Sunday, December 10, 2017

Waroeng Ternak (Bagian 1)



Pagi tadi (10 Desember 2017) saya berkunjung ke rumah kakak sulung saya−Muhammad Mas'ud−untuk melihat kambing yang ada di kandangnya. Saya bersama Asep Iman Suwargana sengaja datang pagi karena siangnya kami akan bergegas ke Kota Metro Lampung. Letak rumah kakak tak jauh dari rumah orang tua yang ada di Dusun 3B Desa Binakarya Utama Kecamatan Putra Rumbia Kabupaten Lampung Tengah.
Peternakan kambing kecil-kecilan ini saya inisiasi bersama kakak karena kami melihat peluang yang menjanjikan dari usaha ini. Tidak butuh waktu lama kami segera saja membuat kandang kambing di lahan dekat rumah kakak di bulan Agustus 2017.
Saya mengajak kawan-kawan berinvestasi di usaha ini. Pada 25-27 Juli 2017 saya berkesempatan mengikuti kegiatan "Lokakarya Pertukaran Pembelajaran STBM untuk Mendukung Pencapaian Universal Acces 2019" di Hotel Seraton Lampung. Pada kesempatan itu saya menginap di kontrakan Khoirul Anwar yang merupakan adik kelas sewaktu duduk di bangku SMA. Saya bercerita tengah merintis usaha peternakan kambing, lalu Anwar segera tertarik untuk ikut bergabung dan mentransfer uang sejumlah Rp.2.000.000.
Setelah Anwar, saya juga menceritakan usaha yang tengah saya geluti ini kepada kawan-kawan lain. Asep Iman Suwargana, Muhammad Ridho, Dwi Okta, Dwi Nugroho dan beberapa teman lain sudah ikut berinvestasi.
Menurut istilah orang Jawa, usaha yang sedang saya geluti dinamakan gadu. Secara sederhana gadu adalah satu pihak memberikan kepercayaan kepada pihak lain untuk memelihara kambing yang dimiliki pihak pertama. Biasanya sistem bagi hasil yang digunakan dalam gadu adalah pembagian anak sapi/kambing yang dibagikan secara bergantian. Artinya kelahiran pertama kambing biasanya bagian pemelihara kambing, kelahiran kedua (lahir berikutnya) menjadi bagian si pemilik kambing.
Kelemahan sistem bagi hasil ini adalah ketika terjadi kematian pada saat kelahiran kambing maka pihak yang saat itu seharusnya mendapatkan bagian tidak akan mendapatkan apa-apa. Maka sistem bagi hasil yang saya tawarkan dalam peternakan kambing ini adalah pembagian hasil akhir pada saat kambing dijual. Jadi ketika pihak satu memberikan uang untuk dibelikan kambing dan saya (yang diwakili kakak sebagai pemelihara) membelikan kambingnya itulah yang dihitung sebagai harga dasar. Setelah kambing melahirkan dan kemudian dijual maka porsi bagi hasilnya adalah 60 bagian untuk pihak pengelola dan 40 bagain untuk pemilik dana setelah di potong biaya perawatan, biaya kesehatan dan biaya lain-lain.
Risiko kematian sudah pasti membayangi peternakan kambing yang bisa saja disebabkan karena masuk angin, keracunan, atau faktor lain. Pembagian risiko berdasarkan porsi sebab musababnya. Jika kambing mati karena kesalahan saya (pihak pengelola) maka risiko kami yang akan tanggung. Tapi jika risiko kematian timbul karena faktor alam maka risiko akan ditanggung bersama. Tapi berdasarkan pengalaman selama ini, kami selalu menanggung risiko secara bersama-sama.
Waroeng ternak ini adalah bagian dari keinginan saya untuk merealisasikan beasiswa Kambingku untuk anak didik Waroeng Batja. Tentu program beasiswa ini ke depan bisa saya koordinasikan dengan program Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) yang akan berjalan di tahun 2018 mendatang dengan program pemberian gadu kambing kepada warga yang mau memelihara.


Bagikan

Jangan lewatkan

Waroeng Ternak (Bagian 1)
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.