Thursday, November 9, 2017

Makan Gaplek, Keren?


Saya yang sedari lahir, menghabiskan masa kecil bahagia, sampai sekarang menjelma menjadi pemuda unyu-unyu, tumbuh dan perkembang di Kabupaten Lampung Tengah yang konon ceritanya menjadi kabupaten penghasil dan pemilik lahan singkong terbesar di Provinsi Lampung, bahkan di Indonesia.
Biar sedikit ilmiah, saya akan mengutip data persingkongan di Lampung yang saya kutip dari laman data.go.id. Konon pada tahun 2013 luas lahan singkong di Lampung 318.107 hektar, pada tahun 2014 seluas 304.468 hektar, sedangkan pada tahun 2015 lahan singkong seluas 279.226 hektar. Sedangkan jika dihitung berdasarkan tonase, Provinsi Lampung juga unggul yaitu pada tahun 2013 menghasilkan 8.329.201 ton, tahun 2014 sebanyak 8.034.016 ton, dan ditahun pada 2015 sebanyak 7.384.099. Walaupun terjadi naik-turun cantik luas lahan dan tonase singkong antara tahun 2013 sampai 2015, Provinsi Lampung masih menempati urutan teratas penghasil singkong terbesar di Indonesia. Bangga nggak, sampean?
Saya akan mengenang masa indah (bukan masa-masa di sekolah) sewaktu saya dulu pernah menikmati singkong sebagai makanan alternatif yang membahagiakan bagi penduduk di kampung. Dulu, saya masih ingat betul bagaimana singkong itu bisa disulap menjadi bermacam varian makanan yang enak-enak.
Sebut saja getuk, singkong rebus, lemet, singkong goreng, dan kolak. Ini adalah oalahan makanan yang berbahan dasar singkong makan (baca: bukan singkong racun) yang bisa mengenyangkan perut dan menyenangkan hati. Singkong racun pun tak menakutkan seperti namanyaracun, ketika sudah diolah menjadi aci maka singkong ini bisa diolah menjadi makanan yang rasanya tak kalah enak dengan singkong makan. Jenang, kerupuk singkong, bahkan bisa dibuat lem saat kepepet butuh perekat. Yang jelas aci ini tidak bisa digunakan untuk merekatkan hati-hati yang patah karena menikahnya Riasa atau ijab-kabulnya duo Song; Song Jong Ki dan Song Hye Kyoartis korea jaman now.
Tidak cuma itu, sampean semua pasti tahu tiwul, ada yang menyebutnya nasi tiwul. Sayang di sayang, makanan yang melegenda ini sekarang sangat sulit ditemukan keberadaannya, bahkan di desa sekalipun. Emak-emak jaman now mungkin sudah enggan untuk memproduksinya.  Atau bisa jadi karena orang Indonesia menganggap bahwa makan selain nasi itu tidak keren, nggak warek. Tiwul dianggap makanan orang kampung, makan jagung merasa tidak kenyang, atau bisa jadi seperti saudara kita di Papua yang makanan pokoknya sagu tapi dipaksa menanam padi, menebang hutan berhektar-hektar untuk menanam padi. Weladalah, padahal kentang, jagung, singkong, sagu, dan sumber karbohidrat lain itu banyak di Indonesia.

Seperti halnya pramuka Indonesia yang memilki logo tunas kelapa yang secara filosofis memiliki arti bahwa semua bagian pohon kelapa bisa dimanfaatkan. Mungkin kita juga bisa membuat gerakan kepanduan tandingan yang menggunakan logo pohon singkong.  Loh, bukankah semua bagian pohon singkong juga bermanfaat?
Daun singkong bisa diolah menjadi sayur santan yang mantab-surantab, bisa juga dimanfaatkan sebagai kulupan pecel, kulupan saat makan sayur ikan lele, ikan gabus atau ikan asin yang sangat pedas. Tentu dengan suguhan nasi tiwul yang masih anget-anget akan terasa lebih sedap. Daun singkong bisa juga dimanfaatkan sebagai pakan ternak, kalau ini masih banyak dipraktikkan di desa saya. Daun singkong adalah makanan favorit sapi dan kambing. Petani pun gampang untuk mendapatkannya pada saat ladang-ladang sedang panen singkong.
Ketika daun singkong sudah dimakan ternak, diproses dipencernaan sapi atau kambing, daun singkong ini akan keluar menjadi kotoran yang bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang menyehatkan untuk tanaman, juga untuk tanaman singkong tentunya.  
Belum lagi  bonggol (baca: batang) singkong yang bisa dimanfaatkan sebagai tambahan pakan ternak atau kayu bakar untuk memasak. Sebagai kayu bakar caranya sangat mudah, cukup dibersihkan kulitnya hingga terlihat kayu singkong yang putih kekuningan. lalu sesudah kering, kayu bakar batang singkong sudah bisa dimanfatkan. Tapi seiring banyaknya kompor gas, budaya memasak menggunakan tungku sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat desa (Apalagi di kota ya?). Kalau pun ada, mereka tidak memanfaatkan batang singkong sebagai kayu bakar, warga desa biasanya mengambil batang kayu kering yang jatuh dari pohon-pohon. Dan nasib batang singkong kini hanya berakhir di bakar oleh petani tanpa mengolahnya.
Soal ubi kayu ini, bukankah tujuan utama petani menanam singkong adalah mengambil ubinya. Setahun lalu, petani di Lampung sempat menjerit (bukan seperti menjeritnya anak alay saat nonton konser band) karena anjloknya harga singkong. Bayangkan saja harga singkong saat itu di angka 500 perak. Lah petani mau dapat apa? bukannya untung malah buntung.
Oleh karena itu, saya berharap para petani di kampung kembali ke khittahnya. Saya tidak berbicara muluk-muluk soal pengelolaan singkong menjadi bioetanol, menjadi beras siger (yang harganya lebih mahal dari beras padi), atau menjadi olahan modern dengan peralatan mahal yang tak terjangkau petani. Saya berbicara pengolahan singkong dalam praktik sederhana yang dilakukan petani singkong pada saat masa kecil saya dulu.  Tapi hari ini pengolahan sederhana seperti itu malah banyak ditinggalkan. Padahal petani singkong lebih bisa berdaya dengan pengolahan sederhana tersebut.
Bukankah konsep ekonomi biru demikian, memanfaatkan alam dengan bijak. Dari proses produksi sampai konsumsi tidak ada yang merusak alam. Intinya ramah lingkungan.
Dipengujung tulisan ini saya ingin mengajak sederek handai taulan, “ayo makan singkong” atau “ayo makan gaplek”.  Jangan sampai kalah dengan kementerian yang dipimpin oleh Bu Susi Pudjiastuti yang punya semboyan “ayo makan ikan”. Hehe
Lukman Hakim
Pecinta Tiwul

Bagikan

Jangan lewatkan

Makan Gaplek, Keren?
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.