Monday, June 5, 2017

Bersama Lawan Persekusi

Fenomena persekusi akhir-akhir ini menjadi sorotan banyak pihak karena persekusi merupakan perbuatan yang melanggar hak dan hukum. Sebut saja beberapa waktu lalu Dokter Fiera Lovita di Solok, Sumatera Barat, mendapatkan teror dari orang yang tak dikenal di kediamannya. Bahkan tidak hanya dirinya, keluarganya pun menjadi incaran tindakan persekusi sehingga kepolisian harus turun tangan memberi rasa aman kepada Dokter Lovita dan keluarganya.
Lalu, apakah persekusi itu? Menurut kamus besar bahasa Indonesia, persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap sesorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Artinya pelaku persekusi mengabaikan nilai kemanusian karena telah menganggu, membuat tidak nyaman, mengancam keamanan seseorang atau kelompok orang. 
Lebih menyedihkan lagi adalah persekusi yang menimpa pemuda berumur 15 tahun berinisial PMA di Cipiang Muara, Jakarta Timur pada Minggu, 28 Mei 2017 yang videonya menyebar di  platform media sosial facebook. Kejadian ini berdekatan dengan tanggal 1 Juni yang merupakan hari lahir pancasila. Lalu, apakah pihak-pihak yang melakukan tindakan persekusi bisa dianggap sebagai warga Indonesia yang pancasilais? Penulis anggap ini bisa menjadi momen renungan bersama menafsirkan kembali makna pancasila sebagai dasar Negara kita.
Pertanyaanya, apa yang menyebabkan kedua korban, Lovita dan PMA mengalami intimidasi, tekanan, bahkan perlakukan represif yang dilakukan oleh pihak yang merasa tersinggung atau dirugikan. Tidak lain adalah unggahan status mereka di media sosial yang dianggap menyinggung salah satu pihak atau kelompok. Kemajuan teknologi memang seperti dua sisi mata uang yang memiliki dampak positif dan negatif sekaligus. Tetapi sebagai generasi mileneal kita harus lebih cerdas dalam menggunakan media sosial dalam keseharian. Bukannya membawa keuntungan, buntut apes kadang sering dialami oleh pengguna media sosial yang kurang bijaksana.
Menjadi pengguna cerdas dalam bermedia sosial sudah harus dilakukan sejak sekarang. Tidak menjadi orang yang suka menyebar berita bohong (hoax), menghindari menjadi ‘agen’ penyebar ujaran kebencian dan menghindari mengunggah konten yang dapat menyinggung pihak lain.
Bukankah bersikap santun di dunia maya juga menjadi bagian dari peresapan nilai-nilai pancasila kita. Selain itu, kita juga dibatasi oleh rambu-rambu untuk berperilaku di dunia maya atau di media sosial yaitu  UU ITE.
Jika dulu berlaku ungkapakan, ‘mulut mu harimau mu!’, maka di era media sosial mulut diwakili oleh tarian jari jemari kita, ‘jari mu harimau mu!’. Maka memilah dan memilih diksi yang tepat menjadi penting untuk semua pengguna media sosial di lini kehidupan maya mereka. Sering orang terlihat garang di media sosial tapi sangat penakut di kehidupan nyata atau sebaliknya. Maka piliahnnya adalah menjadi pengguna yang bijak dan cerdas dalam bermedia sosial.
Menurut data Asosiasi Penyenggara Jasa Internet Indonesia (APJII),  pengguna internet di Indonesia tahun 2016 mencapai angka 132, 7 juta user atau sekitar 51,4% dari total penduduk Indonesia. Dari angka tersebut, berdasarkan konten yang paling banyak dikunjungi, para pengguna internet sering mengunjungi toko online sebanyak 82,2 atau 62%. Konten media sosial yang sering dikunjungi adalah facebook sebanyak 71,6 juta pengguna atau 54% dan urutan kedua adalah instagram sebanyak 19,9 juta pengguna atau 15%.
Jika dilihat berdasarkan tingkat usia, rentan usia sebagai pengguna terbanyak 35-44 tahun sebesar 29,2%, sedangkan rentang usia 55 tahun eatas menjadi angka terkecil diangka 10%.
Melihat dana ini, peran orang tua sangat penting dalam mengawasi anak-anak mereka saat menggunakan media sosial. Jikapun orang tua tidak bisa mengawasi dan mengontrol kegiatan anak di media sosial mereka, orang tua harus selektif melihat pergaulan anak di dunia nyata. Langkah preventif diperlukan dari banyak pihak untuk menekan hal negatif di media sosial.
Menurut data Southeast Asia Freedom of Ekspression Network (Safenet), setalah kasus penistaan agama Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), ada 59 orang yang menjadi korban aksi persekusi. Penulis fikir, tindakan persekusi ini merupakan ‘sisa’ dari hiruk pikuk kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) Jakarta beberapa waktu lalu.  
Maraknya fenomena persekusi harus disikapi secara baik oleh banyak pihak. Jika seseorang dianggap bersalah maka serahkan kepada penegak hukum, tidak main hakim sendiri yang malah melanggar hukum. Seorang pancasilais adalah mereka yang menghargai proses hukum yang berlaku dengan catatan bahwa tidak ada cacat hukum atau manipulasi hukum.
Bukankah persekusi merupakan tindakan yang menghianati agama dan Negara karena melanggar tatanan yang telah dibuat oleh keduanya. Sehingga kita harus memposisikan persekusi sebagai musuh bersama yang pelakunya harus diproses berdasarkan hukum yang berlaku.
Kebebasan seseorang memang telah dijamin oleh Negara lewat Undang-undang dasar dan peraturan turunanya, tapi yang harus dipahami adalah setiap orang juga dibatasi oleh hak orang lain. Sehingga hak dan kewajiban harus dilaksankan dalam porsi yang sama sehingga harmoniasi di masyarakat dapat terbangun dengan baik. Tabik!  

Cek juga di web Waroeng Batja


Bagikan

Jangan lewatkan

Bersama Lawan Persekusi
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.