Thursday, November 28, 2013

opiniku yang tak terbit: BANK SYARI’AH DAN REALITASNYA



Lukman Hakim (uman al-hakim)
Mahasiswa Perbankan Syari’ah
STAIN Jurai Siwo Metro
BANK SYARI’AH  DAN REALITASNYA                                                                            

Dalam satu setengah dekade ini sektor bank syari’ah menunjukan perkembangan yang sangat signifikan di jagad perbankan Indonesia. Hal ini di tandai dengan bermunculanya bank umum syari’ah (BUS), Unit Usaha Syari’ah (UUS) yaitu bank konvensional yang yang membuka cabang unit syari’ah, atau munculanya Baitul Mal Wat tamwil (BMT) yang bagaikan rambut yang tumbuh di kepala.
 
Padahal di awal berdirinya bank syari’ah di Indonesia yaitu bank Muamalat Indonesia (BMI). Perkembangannya cenderung stagnan sampai terjadi krisis keuangan yang mengakibatkan krisis multi-dimensi dan berimbas pula pada banyaknya bank-bank yang di tutup oleh pemerinth. Akan tetapi, terjadinya krisis ini tidak memiliki dampak yang berarti untuk Bank Muamalat Indonesia. BMI tetap berdiri kokoh dan semakin eksis dalam dunia perbankan di Indonesia.

Dengan fakta yang ada pada saat itu, bahwa bank syari’ah dapat bertahan dari terpaan krisis yang menghancurkan sendi-sendi ekonomi dan berbagai aspek kehidupan. Bank konvensionl mulai melirik bisnis dari bank syari’ah yaitu dengan mendirikan Unit Usaha Syari’ah (UUS) yang hal ini di dukung dan di kuatkan oleh UU. No.10 tahun 1998.

Fungsi dari bank secara umum, dan bank syari’ah sendiri yaitu untuk memudahkan pihak yang surplus  dana untuk menyimpan dananya dan kemudian bank syari’ah sebagai penerima dana dan pengelola kemudian menyalurkan dana tersebut kepada pihak yang defisit dana yang tujuannya adalah untuk modal usaha. Dengan fungsi bank sebagai pihak intermediasi ini, nasabah yang menyimpan uangnya akan merasa aman. Dengan menyimpan uang di bank syari’ah, nasabah akan memperoleh keutungan yang di tentukan oleh bank dengan di putarnya dana yang di titipkan di bank. Begitu pula dengan nasabah yang defisit dana. Nasabah tersebut dapat dengan mudah mengakses dana untuk tambahan modal dai usaha yang dijalankan. Dengan bertambahnya modal usaha, maka implikasinya adalah bertambanya pendapatan yang didapatkan oleh nasabah tersebut. Akhrinya akan sama-sama menguntungkan dari kedua belah pihak, baik bank syari’ah atau nasabah.

Menawarkan Prinsip Loss And Profit Sharing

Bank syari’ah dalam menjalankan bisnisnya tidak berpatokan dan tidak menggunakan suku bunga sebagai faktor penentu dalam pendapatkan keuntungan atau dalam penyaluran kredit seperti halnya bank konvensional. Melainkan bank syari’ah menggunakan prinsip loss and profit sharing (berbagi keuntungan dan kerugian). Dengan adanya prinsip ini maka tidak akan terjadi perbuatan menganiaya dan dianiaya, zalim, saling merugikan, saling di curangai serta ketidak adilan dari kedua belah pihak yang melakukan kerja sama. Karena jika hasil dari realisasi usaha di sektor riil memperoleh kerugian maka akan di tanggung oleh bank dan nasabah. Begitu pula jika relisasi dari usaha yang di kerjakan memperoleh keuntungan maka keuntungan di bagi dengan ketentuan yang di sepakati. Atau dapat pula di tentukan oleh pihak bank pada saat bank ingin membagi hasil kepada nasabah deposan.
 Mungkin terdengar lucu, aneh, dan tak dapat di terima oleh akal jika bank menerapkan prinsip loss and profit sharing dalam usaha kesehariannya. Tetapi, hal itulah yang memang di terapkan oleh bank syari’ah. Dalam suatu proyek atau usaha,  yang di harapkan pasti laba bukan rugi. Akan tetapi, dengan prinsip seperti itu malah bank syari’ah dapat bertahan dari terjangan krisis yang terjadi tahun 1997/1998. Seperti dalam sejarah dan fakta yang telah ada. Begitu pula saat terjadi krisis yang menimpa Amerika Serikat dan beberapa Negara di Eropa pada tahun 2008. Lagi-lagi bank syari’ah menunjukkan eksistensi dan ketangguhannya untuk menghadapi krisis yang terjadi.

Berpihak Pada Sektor Riil
Pembiayaan atau penyaluran dana atau kredit dari bank syari’ah di tujukan untuk usaha sektor riil. Tidak kemudian seperti bank konvensioal yang banyak melakukan permainan di sektor keuangan tanpa memperhatikan sektor riil. Salah satu keunggulan bank syari’ah dalam memanajemen risiko kerugian dan kegagalan dalam menyalurkan kreditnya yaitu terkait pembiayaan/ kredit di sektor riil.
 Dengan pembiayaan yang di gunakan untuk usaha-usaha riil maka bank syari’ah bisa membuat proyeksi bagaimana hasil usaha yang dijalankan. Walaupun usaha itu selalu dihadapkan pada dua output, kalau tidak untung ya rugi. Tetapi indentifikasi terjadinya risiko dapat dibaca dengan mudah. Kemudian setelah diketahui risiko-risiko yang mungkin terjadi maka langkah selanjutnya adalah penentuan planing-planing  solusi yang akan dilakukan untuk mengantisipasi risiko.

Time Value of Money
Vs Economic Value of Time
Dalam konsep ekonomi yang di kemukakan oleh tokoh kapitalis Adam Smith uang adalah sebuah komoditas yang nilainya akan lebih tinggi hari ini di banding dengan hari kemudian. Pernyataan ini dikemukakan berdasarkan inflasi yang terjadi sepanjang periode tertentu. Paradigma ini mengabaikan terjadinya deflasi. Padahal pada periode-periode tertentu sangat memungkinkan  terjadi deflasi yang diakibatkan oleh banyak faktor .
 Uang yang hari ini bisa digunakan untuk konsumsi hari ini, harus di relakan digunakan pada waktu mendatang untuk investasi. Konsekuensi dari hal ini menimbulkan uang harus di tambah dalam jumlah yang lebih banyak di waktu yang akan datang.
Paradigma  time value of money inilah yang kemudian memunculkan konsep suku bunga dalam ekonomi konvensional. Dalam suatu usaha yang menerapkan suku bunga, tidak di perhatikan hasil dari realisasi suatu modal usaha yng di putar untuk usaha yang ada. Tetapi, apapun yang terjadi, baik itu mendapat laba ataukah tidak maka pemnjam harus mengembalikan sesuai dengan jumlah yang d pinjam beserta hasil dari bunga dalam jangka waktu tertentu. Begitu pula yang terjadi di perbankan konvensional. Hal ini memberatkan bagi pihak yng membutuhkan dana. Bhkan bisa membunuh perlahan-lahan.
Dalam suatu bisnis selalu muncul tiga kemungkinan terkait dengan hasil usaha. Positif return (untung), Break event Point (tidak untung/tidak rugi), atau negatif return (rugi).  Dalam konsep konvensional, baik ekonomi maupun bank. BEP dan negatif return diabaikan. Karena yang ada bisnis yang dijalankan selalu akan membuahkan hasil tanpa memandang fakta sebenarnya yang terjadi. 
Dua hal yang di tolak dalam konsep time value of money oleh ekonomi syari’ah yaitu pertama, mendapat hasil yang besar yang tidak di imbangi dengan risiko yang besar pula. Seperti di ketahui bahwa hasil akan berbanding lurus dengan risiko yang dihadapi. Kedua, mendapatkan hasil tanpa bekerja. Siapa pun menolak dengan konsep ini, mungin bagi pemilik modal itu merupakan suatu hal yang sangat menguntungkan. Tapi disisi lain, bagi pekerja, buruh, karyawan, yang notabene mereka hanya berkontribusi keahlian dan tenaga maka hal itu sangat merugikan.
Dengan penolakan dari islam, kemudian mereka menawarkan konsep economic value of time. Dalam konsep ini di nyatakan bahwa suatu nilai ekonomi di tentukan oleh bagaimana kegiatan ekonomi itu memanfaatkan waktu yang ada agar produktif.   Semakin banyak waktu yang digunakan untuk bekerja maka hasilnya pun akan semakin banyak. Dalam dunia perbankan pun seperti tu, bank akan memberikan bagi hasil yang besar jika hasil yang diperolehnya pun besar. Sebaliknya, jika rugi yng dipeoleh makan pembagiannya pun akan di tentukan dengan kontribusi yang dilakukan.



Bagikan

Jangan lewatkan

opiniku yang tak terbit: BANK SYARI’AH DAN REALITASNYA
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.