Saturday, September 2, 2017

Bolidi, Lebaran dan Mati



Dentuman beduk terdengar bersahutan dari satu masjid ke musala yang lain, pertanda waktu magrib telah tiba. Azan pun dikumandangkan, Desa Binakarya Utama tak putus dengan suara susul-menyusul azan yang lebih 10 menit itu.
Usai azan, masjid dan musala tak seperti biasanya. Biasanya terdengar anak-anak bersalawat, puji-pujian. Malam itu masjid dan musala mengumandangkan takbiran pertanda  datangnya  hari besar Islam-Idhul Adha. Magrib itu, Kecamatan Putra Rumbia di kagetkan dengan meninggalnya tokoh agama yang biasa mengimami istighosah kubro. Kyai Suyuti Namanya.
"Kang Mandeng, itu bener nggak Kyai Suyuti meninggal?".
"Sepertinya sih begitu kang Bol. Aku tadi lewat depan rumahnya lagi ramai
orang. Ada suara tangisan ibu-ibu gitu Kang Bolidi".
"Ya Allah, memang mati itu nggak pandang bulu ya kang. Buktinya, sekelas tokoh agama saja bisa meninggal kapan saja".
"Jadi Kang Bolidi baru percaya to  kalo mati itu bisa datang kapan saja?".
"Bukan begitu Kang Mandeng, Mbah Kyai Suyuti itu kan kyai, tokoh agama, terus hari ini beliau itu puasa arafah. Dan besok kang, besok beliau mau kurban kang. Masak Tuhan nggak nunda barang sehari matinya kang? Biar beliau bisa menikmati lebaran kurban bareng keluarga", kesah Bolidi.
"Umur, jodoh dan rejeki bukankah udah ditentukan Allah to kang?.
"Iya aku tau itu Kang Mandeng, tapi aku belum percaya kalau Mbah Kyai Suyuti sudah nggak ada".
Allahuakbar... Allahuakbar... Allahuakbar... La ilahailallah huwallahu akbar... Allahuakbar walilllahilham.
Suara takbiran bocah-bocah kampung di Masjid Nurul Hidayah dusun setempat seolah menjadi suara latar dari perbincangan Bolidi dan Mandeng.
"Mungkin ini bisa jadi pelajaran buat kita yang masih hidup kang Bolidi".
"Bener Kang Mandeng", sahut Bolidi sembari menyangga rahang kanannya dalam posisi bersila.
"Apalagi kita ini bukan tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat atau tokoh lain kang Bol".
Sambil mengubah tubuh dalam posisi tegak Bolidi berujar, "Kita juga nggak termasuk tokoh bangunan atau tokoh beras Kang Mandeng".
"Ha-ha-ha", sontak tawa Bolidi dan Mandeng pecah ditengah obrolan mereka soal mati.
"Ini obrolan kita soal mati Kang Bol, jangan guyon. Saru!!!".
"Amit Kang Mandeng. Aku coba menghibur diri biar suasana juga nggak serem kang".
"Intinya mati itu nggak melihat siapa kita, apa jabatan kita, atau sepinter apapun kita".
"Wah, Kang Mandeng ini bener lagi".
"Aku makanya ngeri campur prihatin Kang Bol".
"Ngeri kenapa kang? Kalau mau campur yang enak ya campur es, campur roti, campur susu atau campur ayam goreng kang. Whehehe", timpal Bolidi cengengesan.
"Ah, guyon terus sampean ini kang Bol".
"Amit Kang Mandeng. Lah ngeri campur prihatin gimana yang Kang Mandeng maksud?"
"Apakah aku ini masih bangga dan sombong diri, sombong dengan jabatan, sombong dengan ilmu sehingga merendahkan orang lain. Wong mati itu selalu mengintai kita".
"Kalau aku gimana Kang Mandeng masih sombong nggak?", tanya Bolidi serius.
"Sampean jawab sendiri kang. Kang Bolidi pasti lebih tau kondisi awak.e dewe to?".
"Aku bingung jawabnya kang. Yang penting aku berusaha jadi orang baik".
"Semoga kita mati dalam keadaan khusnul khotimah ya Kang Bol".
"Kalau aku pengen mati khusnul siapa ya? Emmmmm...
Yang penting nggak merepotkan orang ajalah Kang Mandeng. Tapi orang mengenang kebaikan ku".

Bagikan

Jangan lewatkan

Bolidi, Lebaran dan Mati
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.