Pendidikan Mahal(r)
Dunia pendidikan tidak luput dari terpaan gelombang kapitalisme yang
membuat bergesernya tujuan pendidikan untuk mencerdaskan dan memperbaiki
generasi bangsa. Pendidikan telah menjadi lahan bisnis baru untuk memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya.
Anggapan ini merupakan bentuk frustasi penulis ketika melihat lembaga pendidikan
yang masih menyuburkan praktik pungutan kepada peserta didik. Pendapat subjektif
penulis memang tidak bisa digeneralisir untuk semua lembaga pendidikan, tetapi
praktik demikian tidak sulit ditemukan di level sekolah dasar sampai pendidikan
tinggi di Indonesia. Lalu, bagaimana dengan program wajib belajar sembilan
tahun yang katanya gratis?
Program wajib bejalar sembilan tahun yang dicanangkan oleh pemerintah belum
bisa dinikmati secara merata oleh anak-anak Indonesia. Program wajib belajar
sembilan tahun seharusnya mempermudah peserta didik untuk mengakses pendidikan tanpa mengeluarkan uang sepeser pun untuk
biaya pendidikan. Tapi masih ditemukan pungutan di sana-sini yang dilakukan
oleh pihak sekolah.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1)
menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3)
menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
Peraturan Pemerintah No 47 tahun 2008 menegaskan tentang pelaksanaan wajib
belajar sembilan tahun. Dalam Ketentuan Umum di sebutkan bahwa program wajib
belajar dilaksanakan untuk memberikan pelayanan pendidikan dasar seluas-luasnya
kepada warga negara Indonesia tanpa membedakan latar belakang agama, suku,
sosial, budaya, dan ekonomi. Setiap warga negara Indonesia usia wajib belajar
berhak mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu dan orang tua/walinya
berkewajiban memberi kesempatan kepada anaknya untuk mendapatkan pendidikan
dasar.
Dari kedua peraturan ini sudah jelas bahwa semua warga Indonesia memilki
hak yang sama memperoleh pendidikan layak tanpa ada diskriminasi dari pihak
mana pun. Lembaga pendidikan dilarang menarik biaya/pungutan kepada peserta
didik dalam bentuk apapun. Tapi pada kenyataannya masih ada sekolah yang
melakukan pungutan-pungutan dengan berbagai macam bentuk.
Praktik pungutan di lembaga pendidikan ini bisa kita lihat di tingkat
sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas (SMA) misalnya, kita dapat
menemukan salah satu contoh pungutan dengan adanya saran membeli buku
lembar kerja siswa (LKS). Memang siswa
tidak diwajibkan untuk membeli buku, tapi jika perpustakaan sekolah tidak
menyediakan buku ajar maka mau tidak mau akhirnya siswa harus membeli buku.
Contoh pungutan lainnya di tingkat sekolah atas dan perguruan tinggi yaitu
dengan dilaksankan kunjungan industri, field
trip, study tour, atau kegiatan
serupa dengan berkunjung ke luar kota/provinsi, bahkan ke luar negeri. Tidak
jarang orang tua peserta didik merasa keberatan dengan adanya kegiatan ini.
Tapi karena sudah kebijakan lembaga pendidikan menyelenggarakan study tour, kemudian kebijakan tersebut diamini
oleh semua peserta didik, maka kegiatan semacam ini seperti tidak dilawan bahkan
terkesan dinikmati.
Jika dilihat dari segi manfaat, kegiatan seperti field trip, study tour, dan kunjungan industri tidak memiliki kadar
manfaat yang banyak. Kegiatan tersebut
terkesan hanya jalan-jalan dan menghambur-hamburkan uang. Sebenarnya lembaga pendidikan
bisa mengalihkan untuk kegiatan lain yang lebih produktif, jikapun terpaksa
harus dilaksanakan kegiatan study tour maka
dipilih tempat yang paling dekat untuk efisiensi biaya.
Setelah lulus sekolah menengah atas (SMA), biasanya menjadi dilema bagi
seorang siswa apakah memilih untuk melanjutkan sekolah ata bekerja. Mereka akan
mempertimbangkan kemampuan ekonomi keluarga untuk melanjutkan ke perguruan
tinggi, terlebih untuk perguruan tinggi swasta.
Dengan berlakunya sistem uang kuliah tunggal (UKT) sejak 2014, kebijakan ini dirasakan sangat
memberatkan mahasiswa yang berada di perguruan-perguruan tinggi negeri. Untuk
perguruan tinggi swasta, biaya pendidikan bisa lebih membengkak karena
pengelolaannya langsung dari yayasan. Hanya orang-orang yang memilki banyak
dana−orang kaya−yang dapat mengakses pendidikan di perguruan tinggi swasta. Jikapun
ada ‘orang miskin’ yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi swasta maka mereka
adalah orang-orang nekat yang siap hidup sederhana bekerja keras.
Mengeluarkan biaya pendidikan merupakan hal wajar bagi peserta didik, tapi
mengeluarkan biaya yang kurang wajar merupakan hal yang perlu dipertanyakan. Mengeluarkan
biaya sebagimana yang dijelaskan dalam kitab taklim mutaalim merupakan salah satu syarat menuntut ilmu. Syarat lain
yaitu Dzaka’ (Kecerdasan), Hirsh (semangat), Irsyadu ustadz (petunjuk dan bimbingan guru), dan Thulu Zaman (dalam jangka waktu yang
panjang).
Seharusnya tidak ada lagi pendidikan
mahal yang tidak bisa
terjangkau oleh peserta didik. Kesadaran bahwa pendidikan
merupakan mahar untuk memperoleh sumber daya manusia bermoral, handal dan berkemanusiaan sebagai penerus
tonggak pemimpin
bangsa yang membanggakan. Semua pihak
harus saling menguatkan, mengawasi dan tidak mengabaikan kuota 20%
untuk siswa
tidak mampu, 20% dana APBN untuk biaya
pendidikan.
Metro, 20 April 2017
Bergiat di Waroeng Batja