Tuesday, January 19, 2016

Kampus Menyikapi Terorisme

Lukman Hakim
Penggiat Jurai Siwo Corner
STAIN Jurai Siwo Metro


BEBERAPA hari lalu masyarakat di Indonesia heboh oleh Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang sampai membawa dokter Rica Tri Handayani dan anaknya menghilang beberapa hari. MUI menyebutkan Gafatar adalah gerakan sempalan dari organisasi lama—al-kiyadah al-islamiyah—yang berganti nama karena dulu pernah dilarang pemerintah.

Kemudian, Kamis (14/1/2016), masyarakat Indonesia kembali geger oleh berita pengeboman Gedung Sarinah di Tamrin, Jakarta Pusat. Seketika itu juga banyak pihak yang seolah menjadi seorang analis andal. Banyak perspektif mengenai penyebab tragedi Sarinah, dari isu Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), pengalihan isu perpanjangan kontrak Freeport, Gafatar, kelompok teroris yang sedang tumbuh, hingga pengalihan atas tertangkapnya anggota DPR oleh KPK dari partai penguasa.

Lalu, bagaimana sebaiknya masyarakat menyikapi rentetan kejadian yang heboh diberitakan di media, baik media sosial maupun media mainstream. Haruskah grasah-grusuh menyimpulkan atau menunggu sampai pihak berwajib memberi keterangan yang terang kebenarannya?

Memang wajar sikap reaksioner ketika disuguhi Gafatar atau Sarinah. Tetapi, sikap reaksioner ini harus diimbangi dengan pengumpulan banyak fakta sehingga dapat berpikir rasional, tidak mudah terpengaruh dan tetap tenang dalam mengambil sikap.

Menurut keterangan Kapolda Metro Jaya, pelaku aksi teror di Sarinah adalah jaringan ISIS yang ada di Indonesia. ISIS dianggap sebagai terorisme yang menggunakan Islam untuk melancarkan setiap aksi terornya. Kemudian masyarakat ikut latah dengan menyebut bahwa ISIS adalah bagian dari kelompok Islam yang melakukan aksi kekerasan, bom bunuh diri, atau aksi terorisme.

Penulis tidak sepakat jika aksi terorisme selalu diidentikkan dengan Islam. Bukankah Islam tidak pernah mengajarkan melakukan tindak kekerasan, memaksakan kehendak, dan menegasikan kemanusiaan. Sebaliknya, Islam menyeru untuk bersikap lemah lembut, saling menghargai, toleransi—agama rahmatan lil alamin.

Umat Islam diperintahkan agar menjaga dan meruwat nilai kudus Islam yang rahmatan lil alamin tersebut sehingga penulis skeptis jika pelakunya adalah orang yang mengaku memahami dan sudah menjalankan Islam secara benar.

Aksi terorisme merupakan aksi sesat pikir dengan ragam latar belakang kepentingan politik, egoisme kelompok, isu ekonomi, atau perjuangan ideologi. Kemudian bumbu agama digunakan sebagai senjata untuk merekrut anggota.

Iming-iming jihad, masuk surga, membela agama adalah cara ampuh untuk mendorong para anggota melakukan “jihad” sehinggga apa yang diinstruksikan pemimpin adalah wajib dilaksanakan, termasuk harus melaksanakan bom bunuh diri. “Kami dengar dan kami taat” tidak diimplementasikan dalam ranah yang benar.

Selain aksi terorisme, bangsa Indonesia juga harus peka terhadap masalah pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengesampingkan sisi kemanusiaan. Sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sering ditonjolkan sehingga tindak kekerasan, aksi serang, atau tindakan intoleran sering menjadi jalan pintas ketimbang dialog.

Kebebasan beragama/berkeyakinan adalah kekayaan keberagaman bangsa Indonesia yang harus dijaga. Selama tidak menyimpang secara hukum, memberikan hak beragama/berkeyakinan adalah sikap dewasa dalam menyikapi perbedaan.

Berdasarkan data Wahid Institute, jumlah pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan pada 2013 sebanyak 245 peristiwa. Peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan sepanjang 2014 berjumlah 158 peristiwa dengan 187 tindakan.

Dari jumlah tahun 2014, 80 peristiwa melibatkan 98 aktor negara, sementara 78 peristiwa melibatkan 89 aktor nonnegara. Walaupun secara kuantitas berkurang, bayang-bayang kekerasan yang mengatasnamkaan agama masih menjadi momok yang mengerikan di Indonesia.

Sikap Warga Kampus

Lingkungan mahasiwa—kampus—selalu mengalami perubahan yang dinamis. Pergesekan ideologi, doktrin-doktrin agama, dan pemahaman baru mudah sekali akrab dengan mahasiswa. Ditambah dengan pendekatan persuasif, sikap santun pembawa misi akan menarik mahasiswa bergabung dengan kelompok tertentu.

Ketika mahasiswa sudah menjadi bagian kelompok tertentu kemudian naik status menjadi militan, akan bertransformasi menjadi pembela terdepan, prajurit andal yang siap berperang demi membeli kelompok yang menangungi mereka. Yang repot kemudian adalah ketika mahasiwa menjadi militian kelompok terorisme yang menghilangkan sisi kemanusiaan dan menegasikan manusia lain.

Warga kampus dalam merespons berbagai aksi terorisme sebaiknya menjadi garda terdepan yang membantu pemerintah untuk menyebarkan kabar positif. Bukan menebar ketakutan menyebar berita-berita hoax yang tidak diverifikasi kebenarannya. Seperti yang terjadi ada beberapa media yang menyebar berita hoax yang akhirnya mendapatkan teguran dari Komisi Penyiaran Indonsia (KPI).

Dengan status sosial setingkat lebih tinggi di masyarakat, seharusnya kampus menjadi tempat untuk menemukan jalan keluar dari berbagai kejahatan yang meniadakan kemanusiaan. Tidak hanya masalah terorisme, tapi juga kejahatan sistemik lain, seperti masyarakat Kendeng yang menolak semen, kasus Salim Kancil yang harus meregang nyawa demi menolak tambang pasir, atau aksi Kamisan demi pencarian kerabat yang hilang dan belum ada keterangan yang jelas selama bertahun-tahun.

Jangan sampai ada Salim Kancil baru di tengah hiruk pikuk terorisme yang melanda negeri ini. Kampus harus menolak lupa atas berbagai kasus kemanusiaan yang belum selesai sampai saat ini. Warga kampus harus menjadi agen perdamaian yang menyuarakan nilai kebhinnekaan sebagai khazanah yang dimiliki bangsa Indonesia.

Sebagai penutup, penulis ingin mengutip perkataan Gus Dur, “Tidak penting agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Tabik!
Terbit di Koran harian Lampung post; Rabu, 20 Januari 2016
http://lampost.co/berita/kampus-menyikapi-terorisme
Baca selengkapnya