Dalam perjalanannya, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah mengalami
empat kali amandemen, yaitu pada 1999, 2000, 2001, dan 2002. Salah satu
hasil amandemen adalalah tidak ada lembaga tinggi negara dan lembaga
tertinggi negara. Jadi dalam menjalankan roda pemerintahan,
lembaga-lembaga negara berkedudukan sejajar dan tidak berlaku hierarki
kekuasaan, yang menyebabkan adanya hubungan bottom-up yang memberi kesan sistem atasan dan bawahan.
Asas checks and balances mengamanatkan kepada
lembaga-lembaga negara agar bersinergi dalam kerja dan mengemban
tanggung jawab, untuk saling mengawasi antarlembaga negara. Semua
lembaga negara harus menunjukkan performa terbaik dalam bekerja.
Sehingga, capaian hasil akan maksimal. Sinergi lembaga eksekutif,
legisatif, dan yudikatif harus memiliki visi yang sama, yaitu demi
terwujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdaulat dalam
segala aspek.
Kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang merupakan hasil
amandemen UUD 1945, memberikan warna baru di parlemen Indonesia, karena
membuka sistem bikameral (sistem dua pintu) dalam pemerintahan. Pada
awalnya, pembentukan dan pengesahan legislasi berada di bawah kendali
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tetapi semenjak hadirnya DPD, maka DPD
ikut andil dalam penggodokan rancangan undang-undang sehingga membuat
nuansa parlemen kaya dengan perdebatan yang berorientasi pada
kepentingan rakyat.
Kedudukan DPD di parlemen merupakan representasi dari perwakilan
daerah yang mengemban amanat untuk memperjuangkan kepentingan daerah.
Sedangkan, kedudukan DPR merupakan representasi dari pengemban amanat
rakyat secara umum.
DPD pernah berstatus “ada dan tiada” dalam sistem bikameral
pemerintahan Indonesia. Fungsi dan wewenang DPD pernah mandek di DPR
ketika melakukan pengawalan proses pengajuan, sampai persetujuan
rancangan undang-undang (RUU), menjadi undang-undang. Pun dengan lingkup
rancangan undang-undang yang dapat diajukan DPD sangat terbatas, yakni
hanya untuk urusan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan
perimbangan pusat dan daerah.
Monopoli terhadap fungsi dan wewenang DPD tumbang ketika disahkan
putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. Putusan Mahkamah Konstitusi ini
mengembalikan martabat DPD dalam sistem bikameral sekaligus menguatkan
kedudukan DPD untuk duduk bersama DPR dan presiden dalam proses
perancangan, pengesahan, dan pengawasan legislasi.
Maksimalisasi Kerja
Dengan adanya revitalisasi fungsi dan wewenang DPD, maka selanjutnya
DPD harus bisa memaksimalkan fungsi dan wewenang tersebut. Sesuai dengan
amanat UUD 1945 pasal 22D ayat 2 DPD ikut membahas RUU yang berkaitan
dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah; serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU anggaran
pendapatan dan belanja negara dan RUU yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama.
Sebagai putra daerah yang paham dengan kondisi sosial ekonomi
masyarakat di daerah, maka sudah selayaknya, DPD memperjuangkan
kepentingan daerah sebagaimana tercantum dalam pasal 22D ayat 2. Tiga
masalah pokok yang harus menjadi concern DPD adalah masalah
pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masayarakat. Jika tiga masalah
pokok ini bisa diperjuangkan DPD untuk menelurkan legislasi yang pro
rakyat, maka rakyat tidak sangsi untuk memberikan dukungan setulus hati
kepada DPD sebagai duta daerah di parlemen.
Tulisan masuk sebagai juara favorit lomba opini yang diadakan oleh pojoksamber.com
Bagikan
Revitalisasi Fungsi DPD
4/
5
Oleh
Lukman Hakim