Friday, November 29, 2013

opiniku yang tak terbit: MELEK LINGKUNGAN HIDUP



MELEK LINGKUNGAN HIDUP
Oleh uman al-hakim

Dari kaca mata penulis, banyak pihak yang sependapat dan sepaham ungkapan ini. Kalau begitu apa alasanya? manusia yang di anugerahi dengan akal dan  fikiran, sudah seharusnya menggunakan potensi akal untuk berfikir, merenung, menganalisis dan menyimpulkan suatu fenomena. Maka jika manusia open dengan lingkungan tempat mereka hidup dan tidak membuat kerusakan. Implikasinya adalah alam akan berbuat serupa kepada manusia. Jika kadang akal ter-marginal-kan oleh nafsu, yang terjadi adalah bagaimana untuk mencapai keutungan berlipat ganda dengan cara instan.
Bencana alam yang bergulir di bumi indonesia, tidak lain dan tidak bukan adalah ulah dari “tangan-tangan nakal” manusia. Walaupun tidak sepenuhnya bencana alam yang terjadi disebabkan oleh manusia. Tetapi perhatikan PT. Freeport yang mengeksplotasi gunung emas di Papua. Dan apada akhirnya gunung emas itu sekarang menjelma menjadi kubangan bahkan lembah atau mungkin jurang.  Tengok pula PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, sekarang kedaanya menjadi lautan lumpur panas.
Kesadaran untuk peduli akan pentingnya lingkungan hidup sangat rendah sekali di negeri ini. Terkadang hal itu terkalahkan oleh kepentingan pragmatis yang menjanjikan keuntungan sesaat  yang menggiurkan. Tetapi mereka lupa  keberlangsungan hidup anak-cucunya. Bahwa masih ada rantai kehidupan yang harus terus berjalan. Dan yang menjadi wadah untuk untuk keberlangsunagn itu adalah lingkungan hidup.
 Kerusakan di negeri ini seperti “dilegalkan” oleh pemerintah. Tidak ada upaya intervensi untuk mitigasi kerusakan alam. Sebaliknya, tidak sedikit pemerintah yang proaktif dalam mendukung perusakan lingkungan hidup. Walaupun tidak secara eksplisit bahwa pemerintah melakukan hal demikian. Tetapi, ada juga oknum yang secara terang-terangan memberikan izin terhadap ekplorasi dan eklpotasi alam yang akibat jangka panjangnya adalah kerusakan dan bencana alam.
Dengan diberikan kewenangan untuk mengurusi rumah tangga daerahnya sendiri. Pemerintah daerah otonom kadang membuat regulasi yang lepas dari pengawasan pemerntah pusat. Sampai tahun 2013 tercacat 2.686 izin usaha pertambangan. Padahal  angka terbesar dari kerusakan lingkungan adalah sektor pertambangan dan perkebunan. Akan tetapi, malah ada kolaborasi yang apik  antara pemerintah dan perushaaan tambang untuk membuat proyek-proyek tambang dan pembukaan lahan-lahan perkebunan baru dengan jalan penebangan hutan .
Harga Yang Harus Dibayar
            Setidaknya ada “harga yang harus dibayar mahal dari dampak kegiatan eksplorasi dan eksploitasi lingkungan hidup. Harga sosial-ekonomi, dan harga psikologis. Seberapa besar hasil eksploitasi lingkungan memberikan dampak signifikan pada perbaikan keadaan perekonomian. Atau malah sebaliknya, dengan adanya pengelolan Sumber Daya Alam keadaan negara dan kehidupan masyarakat semakin terpuruk saja. Karena tenaga pengelola dan investor adalah orang-orang asing. Papua yang seharusnya menjadi daerah terkaya di Indonesia. Kini keadaanya berbanding terbalik. Papua menyabet “penghargaan” di tingkat nasional dengan kategori daerah termiskin di indonesia, risiko kematian dan penyakit tertinggi di Indonesia dan kekerasan oleh tentara tertinggi di seluruh indonesia.
            Daerah yang terisolasi dan “terpinggirkan”, kadangkala hal ini dirasakan dan di ungkapkan oleh  daerah tertentu di Indonesia. Sebagai daerah kaya akan sumber daya alam dan sebagai daerah penyumbang  Pendapatan Nasioanal di level atas. Tetapi pembangunan daerah terklasifikasi sangat lamban. Bahkan menjadi daerah tertinggal jika di banding dengan daerah-daerah lain. Kemudian menimbulkan keadaan psikologis yang mengasumsi bahwa negara tidak bisa berbuat adil.  Dari rasa yang tidk adil itu kemudian muncul gerakan sparatis seperti di sulawesi, papua, aceh dan daerah lain. Ada juga daerah di indonesia yang akhirnya sudah lepas dari Republik ini.
            Gerakan sparatis  muncul kadang kala di picu oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap terhadap emerintahan yang ada. Pemerintah di anggap ”gagal” dalam menjalankan roda pemerintahan. Diversifikasi pendapatan nasional yang di frame dalam APBN ternyata dianggap pendistribusiannya dianggap tidak merata dan tak adil. Dearah yang memberikan kontribusi tinggi untuk menopang kas negara ternyata imbal baliknya tidak sesuai. Lebih kronis, daerah bersangkutan malah terklasifikasi dalam daerah miskin dan daerah tertinggal.
Mulai Dari Hal Kecil
            Mulai dari diri sendiri, mulai dari hal kecil, dan mulai dari sekarang. Penulis meminjam kata dari ustadz kondang Aa Gym. Ketika ingin membuat berubahan besar maka yang paling penting adalah membuat perubahan-perubahan kecil di level individu. Begitu pula untuk mengawal dalam rangka menjaga lingkunagn hidup. Maka arus dilakukan dari hal yang kecil seperti membuang sampah tempatnya, mendaur ulangnya, dan menjaga kebirsihan. Karena kebersihan merupakan bagian dari iman. Kalau bukan kita siapa lagi yang mau perduli dengan liingkungan? Kalau tidak dari sekarang lalu kapan lagi kita open dengan alam?


Bagikan

Jangan lewatkan

opiniku yang tak terbit: MELEK LINGKUNGAN HIDUP
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.