Thursday, April 20, 2017

Pendidikan Mahal(r)

Dunia pendidikan tidak luput dari terpaan gelombang kapitalisme yang membuat bergesernya tujuan pendidikan untuk mencerdaskan dan memperbaiki generasi bangsa. Pendidikan telah menjadi lahan bisnis baru untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Anggapan ini merupakan bentuk frustasi penulis ketika melihat lembaga pendidikan yang masih menyuburkan praktik pungutan kepada peserta didik. Pendapat subjektif penulis memang tidak bisa digeneralisir untuk semua lembaga pendidikan, tetapi praktik demikian tidak sulit ditemukan di level sekolah dasar sampai pendidikan tinggi di Indonesia. Lalu, bagaimana dengan program wajib belajar sembilan tahun yang katanya gratis?
Program wajib bejalar sembilan tahun yang dicanangkan oleh pemerintah belum bisa dinikmati secara merata oleh anak-anak Indonesia. Program wajib belajar sembilan tahun seharusnya mempermudah peserta didik untuk mengakses pendidikan  tanpa mengeluarkan uang sepeser pun untuk biaya pendidikan. Tapi masih ditemukan pungutan di sana-sini yang dilakukan oleh pihak sekolah.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
Peraturan Pemerintah No 47 tahun 2008 menegaskan tentang pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun. Dalam Ketentuan Umum di sebutkan bahwa program wajib belajar dilaksanakan untuk memberikan pelayanan pendidikan dasar seluas-luasnya kepada warga negara Indonesia tanpa membedakan latar belakang agama, suku, sosial, budaya, dan ekonomi. Setiap warga negara Indonesia usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu dan orang tua/walinya berkewajiban memberi kesempatan kepada anaknya untuk mendapatkan pendidikan dasar.
Dari kedua peraturan ini sudah jelas bahwa semua warga Indonesia memilki hak yang sama memperoleh pendidikan layak tanpa ada diskriminasi dari pihak mana pun. Lembaga pendidikan dilarang menarik biaya/pungutan kepada peserta didik dalam bentuk apapun. Tapi pada kenyataannya masih ada sekolah yang melakukan pungutan-pungutan dengan berbagai macam bentuk.
Praktik pungutan di lembaga pendidikan ini bisa kita lihat di tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas (SMA) misalnya, kita dapat menemukan salah satu contoh pungutan dengan adanya saran membeli buku lembar  kerja siswa (LKS). Memang siswa tidak diwajibkan untuk membeli buku, tapi jika perpustakaan sekolah tidak menyediakan buku ajar maka mau tidak mau akhirnya siswa harus membeli buku.
Contoh pungutan lainnya di tingkat sekolah atas dan perguruan tinggi yaitu dengan dilaksankan kunjungan industri, field trip, study tour, atau kegiatan serupa dengan berkunjung ke luar kota/provinsi, bahkan ke luar negeri. Tidak jarang orang tua peserta didik merasa keberatan dengan adanya kegiatan ini. Tapi karena sudah kebijakan lembaga pendidikan menyelenggarakan study tour, kemudian kebijakan tersebut diamini oleh semua peserta didik, maka kegiatan semacam ini seperti tidak dilawan bahkan terkesan dinikmati.
Jika dilihat dari segi manfaat, kegiatan seperti field trip, study tour, dan kunjungan industri tidak memiliki kadar manfaat yang banyak.  Kegiatan tersebut terkesan hanya jalan-jalan dan menghambur-hamburkan uang. Sebenarnya lembaga pendidikan bisa mengalihkan untuk kegiatan lain yang lebih produktif, jikapun terpaksa harus dilaksanakan kegiatan study tour maka dipilih tempat yang paling dekat untuk efisiensi biaya.
Setelah lulus sekolah menengah atas (SMA), biasanya menjadi dilema bagi seorang siswa apakah memilih untuk melanjutkan sekolah ata bekerja. Mereka akan mempertimbangkan kemampuan ekonomi keluarga untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, terlebih untuk perguruan tinggi swasta.
Dengan berlakunya sistem uang kuliah tunggal (UKT)  sejak 2014, kebijakan ini dirasakan sangat memberatkan mahasiswa yang berada di perguruan-perguruan tinggi negeri. Untuk perguruan tinggi swasta, biaya pendidikan bisa lebih membengkak karena pengelolaannya langsung dari yayasan. Hanya orang-orang yang memilki banyak dana−orang kaya−yang dapat mengakses pendidikan di perguruan tinggi swasta. Jikapun ada ‘orang miskin’ yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi swasta maka mereka adalah orang-orang nekat yang siap hidup sederhana bekerja keras.
Mengeluarkan biaya pendidikan merupakan hal wajar bagi peserta didik, tapi mengeluarkan biaya yang kurang wajar merupakan hal yang perlu dipertanyakan. Mengeluarkan biaya sebagimana yang dijelaskan dalam kitab taklim mutaalim merupakan salah satu syarat menuntut ilmu. Syarat lain yaitu Dzaka’ (Kecerdasan), Hirsh (semangat), Irsyadu ustadz (petunjuk dan bimbingan guru), dan Thulu Zaman (dalam jangka waktu yang panjang).
Seharusnya tidak ada lagi pendidikan mahal yang tidak bisa terjangkau oleh peserta didik. Kesadaran bahwa pendidikan merupakan mahar untuk memperoleh sumber daya manusia bermoral, handal dan berkemanusiaan sebagai penerus tonggak pemimpin bangsa yang membanggakan. Semua  pihak harus saling menguatkan, mengawasi dan tidak mengabaikan kuota 20% untuk siswa tidak mampu, 20% dana APBN untuk biaya pendidikan.

Metro, 20 April 2017


Bergiat di Waroeng Batja
Baca selengkapnya