Wednesday, November 27, 2013

cerpen-HATI-HATI, JANGAN MAIN BELAKANG



HATI-HATI, JANGAN MAIN BELAKANG

oleh uman al-hakim

Siang itu sekitar pukul 10.43 WIB hakim sedang asik bersama dengan komputer jinjingnya. Dia membuka akun facebooknya dan melihat status terbaru dari teman-temannya yang ada dijejaring itu. Tapi betapa kagetnya ketika hakim membuka dinding facebook milik temannya satu asrama pondok pesantren.  Kata-kata tak senonoh terpampang di dinding facebook temannya. Kalimat itu menjurus pada dewan ustadz dan para pengurus. Dengan kalimat-kalimat itu api kemarahan hakim langsung tersulut bagai kayu bakar dilahap api. “kalau berani jangan berbicara dibelakang dan menulis lewat status di akun ini, langsung berdialog dengan ustadz dan pengurus jika anda merasa gentle man. Apalagi anda seorang mahasiswa dan santri. Apakah elok kata-kata seperti ini keluar dari orang yang memiliki pendidikan se-level mahasiswa?” Pesan singkat itu langsung dikirim ke joko, santri yang tak beraninya main belakang.

Hakim tetap berfikir rasional walaupun dalam keadaan marah besar. Dia tahu seorang mahasiswa tidak seharusnya berkata demikian. Jika hakim merespon tulisan joko dengan emosi dan marah. Lalu apa yang membedakan hakim dan joko. “astagfirullah hal adzim, semoga antum lekas sadar kawan. Tidakkah antum sadar dengan apa yang antum ucapkan.”  Ucapnya lirih sambil menarik nafas panjang.

Yang hakim tak habis fikir adalah kata-kata yang sangat tidak pantas yang ditujukan kepada ustadz. “masya Allah, anak ini apa tidak bisa berfikir”. Kata putra teman hakim satu asrama juga. “ustadz adalah orang tua kita disini, di pondok pesantren ini. Bagaimana jika orang tua kita dirumah dicela seperti ini? Akan sangat sakit rasanya”. Timpal hakim dengan mimik muka marah dan tetesan air mata. “sudahlah hakim, jangan terlalu antum perlihatkan marah antum[1]  itu”. Balas putra diiringi menepuk pundak hakim.

“pokonya nanti malam ana tidak mau tahu, masalah ini harus masuk kepersidangan ustadz dan pengurus”. Ujar hakim sambil memohon. “tidak bisa seperti itu juga akhi[2], Jangan turuti hawa nafsu”. Jawab lurah pondok pesantren mas mulya. “tapi mas mul tahukan tindakan joko sudah tidak mencerminkan orang yang berpendidikan. Joko juga dari dulu sudah direkomendasikan untuk dikeluarkan dari pondok ini. Dulu ana tidak terlalu perduli dengan rekomendasi itu. Tapi sekarang ana[3] berubah fikiran setelah ana tahu fakta tentang joko secara langsung. Dia itu seperti air tenang yang menghanyutkan. Baik di depan tapi menghancurkan dari belakang. Apa antum tidak sadar dengan hal itu mas?”. bantah hakim. “ana paham akhi, baiklah nanti malam kita bawa kepersidangan. Tapi hanya pengurus saja. Jangan libatkan dewan ustadz terlebih dahulu. Ana pun tak terima dengan apa yang di ucapkan saudara kita joko. Kita akan tanya apa motivasinya mengeluarkan berkata-kata demikian” terang mas mul pada hakim.
Matahari senja menyinari pondok pesantren menambah suasana hening dan tenang. “assalamu’alaikum”. Ucapkan hakim yang baru saja datang mengantarkan teman kampus ke rumah saudara. “Wa’alaikumsalam, akhi ada status baru di dinding joko yang intinya mengajak duel antum”. Kata agus dengan semangat. “apa! Sudah berani dia sama ana”. Timpal hakim dengan nada marah. Seketika itu juga hakim langsung menuju tempat tidur joko. “bangun antum jok, kerjaan antum tidur terus”. Kata hakim dengan nada menghentak. “maksud kamu apa bilang saya sampah, apa salah saya?”. Balas joko. “salah saya apa! Apa antum tidak berfikir, antum sudah menginjak-injak nama baik ustadz. Bagaimana jika khalayak tahu dengan ikhwal ini? Apa yang akan mereka katakana? ”. terang hakim sambil beranjak pergi. Setelah kejadian ini hakim langsung mengambil air wudhu dan adzan magrib.

Selepas sholat magrib sudah menjadi rutinitas para santri ngaji. Tapi joko tak nampak batang hidungnya. Ini menjadi pertanyaan besar untuk hakim karena sore tadi dia mengatakan akan membawa masalah ini ke persidangan. “joko kemana mas?”. Tanya hakim kepada mas mulya. “ana juga kurang tahu akhi, kita tunggu saja sampai nanti sebelum isya’” Balas mas mul.

Lima belas menit sebelum isya’ joko datang. “dari mana antum jok? Melarikan diri?”. Sapa mas mulya. “ana menenangkan diri mas, maafkan ana mas. Ana mengaku salah dengan apa yang telah ana perbuat”. Kata joko sambil menangis. “jangan keluarkan air mata buayamu di sini jok”. Bentak hakim. “sudah akhi, antum tenang. Ana saja yang selesaikan masalah ini”. Imbuh mas mulya. “ana siap mengikuti persidangan tapi ana mohon, jangan dikeluarkan ana dari pondok karena kasian ibu dirumah mas”. Rengek joko. “sudah! jangan merengek jok, makanya sebelum berbicara harus fikirkan terlebih dahulu apa dan bagaimana akibatnya”. Hakim bertambah marah. “ya sudah kita beri kesempatan kepada antum untuk memperbaiki diri dan jangan sampai hal ini terulang lagi diwaktu mendatang” Tambah mas mul dengan bijak.

Akhirnya kasus ini tidak sampai kepada persidangan dewan ustadz dan pengurus. Hakim awalnya tidak bisa terima akan tetapi karena rasa cinta pada  joko yang sudah dianggap saudaranya maka hakim ikhlas memaafkan kesalahan joko.



[1]Antum  dalam bahasa arab berarti kamu laki-laki untuk jamak. Tapi di sebagian pondok pesantren atau dunia kampus dalam wadah lembaga dakwah kampus biasanya antum digunakan untuk kamu tunggal laki-laki/perempuan. Hal ini dirasakan lebih hormat dan sopan dari pada harus mengucapkan anta atau anti. Walaupun menurut kaidah bahasa arab adalah salah.
[2] Akhi artinya saudaraku, biasa digunakan untuk panggilan untuk orang lain (laki-laki).
[3] Ana artinya saya.

Bagikan

Jangan lewatkan

cerpen-HATI-HATI, JANGAN MAIN BELAKANG
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.