Islam: Antara Teologi dan Ideologi
Lukman Hakim
Alumni Tempo Institute
Berdirinya Indonesia diawali dari debat panjang founding
fathers kalangan sekuler yang
menyatakan bahwa bernegara tidak harus melibatkan agama dan pemuda islam yang
bersikukuh menjadikan islam sebagai landasan ideologi. Dengan kebesaran jiwa
untuk menanggalkan egois diri, kemudin dicapai kesepakatan bahwa nusantara yang
terdiri dari ribuan pulau dan banyak suku sepakat untuk menggunakan pancasila
sebagai dasar negara. Di tandai dengan penghapusan tujuh kata pada piagam
Jakarta “kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang di ganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”
sebagai pasal pertama pancasila.
Kesadran umat islam Indonesia bahwa negeri ini dirajut dengan
keberagaman agama, suku, dan bahasa
memunculkan kesadaran toleransi dan penguatan persatuan antar umat beragama
bahwa keutuhan bangsa lebih penting daripada kepentingan kelompok. Sehingga menjadikan
islam sebagai kepercayaan yang bebas diekspresi pada ranah privat dan
memberikan hak yang sama (equal opportunity) kepada penganut kepercayaan
agama lain merupakan pengamalan nilai
bhineka tunggal ika yang telah
disepakati bersama. Pada tataran ruang publik, islam juga memberikan kebebasan
berekspresi yang tidak membatasi kepentingan pihak lain.
Sejarah juga mencatat pada pembebasan kota mekah (fathul makkah),
umat islam dilarang menumpahkan darah dalam misi pembebasan tersebut kecuali
keadaan terpaksa. Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat islam tidak mengusir penganut kepercayaan selain
islam, malah memberikan maaf kepada penduduk mekah yang dahulu pernah berbuat
dzalim kepada nabi dan pengikutnya. Peristiwa yang terjadi pada tahun 630 M itu
juga memberikan jaminan kebebasan dalam menjalankan kepercayaan agama lain
kepada penduduk mekah selama bisa saling hidup rukun berdampingan dengan umat
islam.
Indonesia dengan sistem demokrasi yang dianut pernah mengamali
kegoncangan ideologi yang dilatarbelakangi oleh faktor politik-kekuasaan ini
memicu lahirnya sejumlah gerakan seperatis berideologi Islam seperti DI/TII
Kartosuwiryo dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Gerakan aceh merdeka (GAM)
di aceh, dan beberapa gerakan separatis di Indonesia bagian timur dapat ditekan
perkembanganya dengan semangat ideologi pancasila.
Sosiolog Prancis Alexis de Tocqueville mengatakan bahwa agama
dinilai menjadi faktor noninstitusional yang memperkuat demokrasi disuatu
negara. Agama mampu menyediakan batasan-batasan moral, sekaligus penyeimbang
terhadap dampak buruk demokrasi. Umat islam di Indonesia pun menyadari betapa
agama (islam) juga menjadi landasan etis-moril dalam kehidupan bernegara.
Bagi Tocqueville agama agaknya dipandang sebagai institusi yang
berada di ranah suprastruktur, transenden, dan memengaruhi pencipataan kondisi
yang dianggap benar-benar ideal oleh pemeluknya. Karena itu ia beranggapan,
agama tidak akan pernah menjadi dominan melalui kelompok keagamaan tunggal,
termasuk memberi legitimasi kepada gerakan-gerakan politik sebagai
satu-satunya kebenaran. Karena agama selalu diyakini mesti relevan dengan
zaman, maka ia tidak boleh kehilangan transendensi kehidupannya. semakin ia
identik dengan pengaturan kelembagaan tertentu, agama dianggap makin
kehilangan nilai-nilai transendensinya.
Islam sebagai public religion memiliki “ruang kedaulatan”
nya sendiri untuk memengaruhi kehidupan publik di mana “ruang kedaulatan”
agama itu juga dibatasi oleh “ruang kedaulatan”
struktur sosial lain seperti negara, keluarga, dan asosiasi-asosiasi publik
lain. Dalam peran memengaruhi kehidupan publik dan relasinya dengan struktur sosial
yang ada itulah agama juga diandaikan tidak boleh mendominasi, apalagi
merampas, peran dan otonomi struktur sosial lain seperti negara atau keluarga.
Begitupun sebaliknya.
Beragama
Islam di Indonesia
Dalam
pandangan Nurcholish Madjid, sejak lahir manusia telah dianugerahi akal sebagai
pembeda benar dan salah. Inheren didalamnya fitrah beragama karena adanya
perjanjian primordial dengan Tuhan. Urusan beragama dan berkeyakinan merupakan
privasi dan hak setiap individu, tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun dalam
memilih agama yang diyakini. Kebebasan beragama juga dijamin oleh konstitusi
negara Indonesia yaitu UUD 1945 pasal 29, kebebasan berkeyakinan merupakan
implementasi dari falsafah negara yaitu pancasila.
Beragama
islam di Indonesia harus memiliki keinsafan dan kesadaran penuh bahwa islam
sebagai mayoritas harus mengayomi keyakinan minoritas dengan tidak bersikap
deskriminatif, non-toleran, dan menindas terhadap kepercayaan lain. Wajah islam
yang rahmatal lil alamin harus tercermin dari perilaku pemeluknya yang
menghargai perbedaan, pemaaf dan momong terhadap komunitas-komunitas
kecil di negeri ini. Bukan sebaliknya, menunjukkan islam sebagai laknantal
lil alamin yang deskriminatif, antoleran, dan mudah tersulut marah.
Jadi
umat islam Indonesia harus mencapai tingkat kedewasaan pada tataran individu
maupun tingkat kolektif. Kapan islam sebagai teologi bisa dilaksanakan dengan
penuh keimanan yang tercermin dari kesalihan dan ketaatan dalam beragama, dan
kapan islam sebagai ideologi
diimplementasikan sesuai dengan sikap terbuka, menghargai, dan bisa
menerima kehadiran individu dan komunitas lain. Islam sebagai ideologi
merupakan kedalaman pemahaman seorang dalam memahami islam (baca: islam sebagai
teologi) sehingga kebhinekaan yang merajut Indonesia dalam ideologi pancasila
dapat diterima dengan legowo.Bukankah dari awal komitmen bersama untuk
menjadikan pancasila sebagai tempat kembali telah di ikrarkan oleh rakyat
Indonesia yang beragama islam, kristen, hindu, atau kepercayaan lain sehingga
komitmen harus dijaga dan diruwat.