|
Saya sedang Ngendai Tanaman Padi |
Tulisan ini adalah tanggapan atas tulisan Pak Hasanudin Abdurakhman yang menulis tentang “pascasarjana” diberanda facebooknya yang
kemudian dibagikan oleh kolega Pak Nasrudin.
Saya adalah salah satu dari banyak orang yang memilih
menyelesaikan pendidikan strata satu di waktu-waktu akhir. Kenapa demikian? Bukan
karena saya ingin meniru film india yang tokoh protagonis selalu menjadi pemenang
diakhir cerita (film-film India waktu saya SD. Sekira tahun 2000-an).
Soal masa studi saya yang tergolong lama, sebenarnya
tidak ada alasan lain selain malas.
Sekolah diploma tiga (D3) saya selesaikan dalam kurun
waktu 2 tahun 8 bulan dengan program studi perbankan syaringah (baca: syariah).
Saya masuk ke Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Metro tahun 2011 dan lulus di tahun 2014.
Lulus dengan gelar cumlaude tidak
membuat saya bangga diri. Di akhir masa studi D3 tersebut, saya sudah bergabung
dengan lembaga baitul maal wat tamwil (BMT)
di Kota Metro Lampung.
Saya tak bisa bertahan lama dilembaga tersebut. Ada semacam
perang batin yang menyiksa saya tentang praktik BMT tersebut. Tentu praktik
tersebut berbeda dengan teori yang saya pelajari di buku-buku. Akhirnya saya resign dan memutuskan menjadi pengangguran sukses.
Tahun 2015, saya tercatat kembali menjadi mahasiswa STAIN
Metro Lampung yang alih status menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Metro. Sebagai mahasiswa miskin cum pengangguran, saya merasa keberatan membayar
SPP yang kala itu sudah berlaku sistem uang kuliah tunggal (UKT). Saya dibebani
Rp.1.100.000 tiap semester, jumlah itu sudah membuat saya puyeng.
Berbekal kemampuan menulis−kelas amatir− yang saya dapat
selama menjabat sebagai pengangguran sukses, saya mencoba mencari uang. Tentu banyak
pihak yang terlibat mendorong saya belajar dan akhirnya bisa menulis. Bang Oki
Hajiansyah Wahab, Bang Rahmatul Ummah, Bang Endri Kalianda, Kak Dharma
Setyawan, Udo Z Karzi dan banyak yang lain.
Dari mereka dan komunitaslah saya kemudian mendapatkan
kemudahan mengakses pengetahuan secara gratis, egaliter dan asyik.
Pada Maret 2018 lalu, saya resmi menyandang status
sebagai sarjana ekonomi. Di bulan januari 2018, saya juga tercatat sebagai pekerja
sosial/pendamping sosial program keluarga harapan (PKH) Kecamatan Putra Rumbia−saya
lahir dan besar disini.
Sebelum lulus, saya sudah mengatakan kepada orang tua
bahwa saya akan melanjutkan pendidikan ke strata dua (S2) apapun caranya. Awalnya
orang tua keberatan, tapi pada akhirnya mereka luluh dan mendukung.
Penolakan orang tua bukan tanpa alasan. Tahun ini saya
juga akan menikah dengan gadis pilihan saya dan yang mau menerima
saya. Ha-ha-ha. Tentu pilihan
itu berat, lebih berat dari rindu Dilan ke Milea karena saya harus berfikir
mencari uang lebih besar. Tapi saya bertekad selama ada kemauan selalu ada kesempatan
dan jalan untuk melanjutkan sekolah.
Meneruskan pendidikan S2 bukan untuk memanjangkan tali
kolor pengangguran yang saya sandang−seperti kata Pak Hasan. Tapi ada alasan
lain yang membuat saya ingin bersekolah lagi.
Dengan melanjutkan pascasarjana, saya ingin memperbanyak
teman dalam dunia akademik, tentu saya tak mengabaikan yang tidak sekolah. Walaupun
hidup di kampung, di era digital seperti saat ini, saya juga tidak boleh ketinggalan
informasi dan isu terbaru tentang dunia pendidikan, politik, ekonomi dan
lain-lain.
Saya juga tak ingin seperti yang dikatakan Willibrodus Surendra
Broto Rendra atau WS Rendra dalam puisi “Sajak
Seonggok Jagung” yang tak peka
dengan keadaan sekitar walaupun sudah bersekolah tinggi.
Saya mungkin masuk kategori apa yang dikatakan Pak Hasanudin
Abdurakhman yang tak bisa bahasa inggris dan bahasa arab. Kemampuan saya dalam
dua bahasa tersebut sangat terbatas. Bisa dikatakan ak-uk-ak-uk saat berbincang, grotal-gratul
dalam membaca teksnya.
Tapi apakah kelemahan itu saya biarkan begitu saja, tentu
tidak. Hidup di kampung tidak membuat saya tidak belajar. Saya terus belajar
sesuai dengan kemampuan, membgai waktu antara ke ladang, sawah, kerja sebagai pendamping
sosial, membaca buku, menulis dan tentu membaca isu terbaru isu sekarang. Seperti
operasi tangkap tangan (OTT) KPK kepada Bupati Lampung Selatan dan lain-lain.
Saya yakin jika sekolah pascasarjana diniatkan dalam upaya
menuntut ilmu semua akan dimudahkan. Biaya, dukungan kerabat, dukungan calon
istri mengalir. Seperti judul sebuah film “Semesta Mendukung”, itulah yang
harus kita yakini.
Tabik!
Putra Rumbia,
27 Juli 2018
Sambil Ngopi
Setelah Pulang Dari Ladang
Lukman Hakim