yang akan dijadikan sebagai pendampingnya? Upaya mengenal seseorang dapat dilakukan dengan mengenal orang-orang terdekat seperti kawan, sahabat, tetangga dan yang biasa berinteraksi dengan yang bersangkutan. Orang terdekat pasti memiliki info akurat terkait siapa, bagaimana kesehariannya, dan bagaimana sifat dan tindak tanduknya. 
Kenapa penulis membuat pernyataan bahwa orang yang siap menikah itulah yang kemudian harus mencari pandangan seperti apa calon yang diinginkan. Karena mereka yang belum siap menikah, sikap ingin tahu lawan jenis akan  jatuh pada pilihan pacaran. Padahal jika tinjau dari perspektif apa pun, pacaran memiliki dampak negatif yang lebih banyak dibanding manfaatnya.  Bahkan dalam pandangan penulis, pacaran tidak memiliki kontribusi kebaikan apapun untuk hidup seseorang.
Bagaimana dengan sistem penjodohan yang dilakukan orang tua kepada anaknya? Penulis memiliki pandangan bahwa sistem penjodohan bisa diterima jika tidak melanggar hak-hak individu. Artinya orang yang dijodohkan tidak merasa menikah karena paksaan. Karena kebahagiaan seseorang setelah menikah salah satunya ditentukan oleh dengan siapa mereka menikah.
Penulis menolak penjodohan yang kedua belah pihak tidak mereka saling suka dan ridho, karena pernikahan seperti ini rentan perceraian. Bukankah dasar pernikahan adalah rasa cinta kasih dan tidak ada paksaan melakukannya.
Apalagi kemudian ada sebuah kelompok yang mengharuskan anggota untuk selalu taat dengan keputusan pembina sehingga keputusan dengan siapa menikah juga menjadi urusan pembina. Pengikutnya didoktrin untuk taat dan tidak membantah, sami’na wa wata’na, kami dengar dan kami taat.   
Jika orang yang dijodohkan sesuai dengan kriteria dan keinginan maka tak menjadi masalah. Tapi yang menjadi masalah adalah jika penjodohan itu tidak memberikan keleluasaan seorang untuk memilih kriteria yang diinginkan. Hal ini yang kemudian perlu ditanyakan dan dikaji ulang, karena menikah bukan membeli kucing dalam karung yang akan disesali dikemudian hari.





Baca selengkapnya