HATI-HATI, JANGAN MAIN BELAKANG
oleh uman al-hakim
Siang itu sekitar pukul 10.43 WIB hakim sedang asik
bersama dengan komputer jinjingnya. Dia membuka akun facebooknya dan melihat
status terbaru dari teman-temannya yang ada dijejaring itu. Tapi betapa kagetnya
ketika hakim membuka dinding facebook milik temannya satu asrama pondok
pesantren. Kata-kata tak senonoh
terpampang di dinding facebook temannya. Kalimat itu menjurus pada dewan ustadz
dan para pengurus. Dengan kalimat-kalimat itu api kemarahan hakim langsung
tersulut bagai kayu bakar dilahap api. “kalau berani jangan berbicara dibelakang
dan menulis lewat status di akun ini, langsung berdialog dengan ustadz dan
pengurus jika anda merasa gentle man. Apalagi anda seorang mahasiswa dan
santri. Apakah elok kata-kata seperti ini keluar dari orang yang memiliki
pendidikan se-level mahasiswa?” Pesan singkat itu langsung dikirim ke joko,
santri yang tak beraninya main belakang.
Hakim tetap berfikir rasional walaupun dalam keadaan
marah besar. Dia tahu seorang mahasiswa tidak seharusnya berkata demikian. Jika
hakim merespon tulisan joko dengan emosi dan marah. Lalu apa yang membedakan
hakim dan joko. “astagfirullah hal adzim, semoga antum lekas sadar kawan.
Tidakkah antum sadar dengan apa yang antum ucapkan.” Ucapnya lirih sambil menarik nafas panjang.
Yang hakim tak habis fikir adalah kata-kata yang sangat tidak
pantas yang ditujukan kepada ustadz. “masya Allah, anak
ini apa tidak bisa berfikir”. Kata putra teman hakim satu asrama juga. “ustadz
adalah orang tua kita disini, di pondok pesantren ini. Bagaimana jika orang tua
kita dirumah dicela seperti ini? Akan sangat sakit rasanya”. Timpal hakim
dengan mimik muka marah dan tetesan air mata. “sudahlah hakim, jangan terlalu
antum perlihatkan marah antum[1] itu”. Balas putra diiringi menepuk pundak
hakim.
“pokonya nanti malam ana tidak mau tahu, masalah ini
harus masuk kepersidangan ustadz dan pengurus”. Ujar hakim sambil memohon.
“tidak bisa seperti itu juga akhi[2],
Jangan turuti hawa nafsu”. Jawab lurah pondok pesantren mas mulya. “tapi mas
mul tahukan tindakan joko sudah tidak mencerminkan orang yang berpendidikan. Joko
juga dari dulu sudah direkomendasikan untuk dikeluarkan dari pondok ini. Dulu ana
tidak terlalu perduli dengan rekomendasi itu. Tapi sekarang ana[3]
berubah fikiran setelah ana tahu fakta tentang joko secara langsung. Dia itu
seperti air tenang yang menghanyutkan. Baik di depan tapi menghancurkan dari
belakang. Apa antum tidak sadar dengan hal itu mas?”. bantah hakim. “ana paham
akhi, baiklah nanti malam kita bawa kepersidangan. Tapi hanya pengurus saja.
Jangan libatkan dewan ustadz terlebih dahulu. Ana pun tak terima dengan apa
yang di ucapkan saudara kita joko. Kita akan tanya apa motivasinya mengeluarkan
berkata-kata demikian” terang mas mul pada hakim.
Matahari senja menyinari pondok pesantren menambah
suasana hening dan tenang. “assalamu’alaikum”. Ucapkan hakim yang baru saja
datang mengantarkan teman kampus ke rumah saudara. “Wa’alaikumsalam, akhi ada
status baru di dinding joko yang intinya mengajak duel antum”. Kata agus
dengan semangat. “apa! Sudah berani dia sama ana”. Timpal hakim dengan nada
marah. Seketika itu juga hakim langsung menuju tempat tidur joko. “bangun antum
jok, kerjaan antum tidur terus”. Kata hakim dengan nada menghentak. “maksud
kamu apa bilang saya sampah, apa salah saya?”. Balas joko. “salah saya apa! Apa
antum tidak berfikir, antum sudah menginjak-injak nama baik ustadz. Bagaimana
jika khalayak tahu dengan ikhwal ini? Apa yang akan mereka katakana? ”. terang
hakim sambil beranjak pergi. Setelah kejadian ini hakim langsung mengambil air
wudhu dan adzan magrib.
Selepas sholat magrib sudah menjadi rutinitas para
santri ngaji. Tapi joko tak nampak batang hidungnya. Ini menjadi pertanyaan
besar untuk hakim karena sore tadi dia mengatakan akan membawa masalah ini ke
persidangan. “joko kemana mas?”. Tanya hakim kepada mas mulya. “ana juga kurang
tahu akhi, kita tunggu saja sampai nanti sebelum isya’” Balas mas mul.
Lima belas menit sebelum isya’ joko datang. “dari mana antum
jok? Melarikan diri?”. Sapa mas mulya. “ana menenangkan diri mas, maafkan ana
mas. Ana mengaku salah dengan apa yang telah ana perbuat”. Kata joko sambil
menangis. “jangan keluarkan air mata buayamu di sini jok”. Bentak hakim. “sudah
akhi, antum tenang. Ana saja yang selesaikan masalah ini”. Imbuh mas mulya.
“ana siap mengikuti persidangan tapi ana mohon, jangan dikeluarkan ana dari
pondok karena kasian ibu dirumah mas”. Rengek joko. “sudah! jangan merengek
jok, makanya sebelum berbicara harus fikirkan terlebih dahulu apa dan bagaimana
akibatnya”. Hakim bertambah marah. “ya sudah kita beri kesempatan kepada antum
untuk memperbaiki diri dan jangan sampai hal ini terulang lagi diwaktu
mendatang” Tambah mas mul dengan bijak.
Akhirnya kasus ini tidak sampai kepada persidangan dewan
ustadz dan pengurus. Hakim awalnya tidak bisa terima akan tetapi karena rasa
cinta pada joko yang sudah dianggap
saudaranya
maka hakim ikhlas memaafkan kesalahan joko.
[1]Antum dalam bahasa arab
berarti kamu laki-laki untuk jamak. Tapi di sebagian pondok pesantren atau
dunia kampus dalam wadah lembaga dakwah kampus biasanya antum digunakan untuk
kamu tunggal laki-laki/perempuan. Hal ini dirasakan lebih hormat dan sopan dari
pada harus mengucapkan anta atau anti. Walaupun menurut kaidah bahasa arab
adalah salah.
[2] Akhi artinya saudaraku, biasa digunakan untuk panggilan untuk orang
lain (laki-laki).
[3] Ana artinya saya.
Bagikan
cerpen-HATI-HATI, JANGAN MAIN BELAKANG
4/
5
Oleh
Lukman Hakim