Fenomena persekusi akhir-akhir ini
menjadi sorotan banyak pihak karena persekusi merupakan perbuatan yang melanggar
hak dan hukum. Sebut saja beberapa waktu lalu Dokter Fiera Lovita di Solok,
Sumatera Barat, mendapatkan teror dari orang yang tak dikenal di kediamannya.
Bahkan tidak hanya dirinya, keluarganya pun menjadi incaran tindakan persekusi
sehingga kepolisian harus turun tangan memberi rasa aman kepada Dokter Lovita
dan keluarganya.
Lalu, apakah persekusi itu?
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, persekusi adalah pemburuan
sewenang-wenang terhadap sesorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti,
dipersusah, atau ditumpas. Artinya pelaku persekusi mengabaikan nilai
kemanusian karena telah menganggu, membuat tidak nyaman, mengancam keamanan seseorang
atau kelompok orang.
Lebih menyedihkan lagi adalah
persekusi yang menimpa pemuda berumur 15 tahun berinisial PMA di Cipiang Muara,
Jakarta Timur pada Minggu, 28 Mei 2017 yang videonya menyebar di platform media sosial facebook. Kejadian ini berdekatan dengan tanggal 1 Juni yang
merupakan hari lahir pancasila. Lalu, apakah pihak-pihak yang melakukan
tindakan persekusi bisa dianggap sebagai warga Indonesia yang pancasilais?
Penulis anggap ini bisa menjadi momen renungan bersama menafsirkan kembali
makna pancasila sebagai dasar Negara kita.
Pertanyaanya, apa yang menyebabkan
kedua korban, Lovita dan PMA mengalami intimidasi, tekanan, bahkan perlakukan
represif yang dilakukan oleh pihak yang merasa tersinggung atau dirugikan.
Tidak lain adalah unggahan status mereka di media sosial yang dianggap
menyinggung salah satu pihak atau kelompok. Kemajuan teknologi memang seperti
dua sisi mata uang yang memiliki dampak positif dan negatif sekaligus. Tetapi sebagai
generasi mileneal kita harus lebih cerdas dalam menggunakan media sosial dalam
keseharian. Bukannya membawa keuntungan, buntut apes kadang sering dialami oleh pengguna media sosial yang kurang
bijaksana.
Menjadi pengguna cerdas dalam bermedia
sosial sudah harus dilakukan sejak sekarang. Tidak menjadi orang yang suka
menyebar berita bohong (hoax), menghindari menjadi ‘agen’ penyebar ujaran
kebencian dan menghindari mengunggah konten yang dapat menyinggung pihak lain.
Bukankah bersikap santun di dunia maya
juga menjadi bagian dari peresapan nilai-nilai pancasila kita. Selain itu, kita
juga dibatasi oleh rambu-rambu untuk berperilaku di dunia maya atau di media
sosial yaitu UU ITE.
Jika dulu berlaku ungkapakan,
‘mulut mu harimau mu!’, maka di era media sosial mulut diwakili oleh tarian
jari jemari kita, ‘jari mu harimau mu!’. Maka memilah dan memilih diksi yang
tepat menjadi penting untuk semua pengguna media sosial di lini kehidupan maya
mereka. Sering orang terlihat garang di media sosial tapi sangat penakut di
kehidupan nyata atau sebaliknya. Maka piliahnnya adalah menjadi pengguna yang
bijak dan cerdas dalam bermedia sosial.
Menurut data Asosiasi Penyenggara
Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia tahun 2016 mencapai
angka 132, 7 juta user atau sekitar 51,4% dari total penduduk Indonesia. Dari angka
tersebut, berdasarkan konten yang paling banyak dikunjungi, para pengguna
internet sering mengunjungi toko online sebanyak
82,2 atau 62%. Konten media sosial yang sering dikunjungi adalah facebook sebanyak 71,6 juta pengguna
atau 54% dan urutan kedua adalah instagram sebanyak 19,9 juta pengguna atau
15%.
Jika dilihat berdasarkan tingkat
usia, rentan usia sebagai pengguna terbanyak 35-44 tahun sebesar 29,2%,
sedangkan rentang usia 55 tahun eatas menjadi angka terkecil diangka 10%.
Melihat dana ini, peran orang tua
sangat penting dalam mengawasi anak-anak mereka saat menggunakan media sosial.
Jikapun orang tua tidak bisa mengawasi dan mengontrol kegiatan anak di media sosial
mereka, orang tua harus selektif melihat pergaulan anak di dunia nyata. Langkah
preventif diperlukan dari banyak pihak untuk menekan hal negatif di media
sosial.
Menurut data Southeast Asia Freedom
of Ekspression Network (Safenet), setalah kasus penistaan agama Basuki Tjahaya
Purnama (Ahok), ada 59 orang yang menjadi korban aksi persekusi. Penulis fikir,
tindakan persekusi ini merupakan ‘sisa’ dari hiruk pikuk kontestasi pemilihan
kepala daerah (pilkada) Jakarta beberapa waktu lalu.
Maraknya fenomena persekusi harus disikapi
secara baik oleh banyak pihak. Jika seseorang dianggap bersalah maka serahkan kepada
penegak hukum, tidak main hakim sendiri yang malah melanggar hukum. Seorang
pancasilais adalah mereka yang menghargai proses hukum yang berlaku dengan
catatan bahwa tidak ada cacat hukum atau manipulasi hukum.
Bukankah persekusi merupakan
tindakan yang menghianati agama dan Negara karena melanggar tatanan yang telah
dibuat oleh keduanya. Sehingga kita harus memposisikan persekusi sebagai musuh
bersama yang pelakunya harus diproses berdasarkan hukum yang berlaku.
Kebebasan seseorang memang telah
dijamin oleh Negara lewat Undang-undang dasar dan peraturan turunanya, tapi
yang harus dipahami adalah setiap orang juga dibatasi oleh hak orang lain.
Sehingga hak dan kewajiban harus dilaksankan dalam porsi yang sama sehingga
harmoniasi di masyarakat dapat terbangun dengan baik. Tabik!
Cek juga di web Waroeng Batja
Cek juga di web Waroeng Batja
Bagikan
Bersama Lawan Persekusi
4/
5
Oleh
Lukman Hakim