Dentuman
beduk terdengar bersahutan dari satu masjid ke musala yang lain, pertanda waktu
magrib telah tiba. Azan pun dikumandangkan, Desa Binakarya Utama tak putus
dengan suara susul-menyusul azan yang lebih 10 menit itu.
Usai
azan, masjid dan musala tak seperti biasanya. Biasanya terdengar anak-anak
bersalawat, puji-pujian. Malam itu masjid dan musala mengumandangkan takbiran
pertanda datangnya hari besar Islam-Idhul Adha. Magrib itu,
Kecamatan Putra Rumbia di kagetkan dengan meninggalnya tokoh agama yang biasa
mengimami istighosah kubro. Kyai Suyuti Namanya.
"Kang
Mandeng, itu bener nggak Kyai Suyuti meninggal?".
"Sepertinya
sih begitu kang Bol. Aku tadi lewat depan rumahnya lagi ramai
orang.
Ada suara tangisan ibu-ibu gitu Kang Bolidi".
"Ya
Allah, memang mati itu nggak pandang bulu ya kang. Buktinya, sekelas tokoh
agama saja bisa meninggal kapan saja".
"Jadi
Kang Bolidi baru percaya to kalo mati
itu bisa datang kapan saja?".
"Bukan
begitu Kang Mandeng, Mbah Kyai Suyuti itu kan kyai, tokoh agama, terus hari ini
beliau itu puasa arafah. Dan besok kang, besok beliau mau kurban kang. Masak
Tuhan nggak nunda barang sehari matinya kang? Biar beliau bisa menikmati
lebaran kurban bareng keluarga", kesah Bolidi.
"Umur,
jodoh dan rejeki bukankah udah ditentukan Allah to kang?.
"Iya
aku tau itu Kang Mandeng, tapi aku belum percaya kalau Mbah Kyai Suyuti sudah
nggak ada".
Allahuakbar...
Allahuakbar... Allahuakbar... La ilahailallah huwallahu akbar... Allahuakbar
walilllahilham.
Suara
takbiran bocah-bocah kampung di Masjid Nurul Hidayah dusun setempat seolah
menjadi suara latar dari perbincangan Bolidi dan Mandeng.
"Mungkin
ini bisa jadi pelajaran buat kita yang masih hidup kang Bolidi".
"Bener
Kang Mandeng", sahut Bolidi sembari menyangga rahang kanannya dalam posisi
bersila.
"Apalagi
kita ini bukan tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat atau tokoh lain kang
Bol".
Sambil
mengubah tubuh dalam posisi tegak Bolidi berujar, "Kita juga nggak
termasuk tokoh bangunan atau tokoh beras Kang Mandeng".
"Ha-ha-ha",
sontak tawa Bolidi dan Mandeng pecah ditengah obrolan mereka soal mati.
"Ini
obrolan kita soal mati Kang Bol, jangan guyon. Saru!!!".
"Amit
Kang Mandeng. Aku coba menghibur diri biar suasana juga nggak serem kang".
"Intinya
mati itu nggak melihat siapa kita, apa jabatan kita, atau sepinter apapun
kita".
"Wah,
Kang Mandeng ini bener lagi".
"Aku
makanya ngeri campur prihatin Kang Bol".
"Ngeri
kenapa kang? Kalau mau campur yang enak ya campur es, campur roti, campur susu
atau campur ayam goreng kang. Whehehe", timpal Bolidi cengengesan.
"Ah,
guyon terus sampean ini kang Bol".
"Amit
Kang Mandeng. Lah ngeri campur prihatin gimana yang Kang Mandeng maksud?"
"Apakah
aku ini masih bangga dan sombong diri, sombong dengan jabatan, sombong dengan
ilmu sehingga merendahkan orang lain. Wong mati itu selalu mengintai
kita".
"Kalau
aku gimana Kang Mandeng masih sombong nggak?", tanya Bolidi serius.
"Sampean
jawab sendiri kang. Kang Bolidi pasti lebih tau kondisi awak.e dewe to?".
"Aku
bingung jawabnya kang. Yang penting aku berusaha jadi orang baik".
"Semoga
kita mati dalam keadaan khusnul khotimah ya Kang Bol".
"Kalau
aku pengen mati khusnul siapa ya? Emmmmm...
Yang
penting nggak merepotkan orang ajalah Kang Mandeng. Tapi orang mengenang
kebaikan ku".
Bagikan
Bolidi, Lebaran dan Mati
4/
5
Oleh
Lukman Hakim