Oleh Lukman Hakim (Pegiat Diskusi Majelis Kamisan
Cangkir)
Terbit di Pojoksamber.com pada 30 Desember 2014
Kasus
minuman keras (miras) oplosan yang banyak merenggut nyawa, rupanya tak memberi
efek jera bagi para pelakunya. Awal Desember lalu, kita dikejutkan dengan
puluhan korban tewas akibat miras oplosan di Sumedang dan Garut, disusul lagi
dengan beberapa korban di Probolinggi dan Yogyakarta.
Miras
berhasil menghipnotis para generasi muda kita untuk menikmati hidup dengan cara
yang keliru, mereka rata-rata berpikir dan yakin bisa melupakan segala masalah
hidup yang menjejali mereka dengan menenggak minuman haram tersebut. Beban
hidup, mulai dari susahnya mencari pekerjaan hingga tak jelasnya orientasi
hidup, membuat mereka menafsir sendiri kegagahan dan keperkasaan dengan cara instan.
Budaya
individualistik dan hedonis, disamping faktor lain seperti frustasi massal
tentang kesusahan hidup, menjadikan mereka berpikir pendek untuk bisa menikmati
hidup, miras ditenggak, dinikmati merasa nyaman dan fly menurut mereka
lebih baik daripada tidak pernah bisa menikmati hidup sama sekali, miras adalah
pelarian dari hiruk pikuk lalu lintas kehidupan yang semakin padat dan
menyiksa.
Namun,
alih-alih ingin fly dan bisa
menikmati hidup, yang didapat malah nyawa lepas dari badan. Padahal banyak kasus
yang seharusnya bisa menjadi pelajaran berharga agar orang yang suka mengonsumsi
minuman keras segera ‘taubat’. Ingat bahwa maut lebih dekat kepada mereka yang
hobinya berpesta pora dengan miras. Lalu, apakah mengonsumsi miras memberi
nilai manfaat yang lebih besar dibanding dengan mudharatnya? Kenyataannya manfaat yang diperoleh tak lebih banyak
dari efek negatif yang timbul pasca meminum miras.
Miras
berguna untuk menghangatkan badan, untuk pengobatan yang digunakan dengan kadar
tertentu dan tak sampai memabukkan. Manfaat miras sebagai penghangat badan
biasanya digunakan oleh orang-orang yang hidup di negara beriklim dingin.
Faktanya Indonesia adalah negara tropis yang tak mungkin mengamali musim salju
dengan suhu dibawah nol derajat. Sedingin apapun Indonesia, cukup berbalut
jaket dan selimut maka rasa dingin memudar dengan sendirinya.
Orang
mabuk berpotensi melakukan perbuatan diluar kontrol karena akal sehatnya hilang
terbawa oleh minuman yang ditenggak. Berbicara tanpa kontrol, bertindak diluar
kendali berpotensi menimbulkan kekacauaan. Terlebih orang dalam keadaan mabuk
tidak gentar dengan apapaun dan siapapun yang ada dihadapannya. Sehingga akan
mudah terprovokasi dan bertindak seperti robot dengan satu komando. Perintah
tendang maka menendang, disuruh bakar maka akan membakar, apapun yang memancing
adrenalin akan dilaksanakan sesuai perintah walaupun melanggar aturan dan norma
yang berlaku.
Pelarangan
Islam dalam mengonsumsi minuman keras atau khamr
dilakukan secara periodik, tidak lantang menolak dan mengharamkan miras sacara
langsung karena akan terjadi pergolakan dan penentangan. Karena kultur bangsa
arab pada saat itu sangat dekat dengan minuman keras, minuman keras adalah menu
wajib konsumsi setiap hari yang telah
menjadi bagian dan gaya hidup.
Pelarangan
pertama dilakukan dengan menyatakan bahwa dosa peminum khamr jauh lebih besar dari manfaat yang didapat. Selanjutnya
dilarang mengerjakan sholat jika seseorang dalam keadaan mabuk. Karena orang
yang mabuk akan hilang kesadaran, sedangkan sholat harus dilakuakan secara
sadar karena terjadi komunikasi vertikal pencipta dan hamba. Dan tahap terakhir pelarangan minuman keras menyatakan
secara tegas bahwa orang yang meminum minuman keras telah perbuatan keji dengan
menuruti hawa nafsu setan.
Agama
samawi lain pun sama dalam memandang hukum mengonsumsi minuman keras dengan
berbagai dampak inheren miras. Hukum di Indonesia juga telah mengatur berkaitan
pengadaan dan pendistribusian minuman beralkohol. Tetapi kadang pemerintah
kecolongan karena tindak kekerasan yang timbul akibat dibawah pengaruh minumn
keras tak dapat dihindarkan.
Berbagai
adegan saru yang dianggap seru untuk segelinter orang mengundang keprihatinan
bersama. Dimana moralitas sebagai bangsa timur yang menjunjung nilai dan norma
masyarakat mulai luntur. Ataukah nilai-nilai itu memudar sebagai akibat
perkembangan teknologi dan pengaruh zaman yang semakin gila sehingga terjadi
pergesaran moralitas yang menganggap miras itu barang yang lumrah untuk
dikonsumsi.
Tidakkah
keresahan dalam diri mengusik untuk ikut berbuat dalam memerangi minuman keras
yang merajalela. Membangun basis kesadaran masyarakat tentang bahaya
mengonsumsi miras, membekali kaum muda dengan pengetahuan dan penanaman
nilai-nilai kebajikan.
Bukankah
pemerintah sudah memiliki setumpuk payung hukum terkait produksi dan distribusi
minuman keras. Masyarakatlah yang kemudian harus mengawal regulasi yang telah
dibuat oleh pemerintah. Masyarakat harus turut aktif dalam mencegah kebrutalan
minuman keras bukan sebaliknya malah pro aktif sebagai penikmat minuman keras.
Pemberian
sanki tegas bagi para pelaku pembuat dan penjual miras harus sama tegasnya
dengan penolakan memberi grasi bagi para pengedar dan bos narkoba. Selain
dengan pemberian sanki oleh masyarakat dilingkungan dimana pelaku berada.
Sembari
menunggu hasil dari penegakan kebijakan yang telah ada, sudah saatnya juga kita
berpikir bagaimana memaksimalkan potensi generasi muda kita sehingga mereka
tidak menjadi orang yang dipersalahkan secara sepihak, sikap bersama untuk
saling membantu menafsir tujuan hidup dan meretas kebuntuan masa depan generasi
muda adalah tanggungjawab kita semua.
Bagikan
Miras, Seru atau Saru?
4/
5
Oleh
Lukman Hakim