Lukman
Hakim
Mahasiswa
Ekonomi Syariah STAIN Jurai Siwo Metro
Kehadiran
lembaga keuangan mikro baitul maal wat tamwil yang diharapkan bisa
menjadi alternatif pembiayaan yang terbebas dari transaksi yang dilarang
ternyata jauh panggang dari api. Kemunculan baitul maal wat tamwil tidak
lagi berorientasi pada pemberdayaan ekonomi masyarakat kelas bawah sebagai
upaya peningkatan perekonomian keluarga kelas bawah, sebaliknya orientasi
bisnis untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya lebih menjadi titik berat
para praktisi baitul maal wat tamwil.
Sebagai
contoh kasus misalnya, beberapa baitul maal wat tamwil (BMT) di
Kecamatan Putra Rumbia Kabupaten Lampung Tengah beroperasi dengan menawarkan
margin setara 3-4% (pengakuan salah satu praktisi BMT di Kecamatan tersebut).
Besaran margin demikian, penulis fikir bukan alternatif solusi pembiyaan lebih
murah tapi akan membuat anggota BMT mendapat beban lebih berat dari sebelumnya.
Lebih ekstrim lagi, jika pembiayaan demikian dikatakan tidak ada bedanya dengan
“bank plecit”, hanya bedanya baitul maal wat tamwil berganti baju dengan
label syariah.
Sebelumnya
penulis mengamati beberapa BMT yang mempunyai dana sendiri (berafiliasi dengan
yayasan) berani menawarkan tingkat margin lebih rendah di bandingkan dengan BMT
yang menghimpun dana masyarakat atau meminjam dari bank syariah. Dalam praktik
yang lain, walaupun baitul maal wat tamwil memiliki pasokan dana yang
cukup tetapi penawaran pembiayaan dengan kategori margin tinggi masih saja
diterapkan. Ini yang kemudian membuat masyarakat menganggap sama semua praktik
pembiayaan BMT.
Akad
pembiayaan yang digulirkan BMT kepada masyarakat kebanyakan adalah murabahah
(jual beli) dan pembiayaan dengan akad bagi hasil (mudharabah dan
musyarakah) jarang sekali ditemukan dalam praktik. Alasannya cukup beragam,
akad bagi hasil dianggap lebih sulit dalam pembagian keuntungan dan perhitungan
dibanding dengan akad jual beli.
Walaupun
akad murabahah sebagai akad yang sering digunakan dalam pembiayaan,
tetapi dalam praktik terdapat bebarapa praktik yang di anggap tidak sesuai
dengan ketentuan syariah. Misal, dalam pembiayaan murabahah biasanya
digunakan tambahan akad hawalah (perwakilan) dalam pembelian barang.
Anggota biasanya diberi wewenang untuk membelanjakan uang yang diperoleh dari
BMT sesuai dengan bunyi akad yang telah tertulis. Kemudian anggota menyerahkan
bukti pembelian barang kepada pihak BMT.
Tetapi dalam praktik dilapangan ditemukan bahwa anggota BMT tidak
membelikan barang sesuai yang tertuang di akad tapi untuk memenuhi kebutuhan
yang lain. Artinya terjadi moral hazard dari anggota BMT karena tidak
menggunakan akad hawalah yang telah diberikan oleh pihak BMT sesuai
dengan akad yang diberikan.
Pengembangan
BMT secara umum harus terus diupayakan oleh semua eleman yang bergiat di BMT
lewat bergabung dengan asosiasi yang memiliki concern pada BMT Seperti
Perhimpunan BMT, Induk Koperasi Syariah (Inkopsyah) BMT, Induk Koperasi Jasa
Keuangan Syariah Baitul Tanwil Muhammadiyah dan asosiasi lain. Dengan demikian,
pengembangan produk, jasa dan upaya untuk kemajuan BMT bisa terus diupayakan
bersama.
Sebagai
kabar gembira untuk praktisi BMT bahwasanya BMT di tahun 2015 secara nasional
telah mencapai aset sebesar Rp 4,7 triliun dan jumlah pembiayaan sebesar Rp 3,6
triliun (republica.co.id). Ini seharusnya menjadi penyemangat bagi praktisi BMT
bahwa kehadiran BMT diperhitungkan dalam perkembangan ekonomi nasional,
utamanya sebagai penggerak sektor riil sebagai salah satu pilar perekonomian.
Oleh
karena itu, kerjasama stakeholders untuk terus mengawal pengembangan BMT
harus dilakukan secara konsisten agar stereotipe nama “syariah” dapat
dipertanggungjawabkan dalam teori maupun praktik sehingga kepercayaan
masyarakat terhadap baitul maal wat tamwil akan meningkat. Semoga BMT
sebagai lembaga keuangan mikro benar-benar bisa syariah sesuai dengan namanya.
Semoga.
Tulisan
ini merupakan hasil berdiskusi dengan beberapa praktisi BMT yang ada di
Kecamatan Putra Rumbia Kabupaten Lampung Tengah
Bagikan
BMT, Syariahkah?
4/
5
Oleh
Lukman Hakim