Lukman Hakim (uman al-hakim)
Mahasiswa Perbankan
Syari’ah
STAIN Jurai Siwo Metro
BANK SYARI’AH DAN REALITASNYA
Dalam satu
setengah dekade ini sektor bank syari’ah menunjukan
perkembangan yang sangat signifikan di jagad perbankan Indonesia. Hal ini di
tandai dengan bermunculanya bank umum syari’ah (BUS), Unit Usaha Syari’ah (UUS)
yaitu bank konvensional yang yang membuka cabang unit syari’ah, atau munculanya
Baitul Mal Wat tamwil (BMT) yang bagaikan rambut yang tumbuh di kepala.
Padahal di awal berdirinya bank syari’ah di Indonesia
yaitu bank Muamalat Indonesia (BMI). Perkembangannya cenderung stagnan sampai terjadi krisis keuangan
yang mengakibatkan krisis multi-dimensi dan berimbas pula pada banyaknya
bank-bank yang di tutup oleh pemerinth. Akan tetapi, terjadinya krisis ini
tidak memiliki dampak yang berarti untuk Bank Muamalat Indonesia. BMI tetap
berdiri kokoh dan semakin eksis dalam dunia perbankan di Indonesia.
Dengan fakta yang ada pada saat itu, bahwa bank syari’ah
dapat bertahan dari terpaan krisis yang menghancurkan sendi-sendi ekonomi dan
berbagai aspek kehidupan. Bank konvensionl mulai melirik bisnis dari bank
syari’ah yaitu dengan mendirikan Unit Usaha Syari’ah (UUS) yang hal ini di dukung
dan di kuatkan oleh UU. No.10 tahun 1998.
Fungsi dari bank
secara umum, dan bank syari’ah sendiri yaitu untuk memudahkan
pihak yang surplus dana untuk menyimpan dananya dan kemudian bank
syari’ah sebagai penerima dana dan pengelola kemudian menyalurkan dana tersebut
kepada pihak yang defisit dana yang
tujuannya adalah untuk modal usaha. Dengan fungsi bank sebagai pihak intermediasi ini, nasabah
yang menyimpan uangnya akan merasa aman. Dengan menyimpan uang di bank
syari’ah, nasabah akan memperoleh keutungan yang di tentukan oleh bank dengan
di putarnya dana yang di titipkan di bank. Begitu pula dengan nasabah yang defisit dana. Nasabah tersebut dapat dengan
mudah mengakses dana untuk tambahan modal dai usaha yang dijalankan. Dengan bertambahnya
modal usaha, maka implikasinya adalah bertambanya pendapatan yang didapatkan oleh
nasabah tersebut. Akhrinya akan
sama-sama menguntungkan dari kedua belah pihak, baik bank syari’ah atau
nasabah.
Menawarkan Prinsip Loss And Profit Sharing
Bank syari’ah dalam menjalankan bisnisnya tidak berpatokan
dan tidak menggunakan suku bunga sebagai faktor penentu dalam
pendapatkan keuntungan atau dalam penyaluran kredit
seperti halnya bank konvensional. Melainkan bank syari’ah menggunakan prinsip loss and profit sharing (berbagi
keuntungan dan kerugian). Dengan adanya prinsip ini maka tidak akan terjadi
perbuatan menganiaya dan dianiaya, zalim, saling merugikan, saling di curangai
serta ketidak adilan dari kedua belah pihak yang melakukan kerja sama. Karena
jika hasil dari realisasi usaha di sektor riil memperoleh kerugian maka akan di
tanggung oleh
bank dan nasabah. Begitu pula jika relisasi dari usaha yang di kerjakan memperoleh
keuntungan maka keuntungan di bagi dengan ketentuan yang di sepakati. Atau dapat
pula di tentukan oleh pihak bank pada saat bank ingin membagi hasil kepada
nasabah deposan.
Mungkin terdengar
lucu, aneh, dan tak dapat di terima oleh akal jika bank menerapkan prinsip loss and profit sharing
dalam usaha kesehariannya. Tetapi,
hal itulah yang memang di terapkan oleh bank syari’ah.
Dalam suatu proyek atau usaha, yang di harapkan
pasti laba bukan rugi. Akan tetapi, dengan prinsip seperti itu malah bank
syari’ah dapat bertahan dari terjangan krisis yang terjadi tahun 1997/1998. Seperti dalam sejarah dan fakta yang telah ada. Begitu pula saat terjadi krisis yang menimpa Amerika Serikat dan
beberapa Negara di Eropa pada tahun 2008. Lagi-lagi bank syari’ah menunjukkan
eksistensi dan ketangguhannya untuk menghadapi krisis yang terjadi.
Berpihak Pada Sektor Riil
Pembiayaan atau penyaluran dana atau kredit dari bank
syari’ah di tujukan untuk usaha sektor riil. Tidak kemudian seperti bank
konvensioal yang banyak melakukan permainan di sektor keuangan tanpa
memperhatikan sektor riil. Salah satu keunggulan bank syari’ah dalam
memanajemen risiko kerugian dan kegagalan dalam menyalurkan kreditnya yaitu
terkait pembiayaan/ kredit di sektor riil.
Dengan pembiayaan
yang di gunakan untuk usaha-usaha riil maka bank syari’ah bisa membuat proyeksi
bagaimana hasil usaha yang dijalankan. Walaupun usaha itu selalu dihadapkan pada dua output, kalau tidak untung ya rugi. Tetapi indentifikasi terjadinya
risiko dapat dibaca dengan mudah. Kemudian setelah diketahui risiko-risiko yang
mungkin terjadi maka langkah selanjutnya adalah penentuan planing-planing solusi yang
akan dilakukan untuk mengantisipasi risiko.
Time
Value of Money
Vs
Economic Value of Time
Dalam konsep ekonomi yang di kemukakan
oleh tokoh kapitalis Adam Smith uang adalah sebuah komoditas yang nilainya akan
lebih tinggi hari ini di banding dengan hari kemudian. Pernyataan ini dikemukakan
berdasarkan inflasi yang terjadi sepanjang periode tertentu. Paradigma ini
mengabaikan terjadinya deflasi. Padahal pada periode-periode tertentu sangat
memungkinkan terjadi deflasi yang
diakibatkan oleh banyak faktor .
Uang yang hari ini bisa digunakan untuk
konsumsi hari ini, harus di relakan digunakan pada waktu mendatang untuk
investasi. Konsekuensi dari hal ini menimbulkan uang harus di tambah dalam
jumlah yang lebih banyak di waktu yang akan datang.
Paradigma time value of money inilah yang kemudian
memunculkan konsep suku bunga dalam ekonomi konvensional. Dalam suatu usaha
yang menerapkan suku bunga, tidak di perhatikan hasil dari realisasi suatu
modal usaha yng di putar untuk usaha yang ada. Tetapi, apapun yang terjadi,
baik itu mendapat laba ataukah tidak maka pemnjam harus mengembalikan sesuai
dengan jumlah yang d pinjam beserta hasil dari bunga dalam jangka waktu
tertentu. Begitu pula yang terjadi di perbankan konvensional. Hal ini
memberatkan bagi pihak yng membutuhkan dana. Bhkan bisa membunuh
perlahan-lahan.
Dalam suatu bisnis selalu muncul tiga
kemungkinan terkait dengan hasil usaha. Positif return (untung), Break event
Point (tidak untung/tidak rugi), atau negatif return (rugi). Dalam konsep konvensional, baik ekonomi
maupun bank. BEP dan negatif return diabaikan. Karena yang ada bisnis yang
dijalankan selalu akan membuahkan hasil tanpa memandang fakta sebenarnya yang
terjadi.
Dua hal yang di tolak dalam konsep
time value of money oleh ekonomi syari’ah yaitu pertama, mendapat hasil yang besar yang tidak di imbangi dengan
risiko yang besar pula. Seperti di ketahui bahwa hasil akan berbanding lurus
dengan risiko yang dihadapi. Kedua, mendapatkan
hasil tanpa bekerja. Siapa pun menolak dengan konsep ini, mungin bagi pemilik
modal itu merupakan suatu hal yang sangat menguntungkan. Tapi disisi lain, bagi
pekerja, buruh, karyawan, yang notabene mereka hanya berkontribusi keahlian dan
tenaga maka hal itu sangat merugikan.
Dengan penolakan dari islam, kemudian
mereka menawarkan konsep economic value of time. Dalam konsep ini di nyatakan
bahwa suatu nilai ekonomi di tentukan oleh bagaimana kegiatan ekonomi itu
memanfaatkan waktu yang ada agar produktif.
Semakin banyak waktu yang
digunakan untuk bekerja maka hasilnya pun akan semakin banyak. Dalam dunia
perbankan pun seperti tu, bank akan memberikan bagi hasil yang besar jika hasil
yang diperolehnya pun besar. Sebaliknya, jika rugi yng dipeoleh makan
pembagiannya pun akan di tentukan dengan kontribusi yang dilakukan.
Bagikan
opiniku yang tak terbit: BANK SYARI’AH DAN REALITASNYA
4/
5
Oleh
Lukman Hakim