Lukman Hakim
Peminat Kajian Sejarah
|
Wawancara penulis Bersama Mbah Romlah
|
Peristiwa G-30-S menyisakan beragam cerita dan kenangan dalam ingatan mereka
yang pernah menjadi bagian di dalamnya. Lakon Geger 65 yang telah berakhir,
kini meninggalkan sepenggal cerita dari orang-orang yang pernah hidup bersama
peristiwa tersebut.
Desa Negeri Tua Kecamatan Marga Tiga Kabupaten Lampung Timur adalah salah
satu desa yang menjadi bagian dari riuh−senyap geger 65 yang menyisakan banyak
tanda tanya bagi rakyat Indonesia. Cerita tentang peritiwa 65 yang terjadi di
Desa Negeri Tua, seperti yang ditututurkan oleh Suwarno,
bahwa masyarakat yang dianggap terlibat yaitu masyarakat yang ada di Dusun Kota
Banyu Bawah, dan salah satu RT di Dusun 1 Menanga Sari yang terkenal dengan
sebutan Palis.
Penangkapan terhadap orang-orang yang tertuduh sebagai anggota Partai Komunis
Indonesia (PKI) karena mereka bergabung dengan organisasi yang teralifiasi
dengan organisasi PKI seperti bergabung dengan organisasi Gerakan Tani
Indonesia (GTI), Barisan Tani Indonesia (BTI) atau Lembaga Kebudayaan Rakyat
(LEKRA).
Bergabungnya masyarakat Kota Banyu dengan BTI dan GTI karena diiming-imingi
sejumlah beberapa hektar tanah oleh pengurus PKI. Masyarakat Dusun 4 dan 5 Tulung
Aman tidak berminat untuk bergabung dengan BTI dan GTI karena kalkulasi hasil
panen mereka selama satu tahun sudah cukup untuk membeli satu hektar tanah.
Sebanyak 32 orang dari Dusun Kota Banyu Bawah menjadi tahanan politik, dan
4 orang dari Palis Dusun 1 Desa Negeri Tua. Mereka yang berasal dari Kota Banyu yang
diangggap terlibat yaitu Pondrio, Cikri, Sakri, Sakip, Sutiman, Tukiman, Diryo,
Jiman, Suji dan beberapa nama yang tidak diketahui namanya. Sedangkan 4 orang
yang berasal dari Palis yaitu Marsono, Wagio, Wagino dan satu nama yang tak
dapat diingat. Itulah nama-nama yang dalam ingatan Suwarno, mereka menjadi
tahanan politik yang ditahan mulai dari 10 bulan atau ada yang mencapai 6 tahun
kurungan penjara.
Orang-orang di Desa Negeri Tua masuk dalam kategori tahanan politik (Tapol)
C yaitu mereka yang sekedar menjadi anggota massa PKI atau organisasi yang
teralifiasi, tanpa memerankan tugas aktif kepemimpinan. Warga yang terlibat
dalam GTI, BTI dan LEKRA adalah orang-orang yang berasal dari desa tetangga,
Desa Mekar Sari yang kemudian pindah ke Dusun Kota Banyu untuk membuka tanah tinggal
dan tanah garapan.
|
Wawancara penulis Bersama Mbah Suwarno |
Romlah,
salah warga Dusun Kota Banyu menuturkan, sebelum pecah peristiwa 30 September 1965, jumlah warga Kota
Banyu Atas dan Bawah mencapai 400
kepala keluarga. Wilayahnya pun tak terpisah seperti sekarang ini. Dari Kota
Banyu Atas sampai Kota Banyu bawah atau sebaliknya penuh dengan rumah, pekarangan
yang sekarang kosong pun dulu penuh terisi oleh rumah-rumah warga. Rumah warga
tidak hanya berada di tepi jalan utama, tetapi berderet juga ke belakang, ada
dua atau tiga jalur ke belakang rumah warga berbaris rapi. Setelah pecahnya
peristiwa G-30-S, warga
memutuskan untuk pergi meninggalkan dusun ini dan pindah ke daerah lain.
Sebagian dari mereka masih bertahan, seperti Romlah dan beberapa warga lain.
Romlah yang masuk ke Dusun Kota Banyu pada tahun 1962, menceritakan tentang
zaman gilang yang melanda di tahun 1961. Zaman Gilang yaitu paceklik yang tingkat keparahannya terberat
sepanjang peceklik yang pernah dialami oleh Romlah. Pada waktu paceklik gilang melanda, orang-orang
membeli pohon aren, kemudian dibuka batangnya untuk diambil isi batang, dan
ditumbuk untuk diambil acinya sebagai bahan makanan. Pada paceklik tahun 1961, orang-orang sangat kesulitan mencari bahan
makanan seperti mencari gaplek,
apalagi beras.
Sewaktu paceklik gilang, Romlah
berada di Desa Sambi Karto Kecamatan Sekampung. Musim kemarau pada saat itu berlangsung
sampai 7 bulan sehingga para warga kesulitan untuk mencari bahan makanan.
Kemudian terjadi musim paceklik
tahun 1963, tepatnya setelah Romlah tinggal 1 tahun di Desa Negeri Tua Kecamatan
Marga Tiga. Di musim paceklik tahun 1963,
masyarkat di Dusun Kota Banyu tidak merasakan kekhawatiran seperti paceklik sebelumnya. Haji Abdullah,
salah seorang warga di Desa Negeri Tua memiliki peladangan singkong yang luas,
kemudian singkong-singkong itu dibuat gaplek
oleh masyarakat.
Sepanjang Kota Banyu Atas sampai perbatasan kali sesek−perbatasan antara
Dusun Kota Banyu dan Desa di Kecamatan Sekampung−hampir semua ladang Haji
Abdullah ditanami singkong. Dan orang-orang ikut nggaplek, dalam setengah hari orang-orang akan merasa lelah jika
memanen sepuluh batang pohon karena singkong yang subur dan besar buahnya.
Singkong yang dihasilkan ladang Haji Abdullah besarnya mencapai paha orang
dewasa.
Orang yang ikut nggaplek tidak
hanya warga di Dusun Kota banyu, tetapi
ada juga dari Desa Sambi Karto, Sumber Sari, setiap orang yang mendengar pembuatan
gaplek maka mereka berbondong-bondong
ikut. Haji Dullah begitu panggilan akrab Haji Abdullah, membagi setengah bagian
antara dirinya dan orang yang ikut membuat gaplek.
Sebelum dibuka menjadi dusun di Desa Negeri Tua, peladangan di Dusun Kota
Banyu adalah milik Haji Abdullah, tapi karena akan dijadikan sebuah dusun,
kemudian Haji Dullah mengapling dan menjual kepada masyarakat yang baru pindah
ke Dusun Kota Banyu.
Setelah geger 65, seluruh masyarakat di Kota Banyu Bawah ditangkap karena
dianggap terlibat dalam peristiwa G-30-S.
sedangkan masyarakat di Kota Banyu Atas tidak ditangkap karena memiliki kartu
anggota warga Nahdatul Ulama (NU).
Sebelum kabar berhembusnya PKI, pemimpin Suriah NU, Masrur dari Desa Sumber
Sari Kecamatan Sekampung, yang merupakan anak dari bibinya Romlah telah dulu
menginisiasi dibuatnya kartu tanda pengenal anggota NU untuk berjaga-jaga. Mbah
kyai Tresno yang saat itu menjabat sebagai Majelis Wakil Cabang Nahdhatul Ulama
(MWCNU) Sekampung juga mendukung pembuatan kartu tanda anggota tersebut.
Masyarakat Kota Banyu Atas kebanyakan adalah orang-orang pindahan dari desa
tetangga seperti Sumber Sari, Mekar sari sehingga kebanyakan adalah santri dari
pondok di Sekampung. Hubungan antara orang-orang di Kota Banyu Atas dan
pengurus NU di Sekampung terjalin dengan baik sehingga masyarakat Kota Banyu
Atas tidak ada yang tertuduh sebagai anggota PKI.
Kesenian Obrok adalah salah satu kesenian yang berkembang pesat di Dusun
Kota Banyu Bawah pada tahun 1964-1965. Kesenian obrok dianggap terlibat dalam
peristiwa 65 karena terafiliasi dengan PKI. Obrok adalah kesenian sejenis
wayang orang, dimana muatan tampilannya sering menyindir pemerintah.
Kerno adalah salah satu pegiat kesenian obrok di Kota Banyu Bawah. Pada akhirnya
Kerno tidak berstatus eks-PKI karena tidak turut tanda tangan dalam pengakuan
dan pembubaran PKI di daerah setempat.
Suatu malam pada tahun 1965, Romlah bersama suami memutuskan pulang karena
tidak tertarik dengan penampilan kesenian obrok. Ketika menuju rumah, Romlah
bertemu beberapa polisi di kali watu untuk mencari orang-orang yang sedang
berjudi di sana. Kali watu merupakan sebuah kali kecil yang saat musim kemarau
kering tidak ada air mengalir, kali watu memisahkan antara Kota Banyu Atas dan
Kota Banyu Bawah.
Di dekat rumah Sakun, polisi bertanya kepada Romlah dan suaminya, “ada
Judi?”, “ada dibelakang”. Kemudian salah satu anggota polisi yang lain berbisik,
“jangan tanya-tanya”. Akhirnya beberapa polisi melanjutkan perjalanan menuju
penampilan kesenian obrok, sedangkan Romlah yang saat itu menggendong anakny yang
masih bayi, juga melanjutkan perjalanan menuju rumah bersama sang suami.
Tidak lama setelah sampai di rumah, pada saat itu tetangga Romlah, Mulyadi
sedang membuat atap masjid yang bahan bakunya ilalang. Mulyadi yang berada di
masjid sebelah barat rumah Romlah menyaksikan manusia berhamburan seperti semut
yang disiram air. Dan polisi yang menanyai Romlah sudah menggiring seluruh
anggota kesenian obrok dan membawa ke arah timur menuju mobil di seberang
jalan. Mereka semua ditangkap.
Peristiwa penangkapan anggota kesenian obrok ini terjadi mendekati geger
65. Setelah peristiwa penangkapan anggota kesenian obrok, tidak lama kemudian terdengar
kabar bahwa terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap para jenderal yang
mayatnya dimasukkan di lubang buaya.
Lagu genjer-genjer juga sering dinyanyikan di penampilan kesenian obrok, memang
lagu ini sudah banyak dinyanyikan dimana-mana. “Kesenian obrok juga nyanyi lagu
genjer-genjer”, jelas Romlah.
Seluruh masyarakat Kota Banyu Bawah tergabung dalam BTI dan diperintahkan
untuk menandatangi pembubaran PKI. Mereka kemudian diberi label eks-PKI, setiap hari mereka diperintahkan untuk
bergotong royong membangun jalan, ikut dalam pembangunan-pembangunan yang
dilakukan pemerinatah. Mereka semua dikenai wajib lapor.
Mereka yang dianggap eks-PKI kemudian keluar dari Dusun Kota Banyu, pergi
ke Menggala, Bawang putih, dan berbagai daerah untuk mencari hidup
masing-masing.
“Orang seperti saya, jika tidak teguh imannya maka ingin sekali untuk pergi
dari kampung ini. Tapi jika mau pergi, pergi kemana, semua keadaaan waktu itu
sama saja, mencekam, mengerikan”. Tegas Romlah. Dimana pun, waktu peritiwa 65,
Indonesia sedang geger. Jika malam
menjelang, orang-orang tidak dapat tidur karena was-was dengan berbagai
kejadian. Setiap malam selepas isya, polisi datang, terdengar suara sepatu “prok-prok-prok”,
dan tidak lama setelah itu ada warga yang di tangkap dan diangkut ke dalam
mobil yang terletak di ujung jalan sebelah timur, sekitar 400 meter dari lokasi penangkapan.
Polisi yang berjumlah sekitar 6 orang setiap malam datang untuk menagkap
warga di Dusun Kota Banyu
Bsawah. Mereka yang ditangkap, kemudian di tali seluruh tubuh
dan di lempar ke dalam mobil, pemandangan seperti
ini disaksikan setiap malam oleh masyarakat
Kota Banyu. Pemandangan seperti ini menyebabkan warga was-was untuk
melakukan aktifitas. Siang yang harusnya bekerja, tapi masyarakat enggan
melakukannya, masyarakat tidak enak makan, tidak semangat bekerja.
Masyarakat Kota Banyu Atas pernah diancam akan dibunuh oleh anggota PKI.
Algojo, pemuda rakyat sudah datang dari kali sesek menuju Kota Banyu Atas.
Karena Tuhan tidak berkehendak demikian maka masyarakat Kota Banyu akhirnya
selamat. Polisi datang dari arah barat, dari kali sesek dengan sergap polisi
menangkap orang-orang yang dianggap akan membunuh warga.
Banyak orang-orang Dusun Kota Banyu Bawah yang akhirnya tertuduh sebagai
orang yang terlibat dalam gerakan 30
september 1965. Tidak ada orang yang dibunuh, tapi kemudian ada orang yang
hilang pada rangkaian peritiwa Gestok
(Gerakan Satu Oktober). Mereka diibaratkan orang yang digigit, mereka tidak
berbuat salah, tapi mereka yang harus bertanggung jawab. Mereka yang
dihilangkan adalah Cikri dan Songko dari Dusun Kota Banyu. Cikri merupakan ketua PKI yang ada di
Dusun Kota Banyu Bawah, sedangkan Songko masuk dalam jajaran pengurus di PKI.
Ketua Barisan Tani Indonesia (BTI) berada di Desa
Bawang Putih. Di depan rumah ketua BTI, tertulis kata “USDEK” di geribik
rumahnya. Istilah USDEK lebih terkenal dengan Manipol/USDEK yang merupakan akronim dari Manifesto politik/Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia yang oleh
presiden Soekarno dijadikan sebagai haluan Indonesia.
Suasana di Desa Negeri Tua, utamanya Dusun Kota Banyu sangat mencekam.
Berbeda dengan masyarakat di kecamatan Sekampung yang dekat dengan kalangan
kyai dan para santri. Rasa susah, bingung membayangi setiap hari. Ketika
mendengar berita di radio soal geger 65, orang-orang merasa takut, khawatir dan
susah. Suasana mencekam saat geger 65 lebih terasa mengerikan jika dibandingkan
dengan pemberontakan PKI di tahun 1948 di Madiun.”Ketika di Madiun, masa kecil
dulu saya hanya lari ke sana ke mari dan tidak merasa segetir ini”, terang
Romlah.
Ada cerita menarik soal anggota Ansor, mereka tidak dipersenjatai dengan
pedang, badik atau senjata tajam. Saat itu, mereka membawa rotan sebagai
senjata yang dibawa menyisir mencari anggota PKI. Menurut penuturan Romlah,
rotan itu jika disabetkan ke rumah, maka rumah bisa terbakar. Rotan-rotan ini
kemudian ditarik oleh Kyai Joyo Ulomo seiring dengan surutnya isu tentang PKI.
Di sekampung, anak-anak di bawah umur di rekrut menjadi anggota pemuda
rakyat. Pemuda rakyat adalah sayap organisasi pemuda dari Partai Komunias Indonesia (PKI). “Perekrutan pemuda rakyat saya rasa ngawur karena melibatkan anak-anak di bawah umur”, jelas Romlah.