Maukah Anda Mengutil?
Mengutil atau biasa disebut ngutil, dalam bahasa keseharian masyarakat Jawa
adalah sebuah tindakan mengambil barang orang lain tanpa
permisi. Ngutil dapat pula dikatakan sebagai mencuri, atau nyolong. Saya belum
bisa membedakan secara pasti berbedaan dari ketiganya, yang pasti ketiga
perbuatan tersebut bertentangan dengan norma dan dilarang oleh masyarakat. Atau
bisa jadi mereka bertiga adalah saudara akibat ikatan persaudaraan mereka−sinonim.
Jika ditarik dari segi bahasa, mengutil seharusnya memilki
kata dasar kutil. Tapi pada kenyataanya kutil bukanlah kata dasar dari
mengutil. Kutil sendiri adalah penyakit kulit atau parasit di kulit yang
menyebabkan kulit membentuk sebuah benjolan keras. Sedangkan mengutil atau
ngutil adalah kata kerja yang dilakukan oleh pengutil. Jadi kutil bukan kata
kerja dari mengutil, atau mungkin si pengutil memilki kutil, sehingga pengambil
barang tanpa izin kemudian disebut
pengutil. Ini adalah kemungkinan yang paling masuk akal dari hubungan kutil dan
mengutil.
Aksi ngutil-mengutil (atau kutil-mengutil, belum saya
cek kata mana yang merupakan kata baku) biasanya dilakukan di pasar,
di warung, di super market atau tempat lain yang memungkinkan untuk melancarkan
aksi menguntil. Si pengutil biasanya menggunakan kesempatan dalam kesempitan.
Artinya pengutil akan beraksi jika pemilik toko di pasar atau pemilik warung
sedang lengah. Kemudian dengan kecepatan tangan ala pesulap, barang-barang akan
berpindah tangan dari rak ke tangan pengutil.
Untuk para pegiat ngutil, sudah seharusnya sampean bersiap
diri dengan akibat yang akan diperoleh jika aksi sampean sampai ketangkap
basah. Bukan hanya baju dan celana yang bisa basah kuyup akibat keringat
dingin, bahkan sampean juga sudah disodori dengan sanki yang memalukan dari
masyarakat. Walaupun bukan masyarakat sendiri yang membuat malu, biasanya hati
nurani pengutillah yang merasakannya. Malu pun akan dirasakan oleh pengutil
jika memang hati mereka masih berfungsi secara baik tanpa di aling-aling dengan
perasaan tak tau malu.
Untuk sanki pengutil, saya pernah menjumpai pemberian
sanki yang saya fikir cukup sadis yang dilakukan oleh seorang pemilik warung
dibilangan 38 B Desa Batanghari Lampung Timur.
Bagaimanakah perlakuannya? Begini, ternyata ada foto seorang
ibu paruh baya yang ditempel di tembok sebuah warung dan memegang sebuah kertas
yang bertulis “Saya telah mencuri…. Bla bla bla”, yang intinya tulisan itu
memberikan pengakuan bahwa si ibu telah mencuri minyak goring di warung. Etdah,
alangkah malunya jika saya diperlakukan seperti itu. Mending saya akan pergi
dan tak akan pernah muncul-muncul lagi di daerah tersebut, apalagi di warung
itu.
Saya sebenarnya merasa perihatin dengan apa yang dialami
oleh si ibu pengutil. Perasaan malu jelas merambat ke sekujur tubuhnya, dan
jelas ibu itu dibuat sangat malu. Saya fikir pemilik warung keterlaluan dalam
memberikan hukuman untuk pelaku ngutil tersebut. Tapi berdasarkan analisis
ngawur yang saya lakukan, tujuan dari pemberian sanki tersebut agar si pengutil
jera dan tidak melakukan hal yang sama dikemudian hari. Juga memberikan proses
edukasi kepada masyarakat bahwa ‘jangan mengutil’ jika tidak ingin bernasib
demikian−di foto dan ditempel di tembok dengan pengakuan mengutilnya.
Belum lagi ketika saya menyempatkan diri pulang ke rumah,
di Dusun 3 Desa Binakarya Utama Kecamatan Putra Rumbia, ternyata ada juga
tetangga yang turut ngeksis dalam aksi ngutil-mengutil. Jelas, mengutil terjadi
dimana saja di belahan bumi ini, bukan hanya di kampung saya, dan tidak Cuma di
Indonesia.
Jika diamati secara seksama dan dalam tempo yang tidak sesingkat-singkatnya,
ada dua tipologi mengutil.
Pertama, mengutil
karena alasan kepepet disebabkan oleh keadaan yang tidak bersahabat/kekurangan.
Kedua, mengutil sudah dijadikan sebagai hobi atau profesi. Untuk kondisi yang
pertama, jelas
mengutil hanya sekali waktu dan tidak akan berulang. Tapi pada kondisi kedua,
mengutil dijadikan sebagai gaya hidup yang jika sekali saja tidak dilakukan
maka akan menyebabkan efek samping ketagihan, gata-gatal tangannya, sampai juga
muncul slogan ‘ora ngutil ora keren’, setara dengan slogan ‘ora ngapak ora
kepenak’. Jelas alasan kedua ini tidak bisa ditolerir. Sama sekali! Blas tanpa tolerir!
Lalu, maukah sampean-sampean ini saya rekomendasikan
mengutil yang tidak melanggar? Jelas mau. Yang pasti
anda tidak akan menolak. Mengutil yang satu ini sebenarnya sudah terbukti
manjur membawa perubahan di hidup seseorang. Iya, ‘mengutil ilmu’ dari banyak
orang, dimana
pun
tempatnya.
Mohon maaf jika secara bahasa terdengar tidak sopan
tentang istilah ‘mengutil ilmu’. Tapi yang sebenarnya saya maksud dengan
mengutil ilmu adalah sebagai seorang yang wajib menuntut ilmu sepanjang hayat
kita harus mengutil ilmu dimana pun tempatnya dan pada saat kita bergaul dengan
siapa saja.
Mengambil hikmah dari setiap perjumpaan dengan orang,
memetik pelajaran dari setiap masalah yang telah berhasil dilalui. Tentu hal
ini akan mendewasakan kita sebagai manusia dan mematangkan kondisi emosional
kita sebagai pribadi dewasa dalam berfikir dan
bertindak. Maka janganlah ragu untuk selalu
mengasak ilmu mengutil ilmu. Saya pun sedang mengembangkan ilmu ini.
Pesan terakhir dari saya, jangan lupa ngutil ilmu ya!