MELEK LINGKUNGAN
HIDUP
Oleh uman
al-hakim
Dari
kaca mata penulis, banyak pihak yang sependapat dan sepaham ungkapan ini. Kalau
begitu apa alasanya? manusia yang di anugerahi dengan akal dan fikiran, sudah seharusnya menggunakan potensi
akal untuk berfikir, merenung, menganalisis dan menyimpulkan suatu fenomena.
Maka jika manusia open dengan
lingkungan tempat mereka hidup dan tidak membuat kerusakan. Implikasinya adalah
alam akan berbuat serupa kepada manusia. Jika kadang akal ter-marginal-kan oleh nafsu, yang terjadi
adalah bagaimana untuk mencapai keutungan berlipat ganda dengan cara instan.
Bencana
alam yang bergulir di bumi indonesia, tidak lain dan tidak bukan adalah ulah
dari “tangan-tangan nakal” manusia. Walaupun tidak sepenuhnya bencana alam yang
terjadi disebabkan oleh manusia. Tetapi perhatikan PT. Freeport yang
mengeksplotasi gunung emas di Papua. Dan apada akhirnya gunung emas itu
sekarang menjelma menjadi kubangan bahkan lembah atau mungkin jurang. Tengok pula PT Lapindo Brantas di Sidoarjo,
sekarang kedaanya menjadi lautan lumpur panas.
Kesadaran
untuk peduli akan pentingnya lingkungan hidup sangat rendah sekali di negeri
ini. Terkadang hal itu terkalahkan oleh kepentingan pragmatis yang menjanjikan keuntungan sesaat yang menggiurkan. Tetapi mereka lupa keberlangsungan hidup anak-cucunya. Bahwa
masih ada rantai kehidupan yang harus terus berjalan. Dan yang menjadi wadah
untuk untuk keberlangsunagn itu adalah lingkungan hidup.
Kerusakan di negeri ini seperti “dilegalkan”
oleh pemerintah. Tidak ada upaya intervensi untuk mitigasi kerusakan alam. Sebaliknya, tidak sedikit pemerintah yang
proaktif dalam mendukung perusakan lingkungan hidup. Walaupun tidak secara
eksplisit bahwa pemerintah melakukan hal demikian. Tetapi, ada juga oknum yang
secara terang-terangan memberikan izin terhadap ekplorasi dan eklpotasi
alam yang akibat jangka panjangnya adalah kerusakan dan bencana alam.
Dengan
diberikan kewenangan untuk mengurusi rumah
tangga daerahnya sendiri. Pemerintah daerah otonom kadang membuat regulasi
yang lepas dari pengawasan pemerntah pusat. Sampai tahun 2013 tercacat 2.686
izin usaha pertambangan. Padahal
angka terbesar dari kerusakan lingkungan adalah sektor pertambangan dan
perkebunan. Akan tetapi, malah ada kolaborasi yang apik antara pemerintah dan
perushaaan tambang untuk membuat proyek-proyek tambang dan pembukaan
lahan-lahan perkebunan baru dengan jalan penebangan hutan .
Harga Yang Harus Dibayar
Setidaknya ada “harga yang harus
dibayar mahal dari dampak kegiatan eksplorasi dan eksploitasi lingkungan hidup.
Harga sosial-ekonomi, dan harga psikologis. Seberapa besar hasil eksploitasi
lingkungan memberikan dampak signifikan pada perbaikan keadaan perekonomian.
Atau malah sebaliknya, dengan adanya pengelolan Sumber Daya Alam keadaan negara
dan kehidupan masyarakat semakin terpuruk saja. Karena tenaga pengelola dan
investor adalah orang-orang asing. Papua yang seharusnya menjadi daerah terkaya
di Indonesia. Kini keadaanya berbanding terbalik. Papua menyabet “penghargaan”
di tingkat nasional dengan kategori daerah termiskin di indonesia, risiko
kematian dan penyakit tertinggi di Indonesia dan kekerasan oleh tentara
tertinggi di seluruh indonesia.
Daerah yang terisolasi dan
“terpinggirkan”, kadangkala hal ini dirasakan dan di ungkapkan oleh daerah tertentu di Indonesia. Sebagai daerah
kaya akan sumber daya alam dan sebagai daerah penyumbang Pendapatan Nasioanal di level atas. Tetapi
pembangunan daerah terklasifikasi sangat lamban. Bahkan menjadi daerah
tertinggal jika di banding dengan daerah-daerah lain. Kemudian menimbulkan
keadaan psikologis yang mengasumsi bahwa negara tidak bisa berbuat adil. Dari rasa yang tidk adil itu kemudian muncul
gerakan sparatis seperti di sulawesi,
papua, aceh dan daerah lain. Ada juga daerah di indonesia yang akhirnya sudah
lepas dari Republik ini.
Gerakan sparatis muncul kadang kala
di picu oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap terhadap emerintahan yang ada.
Pemerintah di anggap ”gagal” dalam menjalankan roda pemerintahan. Diversifikasi pendapatan nasional yang
di frame dalam APBN ternyata dianggap
pendistribusiannya dianggap tidak merata dan tak adil. Dearah yang memberikan
kontribusi tinggi untuk menopang kas negara ternyata imbal baliknya tidak
sesuai. Lebih kronis, daerah bersangkutan malah terklasifikasi dalam daerah
miskin dan daerah tertinggal.
Mulai Dari Hal Kecil
Mulai
dari diri sendiri, mulai dari hal kecil, dan mulai dari sekarang. Penulis
meminjam kata dari ustadz kondang Aa Gym. Ketika ingin membuat berubahan besar
maka yang paling penting adalah membuat perubahan-perubahan kecil di level
individu. Begitu pula untuk mengawal dalam rangka menjaga lingkunagn hidup.
Maka arus dilakukan dari hal yang kecil seperti membuang sampah tempatnya,
mendaur ulangnya, dan menjaga kebirsihan. Karena kebersihan merupakan bagian
dari iman. Kalau bukan kita siapa lagi yang mau perduli dengan liingkungan?
Kalau tidak dari sekarang lalu kapan lagi kita open dengan alam?
Bagikan
opiniku yang tak terbit: MELEK LINGKUNGAN HIDUP
4/
5
Oleh
Lukman Hakim