Oleh: Lukman Hakim
(Aktifis Komunitas Hijau, Bergiat di Majelis Kamisan
Cangkir)
Selain kepadatan,
kota selalu akrab dengan masalah polusi udara dan sampah. Warga kota mengalami
tingkat kesulitan untuk menikmati udara yang bersih, sekaligus mengalami
kerumitan dalam membuang sampah, akibatnya warga kota memiliki resiko untuk
mengalami frustasi lebih besar daripada warga desa. Warga kota yang sangat
individualistik, kadang tak berpikir panjang dan seringkali membuang sampah
secara sembarangan, akhirnya ketika musim hujan tiba, banjir menjadi sangat
sulit diatasi.
Setiap kita memiliki tanggungjawab sosial untuk
mendiskusikan dan mencarikan jalan keluar setiap persoalan tersebut, dan
disinilah peran tanggungjawab sosial tulisan ini hendak dihadirkan, sebagai
gagasan sederhana yang bisa diacu dan dibumikan, merancang kota hijau dalam
bentuk kesadaran kolektif warga kota untuk mulai menanam tanpa paksaan.
Mengolah sampah organik menjadi pupuk, dan sampah non organik untuk didaur
ulang.
Jika dulu tanam paksa dikenal sebagai sebuah sistem dari
pemerintah Hindia Belanda yang mewajibkan para penduduk menyediakan lahan untuk
ditanami tanaman komoditas ekspor. Tanam paksa yang dikenal dengan sebutan Cultuurstelsel diterapkan oleh gubernur jenderal Johannes
Van den Bosch pada tahun 1830 yang tidak berpihak kepada rakyat, rakyat jadi
buruh yang tak dibayar, maka konsep tanam tanpa paksa adalah inisiatif warga
sendiri, dari, oleh dan untuk kebaikan warga sendiri.
Tanam tanpa paksa adalah antitesis dari tanam paksa
Hindia Belanda, yang mendapat banyak kritik dari berbagai kalangan, diantaranya
kaum liberalis dan kaum humanis. Melihat realitas kemiskinan dan penderitaan
yang melanda rakyat bumiputera membuat para tokoh belanda tergerak untuk
membela hak-hak rakyat di negeri jajahan. Kemudian muncul nama seperti Eduard
Douwes Dekker yang mengarang buku Max
Havelaar, C. Th van Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld dan tokoh lain yang mengkritik keras sistem tanam paksa yang dijalankan
oleh pemerintah Hindia Belanda.
Merancang Kota Hijau
Menurut Imam S. Ernawi,
Direktur Jenderal Penataan Ruang, kota hijau (green city) yaitu kota yang ramah lingkungan, memiliki misi antara
lain memanfaatkan secara efektif dan efisien sumberdaya air dan energi,
mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan
lingkungan, dan mensinergikan lingkungan alami dan buatan, berdasarkan
perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan baik secara lingkungan, sosial dan ekonomi secara seimbang.
Ada beberapa syarat yang harus penuhi jika ingin
mewujudkan kota hijau (green city).
Yang pertama adalah perencanaan dan perancangan kota (green planning and design), yang bertujuan meningkatkan kualitas
rencana tata ruang dan rancang kota yang lebih sensitif terhadap agenda hijau,
upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Kemudian yang ke dua
adalah pembangunan ruang terbuka hijau (green
open space) untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH sesuai dengan
karakteristik kota/kabupaten, dengan target RTH 30%.
Selanjutnya yang ke tiga adalah Green Community, yaitu pengembangan jaringan kerjasama pemerintah,
masyarakat, dan dunia usaha yang sehat. Yang ke empat adalah pengurangan dan
pengolahan limbah dan sampah (green waste),
dengan menerapkan zero waste. Yang ke
lima adalah pengembangan sistem transportasi berkelanjutan (green transportation) yang mendorong
warga untuk menggunakan transportasi publik ramah lingkungan, serta berjalan
kaki dan bersepeda dalam jarak pendek.
Yang ke enam adalah peningkatan kualitas air (green water) dengan menerapkan konsep
ekodrainase dan zero runoff. Lalu
yang ke tujuh adalah green energy,
yaitu pemanfaatan sumber energi yang efisien dan ramah lingkungan. Dan yang
terakhir, ke delapan, adalah green
building, yaitu penerapan bangunan hijau yang hemat energi.
Seluruh elemen ini harus bersinergi dan terintegrasi jika
menginginkan terwujudnya kota hijau yang diidamkan. Satu kesatuan yang tidak
bisa di pisah antara satu yang lain. Keberhasilan.
Kampanye Tanam Tanpa Paksa
Mewujudkan kota hijau memerlukan sinergitas dari seluruh
elemen, baik pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat. Pemerintah sebagai
pembuat kebijakan harus memiliki misi menelurkan peraturan yang tidak
mengabaikan lingkungan. Mengimplementasikan peraturan dan memberikan pengawasan
ketat agar peraturan yang dibuat tidak mudah untuk dilanggar.
Bandung dan Surabaya bisa menjadi teladan sebagai kota
kreatif dan kota hijau. Bagaimana optimalisasi implementasi melibatkan
masyarakat secara langsung sehingga tumbuh kesadaran untuk memiliki dan
menjaga. Pelibatan masyarakat dalam setiap implementasi kebijkan akan
mempercepat tercapainya tujuan dari kebijakan yang dibuat.
Mewujudkan kota hijau di Lampung merupakan agenda bersama
yang dapat dimulai dengan pelibatan aktif masyarakat. Menjalankan tanam tanpa
paksa sebagai komitmen untuk menuju kota hijau. Tanam tanpa paksa adalah
kampanye menanam dimana masyarakat mengoptimalkan lahan disekitar tempat
tinggal sebagai tempat untuk menanam. Dengan tanam tanpa paksa diharapkan akan
terwujud kedaulatan pangan yang dilakukan sendiri oleh masyarakat.
Tanam tanpa paksa juga dapat disenergikan dengan
pengelolaan sampah sebagai pupuk organik. Dimana pengolahan sampah dapat
dilakukan sendiri oleh masyarakat. Sampah rumah tangga yang dihasilkan setiap
hari memungkinkan masyarakat untuk memproduksi pupuk organik secara
berkelanjutan, selain dalam upaya menjaga keasrian lingkungan.
Meminjam kata-kata sastrawan Amerika Serikat, Napoleon
Hill “jika anda tidak mempu mengerjakan hal-hal besar, kerjakanlah hal-hal
kecil dengan cara yang benar”. Ini mengisyartakan, boleh saja mempunyai
cita-cita besar, tetapi jangan sampai cita-cita besar itu melenakan atau malah
menjauhkan dari cita-cita itu sendiri. Cita-cita besar harus di pecah menjadi
partikel-pertikel yang lebih kecil, dimana masyarakat sanggup untuk
merealisasikannya.
Bagikan
Menanam Tanpa Paksa
4/
5
Oleh
Lukman Hakim