Lukman Hakim
Pegiat
Jurai Siwo Corner STAIN Jurai Siwo Metro
Membaca artikel saudari Esty Dyah Imaniar yang katanya aku apa mah atuh itu, tentang Menjadi Penulis Kata Pengantar Buku
Yasin, saya jadi teringat bapak di rumah. Setiap malam jum’at tiba, sudah bisa
dipastikan bapak akan di dapuk menjadi Imam Yasinan di Desa Bina Karya Utama
yang jauuuh di Lampung itu. (plisss, jangan cari di peta, Google Map atau mesin
pencari lainnya, karena saya pastikan anda tidak dapat menemukan desa tersebut).
Hahaha!
Sebagai imam besar jamaah yasinan desa setempat, bapak selalu mengatakan
bahwa yasinan adalah salah satu jalan untuk mengingat kematian. Iya, mengingat
kematian. Karena dengan membaca surat yasin untuk mereka yang sudah tiada,
secara tidak langsung para jamaah diajak untuk merenungkan bahwa setiap yang
hidup akan menjumpai kematian. Kapan pun dan di mana pun, ketika usia belia
atau di usia senja. Kematian tidak pandang bulu, terlebih bulu ketek, maka
bersiap-siaplah untuk menyambut saudara yang bernama “kematian”.
Jadi serem gini ya ngomongin mati. Memang serem, lebih serem lagi karena
ngerasa was-was dan HHC (harap-harap cemas) tulisan ini bakal di muat oleh
mojok.co atau ndak. (ngarepnya sih di muat). Yang jelas, bapak bilang begini, “Le,
jikalau kamu nanti bersinggungan dengan ideologi apa pun, di kampus mu itu,
jangan sampai nanti kamu melarang bapak untuk yasinan ya, inget pesen bapak
le!”.
Saya selalu mengingat nasihat bapak yang selalu mengiang di telinga itu.
Bahwa orang yasinan itu tidak perlu dilarang-larang. Toh, apakah ada yang
dirugikan? Biarkan yang yasinan tetap yasinan, dan yang tidak yasinan ya
diharapkan jangan mengganggu. Untung semua kan.
Ketika saya pulang kampung pun, saya masih ikut yasinan, bahkan selama
seminggu ini, agenda saya full untuk yasinan karena ada tetangga kos yang
meninggal. Lumayan, uang jatah makan malam aman. Haha, dasar anak kos!
Dan benar, ternyata saya menjadi seorang aktipis (bukan aktivis, karena
saya ini serba tipis, dari badan tipis, muka juga tipis, sampai kantong pun ikutan tipis) dakwah kampus. Di kampus banyak ideologi masuk, wari-wiri,
ke sana ke mari dan bersinggungan dengan saya secara langsung. Dari macam-macam
jenis akhi-akhi sudah saya kenal, atau ngobrol dengan
pegiat organisasi keras macam preman, dan
lain-lain ideologi tidak membuat saya bergeming untuk mundur dari dunia
per-yasin-an.
Saya tetap merasa tangguh. Iman tipis yang saya miliki lantas tak membuat
saya menyalahkan yasinan yang telah dilakukan oleh bapak atau penggemar yasinan
lain selama bepuluh-puluh tahun. Bahkan saya baru sadar kalo saya ini pelaku
yasinan sedari kecil dulu.
Masih melanjutkan faidah-faidah dari yasinan, pesan bapak selanjutnya
adalah bahwa yasinan merupakan sarana untuk menyambung, lebih dari itu untuk
mempererat tali silaturahim setiap jamaah. Kesibukan sebagai petani, buruh,
atau pemilik petak kecil ladang garapan (tanah dan ladang yang luas pastinya sudah punya si pemilik modal), membuat masyarakat (baca: jamaah)
tidak sempat berkumpul dan bertukar fikiran setiap hari. Mereka selepas sholat
isya’ sudah masuk dipembaringan masing-masing, sebelumnya bercengkerama hangat
dengan anggota keluarga.
Ya, memang yasinan itulah, waktu yang tepat untuk membahas permasalahan-permasalahan
desa, mencari solusinya, membuat strategi agar masyarakat desa bisa lebih maju
dan sejahtera (eh, bukan bahas partai ya).
Selain itu, yasinan mengajarkan kepada kita agar selalu berbagi dengan
tetangga, kerabat dan sanak saudara. Menekan pertumbuhan rasa pelit bin medit
bin bakhil, eh hati-hati bintitan. Yang jelas kita diajarkan untuk berbagi
dengan sesama−bersedekah−agar ketika susah, orang lain tidak akan segan untuk
membantu.
Dan perlu di ingat bahwa membaca al-Qur’an itu anjuran untuk muslim.
Membaca satu huruf dalam al-Qur’an akan memeroleh satu kebaikan. Saya tegaskan
lagi, satu kebaikan dan bukan satu pahala. Kenapa kemudian kebaikan yang
dijanjikan bukan pahala, karena membaca al-Qur’an si pembaca akan merasa
tenang, bersikap baik dan selanjutnya melakukan kebaikan-kebaikan.
Nah, dan surat yasin itu merupakan
satu dari 114 surat yang ada di al-Qur’an.
Jika berbicara soal pahala, itu sudah otoritas Tuhan, aku mah apa atuh,
Cuma seorang hamba yang berlumur kesalahan dan banyak khilaf tentunya. Tabik!
Bagikan
Lebih dari Yasinan
4/
5
Oleh
Lukman Hakim