Saya yang sedari lahir, menghabiskan masa kecil bahagia, sampai sekarang menjelma menjadi pemuda unyu-unyu, tumbuh dan perkembang di Kabupaten Lampung Tengah yang konon ceritanya menjadi kabupaten penghasil dan pemilik lahan singkong terbesar di Provinsi Lampung, bahkan di Indonesia.
Biar sedikit ilmiah, saya akan mengutip data
persingkongan di Lampung yang saya kutip dari laman data.go.id. Konon pada
tahun 2013 luas lahan singkong di Lampung 318.107 hektar, pada tahun 2014 seluas 304.468
hektar, sedangkan pada tahun 2015 lahan singkong seluas 279.226 hektar.
Sedangkan jika dihitung berdasarkan tonase, Provinsi Lampung juga unggul yaitu
pada tahun 2013 menghasilkan 8.329.201 ton, tahun 2014 sebanyak 8.034.016 ton, dan
ditahun pada 2015 sebanyak 7.384.099. Walaupun terjadi naik-turun cantik luas
lahan dan tonase singkong antara tahun 2013 sampai 2015, Provinsi Lampung masih
menempati urutan teratas penghasil singkong terbesar di Indonesia. Bangga nggak,
sampean?
Saya
akan mengenang masa indah (bukan masa-masa di sekolah) sewaktu saya dulu pernah
menikmati singkong sebagai makanan alternatif yang membahagiakan bagi penduduk
di kampung. Dulu, saya masih ingat betul bagaimana singkong itu bisa disulap
menjadi bermacam varian makanan yang enak-enak.
Sebut
saja getuk, singkong rebus, lemet,
singkong goreng, dan kolak. Ini adalah oalahan makanan yang berbahan dasar
singkong makan (baca: bukan singkong racun) yang bisa mengenyangkan perut dan
menyenangkan hati. Singkong racun pun tak menakutkan seperti namanya—racun, ketika sudah diolah menjadi aci maka singkong
ini bisa diolah menjadi makanan yang rasanya tak kalah enak dengan singkong
makan. Jenang, kerupuk singkong, bahkan bisa dibuat lem saat kepepet butuh
perekat. Yang jelas aci ini tidak bisa digunakan untuk merekatkan hati-hati
yang patah karena menikahnya Riasa atau ijab-kabulnya duo Song; Song Jong Ki
dan Song Hye Kyo—artis korea jaman now.
Tidak
cuma itu, sampean semua pasti tahu tiwul, ada yang menyebutnya nasi tiwul. Sayang
di sayang, makanan yang melegenda ini sekarang sangat sulit ditemukan
keberadaannya, bahkan di desa sekalipun. Emak-emak jaman now mungkin sudah
enggan untuk memproduksinya. Atau bisa jadi karena orang Indonesia
menganggap bahwa makan selain nasi itu tidak keren, nggak warek. Tiwul dianggap makanan orang kampung, makan jagung merasa tidak
kenyang, atau bisa jadi seperti saudara kita di Papua yang makanan pokoknya
sagu tapi dipaksa menanam padi, menebang hutan berhektar-hektar untuk menanam
padi. Weladalah, padahal kentang, jagung, singkong, sagu, dan sumber
karbohidrat lain itu banyak di Indonesia.
Seperti
halnya pramuka Indonesia yang memilki logo tunas kelapa yang secara filosofis
memiliki arti bahwa semua bagian pohon kelapa bisa dimanfaatkan. Mungkin kita
juga bisa membuat gerakan kepanduan tandingan yang menggunakan logo pohon
singkong. Loh, bukankah semua bagian pohon singkong juga bermanfaat?
Daun
singkong bisa diolah menjadi sayur santan yang mantab-surantab, bisa juga
dimanfaatkan sebagai kulupan pecel, kulupan saat makan sayur ikan lele, ikan
gabus atau ikan asin yang sangat pedas. Tentu dengan suguhan nasi tiwul yang
masih anget-anget akan terasa lebih sedap. Daun singkong bisa juga dimanfaatkan
sebagai pakan ternak, kalau ini masih banyak dipraktikkan di desa saya. Daun
singkong adalah makanan favorit sapi dan kambing. Petani pun gampang untuk
mendapatkannya pada saat ladang-ladang sedang panen singkong.
Ketika
daun singkong sudah dimakan ternak, diproses dipencernaan sapi atau kambing, daun
singkong ini akan keluar menjadi kotoran yang bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik
yang menyehatkan untuk tanaman, juga untuk tanaman singkong tentunya.
Belum
lagi bonggol (baca: batang) singkong
yang bisa dimanfaatkan sebagai tambahan pakan ternak atau kayu bakar untuk
memasak. Sebagai kayu bakar caranya sangat mudah, cukup dibersihkan kulitnya
hingga terlihat kayu singkong yang putih kekuningan. lalu sesudah kering, kayu
bakar batang singkong sudah bisa dimanfatkan. Tapi seiring banyaknya kompor
gas, budaya memasak menggunakan tungku sudah banyak ditinggalkan oleh
masyarakat desa (Apalagi di kota ya?). Kalau pun ada, mereka tidak memanfaatkan
batang singkong sebagai kayu bakar, warga desa biasanya mengambil batang kayu kering
yang jatuh dari pohon-pohon. Dan nasib batang singkong kini hanya berakhir di
bakar oleh petani tanpa mengolahnya.
Soal
ubi kayu ini, bukankah tujuan utama petani menanam singkong adalah mengambil ubinya.
Setahun lalu, petani di Lampung sempat menjerit (bukan seperti menjeritnya anak
alay saat nonton konser band) karena anjloknya harga singkong. Bayangkan saja
harga singkong saat itu di angka 500 perak. Lah petani mau dapat apa? bukannya
untung malah buntung.
Oleh
karena itu, saya berharap para petani di kampung kembali ke khittahnya. Saya
tidak berbicara muluk-muluk soal pengelolaan singkong menjadi bioetanol,
menjadi beras siger (yang harganya lebih mahal dari beras padi), atau menjadi
olahan modern dengan peralatan mahal yang tak terjangkau petani. Saya berbicara
pengolahan singkong dalam praktik sederhana yang dilakukan petani singkong pada
saat masa kecil saya dulu. Tapi hari ini
pengolahan sederhana seperti itu malah banyak ditinggalkan. Padahal petani
singkong lebih bisa berdaya dengan pengolahan sederhana tersebut.
Bukankah
konsep ekonomi biru demikian, memanfaatkan alam dengan bijak. Dari proses
produksi sampai konsumsi tidak ada yang merusak alam. Intinya ramah lingkungan.
Dipengujung
tulisan ini saya ingin mengajak sederek handai taulan, “ayo makan singkong”
atau “ayo makan gaplek”. Jangan sampai kalah dengan kementerian yang
dipimpin oleh Bu Susi Pudjiastuti yang punya semboyan “ayo makan ikan”. Hehe
Lukman
Hakim
Pecinta
Tiwul
Bagikan
Makan Gaplek, Keren?
4/
5
Oleh
Lukman Hakim