Ada yang berbeda dengan salat tarawih malam ini (1/6) di Masjid Nurul Iman Iringmulyo,
Kecamatan Metro Timur. Malam ke-7 ramadan, jamaah di masjid ini kedatangan tamu
istimewa dari Palestina. Beliau adalah Abu Anas, saya lupa nama aslinya, tapi
demikianlah penerjemahnya memperkenalkan Syekh dari palestina tersebut.
Kedatangan syekh tadi ke Indonesia seperti halnya tahun-tahun sebelumnya yaitu
untuk meminta doa, bantuan moril atau dukungan materil untuk rakyat Palestina.
Beberapa tahun terakhir saya ikut dalam pengajian para syekh yang mengisi
pengajian di masjid-masjid di Kota Metro. Isi pengajiannya tidak jauh dari topic
Masjid al-Aqsa, bahwa Masjid al-Aqsa adalah kiblat pertama umat islam dan
termasuk dalam tiga masjid yang memilki keistimewaan, selain Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Setiap tahun materi yang disampaikan sama, tentang Palestina dan Masjid
al-Aqsa tetapi disampaikan oleh orang yang berbeda.
Yang menjadi catatan saya malam ini adalah bukan tentang syekh yang mengimami
salat tarawih dan mengisi ceramah, bukan pula soal materi yang disampai tentang
keadaan rakyat Palestina dan kondisi masjid Al-Aqsa. Tetapi tentang panitia
yang menyelenggarakan acara tersebut yaitu Komite Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP).
Jamaah hampir satu jam mendengarkan ceramah tentang keadaan rakyat palestina.
Dari cermarah itu, Syekh Abu Anas hanya menyampaikan tidak lebih dari setengah
jam. Kemudian yang memegang kendali acara itu adalah penerjemah dari KNRP, panitia
ini mengajak para jamaah bersedekah untuk rakyat palestina. Yang membikin saya
tergelitik adalah, kesan “paksaan” bersedekah yang dilakukan oleh panitia
tersebut.
“Siapa yang ingin berinfak 20 juta?”. Begitu pertanyaan ini di ulang
berkali-kali oleh penerjemah dengan semangat berapi-api. Sampai pada akhirnya
orang ini menyerah karena tak ada satupun jamaah yang mengangkat tangan untuk
bersedekah dengan nominal itu.
Walaupun sebelumya telah diceritakan tentang anak yang duduk di sekolah
menengah pertama berani berkomitmen bersedekah 50 juta untuk rakyat Palestina.
Angka 20 juta mungkin dianggap tinggi oleh para jamaah. Terlebih dengan jalan paksaan
seperti itu.
Sebenarnya ada salah satu jamaah yang mengangkat tangan, tetapi karena tidak
terlalu tinggi angkatan tangannya sehingga tidak terlihat oleh si penerjemah. Lalu
tawaran berkomitmen−dalam bahasa penerjemah−20 juta berlalu. Si jamaah
sebenarnya berada tepat di sebelah kiri saya, tepat di kanan penerjemah.
Selanjutnya, dengan nada yang sama, yang masih saja bergelora, penerjemah
tadi menurunkan angka sedekahnya. Sekarang turun 50 persen dari tawaran pertama
ke angka 10 juta. “Ayo yang mau bersedekah 10 juta angkat tangannya.
Setelah diulang beberapa kali, tawaran komitmen 10 juta kepada jamaah,
akhirnya ada seorang jamaah yang ada di depan yang mengangkat tangan. Disusul oleh
seorang ibu yang ada di belakang. Kedua jamaah ini dipersilahkan ke depan untuk
diberi cindramata berupa sal dan gambar masjid Aqsa yang dibingkai rapi.
“Silahkan yang mau mengisi formulir komitmen, ini bukan hutang dan tidak
akan ditagih ketika mati. Saya sudah katakan hal ini kepada jamaah yang pernah
bertanya”, ujarnya si penerjemah.
“Silahkan isi, boleh 100 juta, 50 juta, 20 juta, 10 juta atau berapa
nominal yang anda mau. Dan membayarnya
terserah, boleh dicicil, boleh cash”,
lanjutnya tanpa memberi kesempatan jamaah untuk sekadar bertanya.
Ini adalah salah satu pernyataan yang menggelitik nalar saya. Jamaah diminta
mengisi u formulir komitmen yang disediakan panitia dengan nilai berapa pun,
dan dapat membayar kapanpun. Dan dikatakan ini tidak termasuk dalam hutang,
janji atau nazar.
Menurut saya ketika sesorang sudah berucap sesuatu, terlebih menuliskannya
dalam pernyataan, itu sudah termasuk dalam kategori janji. Dan bahwasanya
kewajiban yang memilki janji adalah memenuhinya. Terlebih janji ini berkenaan
dengan pemberian materi/sejumlah uang maka janji itu wajib ditunaikan. Menjadi kewajiban
ahli waris jika sampai pada waktu yang ditentukan di pemilik janji sudah
meninggal dan belum bisa memenuhinya.
Bukankah panitia KNRP bisa melakukan penghimpunan dana yang lebih elegan. Tetap
dengan sosialisasi tapi terkesan tidak memaksa seperti yang dilakukan malam ini. Memberikan nomor handphone KNRP agar para jamaah bisa bertanya soal Palestina dan terkait
penghimpunan dana dari KNRP. Memberikan nomor rekening bank kepada para jamaah
agar ketika ada yang berniat bersedekah langsung bisa di transfer via bank.
Saya melihat salah satu jamaah yang bersedekah 10 juta rupiah terlihat
enggan ketika di suruh berdiri untuk diberikan kenang-kenangan. Saya mengira
bahwa bapak ini tidak ingin terlihat pamer, maka saya tidak setuju dengan penghimpunan
sedekah dengan model “tembak langsung” yang dilakukan oleh KNRP.
Tapi dibalik ketidaksetujuan saya itu, ada hal yang saya setuju yaitu soal
bacaan surat setelah al-fatihah oleh Syekh Abu Anas. Apa itu? Blio tidak
terlalu panjang dalam membaca surat-surat al-Qur’an. Blio tau bahwa tidak semua
jamaah adalah orang yang suka dengan bacaan panjang, tidak semua jamaah adalah
anak-anak muda yang kuat berdiri berlama-lama.
Itu, menurut saya sangat pengertian, dan sangat keren. Wallahu a’lam.
Lukman Hakim
Pegiat
Waroeng Batja
Metro, 1 Juni 2017 pukul 22:40 WIB