Lukman Hakim
Bandar Agung, 25 Desember 2014
08.00 wib
Bandar Agung, 25 Desember 2014
08.00 wib
Dikalangan
masyarakat kita masih saja disamakan antara istilah bagi hasil, ujrah,
dan fee dengan bunga yang ada di lembaga keuangan konvensional. Kenapa
ini bisa terjadi?
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan dilapangan, penyamarataan istilah ini dikarenakan calon nasabah (calon anggota)/nasabah (anggota) tak mau ambil pusing dengan istilah yang belum familiar ditelinga sehingga mudah saja menyebut berapa bunganya, tak perduli juga dengan produk dan akad yang digunakan asalkan bisa mendapatkan modal tambahan untuk kemajuan usahanya.
Ini yang kemudian menjadi tanggung jawab praktisi dan para calon praktisi (mahasiswa) untuk memahamkan diri sendiri terlebih dahulu sehingga bisa memaksimalkan proses edukasi dan sosialisasi terkait produk BMT, sistem bagi hasil BMT, keuntungan BMT, dan yang berkaitan dengan baitul mal wa tamwil.
Setiap BMT memiliki kebijakan yang berbeda dalam menentukan besaran tingkat bagi hasil, fee, dan ujrah. Tingkat bagi hasil, fee, dan ujrah BMT di Provinsi Lampung setara antara 1%-3%.
Perbedaan ini disebabkan oleh sumber modal, harapan perolehan keuntungan dan kebijakan lain yang ditentukan saat rapat pengurus. Pada umumnya permodalan BMT diperoleh dari iuran pokok anggota, iuran wajib anggota, dan modal dari lembaga keuangan syariah main seperti bank syariah atau pusat koperasi syariah (puskopsyah).
Kebijakan BMT dalam menentukan tingkat bagi hasil, fee dan ujrah biasanya terkait erat dengan permodaln yang diperoleh dari pihak ke tiga selain modal sendiri dan simpanan anggota. Sehingga muncul setara angka 1%-3% tersebut.
Sehingga yang harus dipahami oleh kita sebagai akademisi bukan ikut arus dalam membangun paradigma BMT sama saja dengan bank plecit dan sejenisnya. Tetapi berupaya menelusuri akar masalah sehingga kita akan berusaha menjawab fenomena BMT yang terjadi dimasyarakat dan memecahkannya.
Bukan mempertemukan antara teori dan praktik, tetapi berusaha membuka sekat antara keduanya. Sehingga ada transparansi ilmu pengetahuan yang adil.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan dilapangan, penyamarataan istilah ini dikarenakan calon nasabah (calon anggota)/nasabah (anggota) tak mau ambil pusing dengan istilah yang belum familiar ditelinga sehingga mudah saja menyebut berapa bunganya, tak perduli juga dengan produk dan akad yang digunakan asalkan bisa mendapatkan modal tambahan untuk kemajuan usahanya.
Ini yang kemudian menjadi tanggung jawab praktisi dan para calon praktisi (mahasiswa) untuk memahamkan diri sendiri terlebih dahulu sehingga bisa memaksimalkan proses edukasi dan sosialisasi terkait produk BMT, sistem bagi hasil BMT, keuntungan BMT, dan yang berkaitan dengan baitul mal wa tamwil.
Setiap BMT memiliki kebijakan yang berbeda dalam menentukan besaran tingkat bagi hasil, fee, dan ujrah. Tingkat bagi hasil, fee, dan ujrah BMT di Provinsi Lampung setara antara 1%-3%.
Perbedaan ini disebabkan oleh sumber modal, harapan perolehan keuntungan dan kebijakan lain yang ditentukan saat rapat pengurus. Pada umumnya permodalan BMT diperoleh dari iuran pokok anggota, iuran wajib anggota, dan modal dari lembaga keuangan syariah main seperti bank syariah atau pusat koperasi syariah (puskopsyah).
Kebijakan BMT dalam menentukan tingkat bagi hasil, fee dan ujrah biasanya terkait erat dengan permodaln yang diperoleh dari pihak ke tiga selain modal sendiri dan simpanan anggota. Sehingga muncul setara angka 1%-3% tersebut.
Sehingga yang harus dipahami oleh kita sebagai akademisi bukan ikut arus dalam membangun paradigma BMT sama saja dengan bank plecit dan sejenisnya. Tetapi berupaya menelusuri akar masalah sehingga kita akan berusaha menjawab fenomena BMT yang terjadi dimasyarakat dan memecahkannya.
Bukan mempertemukan antara teori dan praktik, tetapi berusaha membuka sekat antara keduanya. Sehingga ada transparansi ilmu pengetahuan yang adil.
Bagikan
Tingkat Bunga BMT Tinggi, Kenapa?
4/
5
Oleh
Lukman Hakim