Friday, September 4, 2015

Islam: Antara Teologi dan Ideologi

Lukman Hakim
Alumni Tempo Institute
Berdirinya Indonesia diawali dari debat panjang founding fathers kalangan  sekuler yang menyatakan bahwa bernegara tidak harus melibatkan agama dan pemuda islam yang bersikukuh menjadikan islam sebagai landasan ideologi. Dengan kebesaran jiwa untuk menanggalkan egois diri, kemudin dicapai kesepakatan bahwa nusantara yang terdiri dari ribuan pulau dan banyak suku sepakat untuk menggunakan pancasila sebagai dasar negara. Di tandai dengan penghapusan tujuh kata pada piagam Jakarta  “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang di ganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai pasal pertama pancasila.
Kesadran umat islam Indonesia bahwa negeri ini dirajut dengan keberagaman  agama, suku, dan bahasa memunculkan kesadaran toleransi dan penguatan persatuan antar umat beragama bahwa keutuhan bangsa lebih penting daripada kepentingan kelompok. Sehingga menjadikan islam sebagai kepercayaan yang bebas diekspresi pada ranah privat dan memberikan hak yang sama (equal opportunity) kepada penganut kepercayaan  agama lain merupakan pengamalan nilai bhineka tunggal ika  yang telah disepakati bersama. Pada tataran ruang publik, islam juga memberikan kebebasan berekspresi yang tidak membatasi kepentingan pihak lain.
Sejarah juga mencatat pada pembebasan kota mekah (fathul makkah), umat islam dilarang menumpahkan darah dalam misi pembebasan tersebut kecuali keadaan terpaksa. Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat islam  tidak mengusir penganut kepercayaan selain islam, malah memberikan maaf kepada penduduk mekah yang dahulu pernah berbuat dzalim kepada nabi dan pengikutnya. Peristiwa yang terjadi pada tahun 630 M itu juga memberikan jaminan kebebasan dalam menjalankan kepercayaan agama lain kepada penduduk mekah selama bisa saling hidup rukun berdampingan dengan umat islam.
Indonesia dengan sistem demokrasi yang dianut pernah mengamali kegoncangan ideologi yang dilatarbelakangi oleh faktor politik-kekuasaan ini memicu lahirnya sejumlah gerakan seperatis berideologi Islam seperti DI/TII Kartosuwiryo dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Gerakan aceh merdeka (GAM) di aceh, dan beberapa gerakan separatis di Indonesia bagian timur dapat ditekan perkembanganya dengan semangat ideologi pancasila.     
Sosiolog Prancis Alexis de Tocqueville mengatakan bahwa agama dinilai menjadi faktor noninstitu­sional yang memperkuat demokrasi disuatu negara. Agama mampu menyediakan batasan-batasan moral, sekaligus penyeimbang ter­hadap dampak buruk demokrasi. Umat islam di Indonesia pun menyadari betapa agama (islam) juga menjadi landasan etis-moril dalam kehidupan bernegara.
Bagi Tocqueville agama agaknya dipandang sebagai insti­tusi yang berada di ranah suprastruktur, transenden, dan memen­garuhi pencipataan kondisi yang dianggap benar-benar ideal oleh pemeluknya. Karena itu ia beranggapan, agama tidak akan pernah menjadi dominan melalui kelompok keagamaan tunggal, terma­suk memberi legitimasi kepada gerakan-gerakan politik sebagai satu-satunya kebenaran. Karena agama selalu diyakini mesti relevan dengan zaman, maka ia tidak boleh kehilangan transendensi kehidupannya. semakin ia identik dengan pengaturan kelem­bagaan tertentu, agama dianggap makin kehilangan nilai-nilai transendensinya.
Islam sebagai public religion memiliki “ruang kedaulatan” nya sendiri un­tuk memengaruhi kehidupan publik di mana “ruang kedaulatan” agama itu juga dibatasi oleh “ruang kedaulatan” struktur sosial lain seperti negara, keluarga, dan asosiasi-asosiasi publik lain. Dalam peran memengaruhi kehidupan publik dan relasinya dengan struktur sosial yang ada itulah agama juga diandaikan tidak boleh mendominasi, apalagi merampas, peran dan otonomi struktur so­sial lain seperti negara atau keluarga. Begitupun sebaliknya.

Beragama Islam di Indonesia
Dalam pandangan Nurcholish Madjid, sejak lahir manusia telah dianugerahi akal sebagai pembeda benar dan salah. Inheren didalamnya fitrah beragama karena adanya perjanjian primordial dengan Tuhan. Urusan beragama dan berkeyakinan merupakan privasi dan hak setiap individu, tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun dalam memilih agama yang diyakini. Kebebasan beragama juga dijamin oleh konstitusi negara Indonesia yaitu UUD 1945 pasal 29, kebebasan berkeyakinan merupakan implementasi dari falsafah negara yaitu pancasila.
Beragama islam di Indonesia harus memiliki keinsafan dan kesadaran penuh bahwa islam sebagai mayoritas harus mengayomi keyakinan minoritas dengan tidak bersikap deskriminatif, non-toleran, dan menindas terhadap kepercayaan lain. Wajah islam yang rahmatal lil alamin harus tercermin dari perilaku pemeluknya yang menghargai perbedaan, pemaaf dan momong terhadap komunitas-komunitas kecil di negeri ini. Bukan sebaliknya, menunjukkan islam sebagai laknantal lil alamin yang deskriminatif, antoleran, dan mudah tersulut marah.
Jadi umat islam Indonesia harus mencapai tingkat kedewasaan pada tataran individu maupun tingkat kolektif. Kapan islam sebagai teologi bisa dilaksanakan dengan penuh keimanan yang tercermin dari kesalihan dan ketaatan dalam beragama, dan kapan islam sebagai ideologi  diimplementasikan sesuai dengan sikap terbuka, menghargai, dan bisa menerima kehadiran individu dan komunitas lain. Islam sebagai ideologi merupakan kedalaman pemahaman seorang dalam memahami islam (baca: islam sebagai teologi) sehingga kebhinekaan yang merajut Indonesia dalam ideologi pancasila dapat diterima dengan legowo.Bukankah dari awal komitmen bersama untuk menjadikan pancasila sebagai tempat kembali telah di ikrarkan oleh rakyat Indonesia yang beragama islam, kristen, hindu, atau kepercayaan lain sehingga komitmen harus dijaga dan diruwat.    

Bagikan

Jangan lewatkan

Islam: Antara Teologi dan Ideologi
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.