Pagi tadi (10 Desember 2017)
saya berkunjung ke rumah kakak sulung saya−Muhammad Mas'ud−untuk melihat
kambing yang ada di kandangnya. Saya bersama Asep Iman Suwargana sengaja datang
pagi karena siangnya kami akan bergegas ke Kota Metro Lampung. Letak rumah
kakak tak jauh dari rumah orang tua yang ada di Dusun 3B Desa Binakarya Utama
Kecamatan Putra Rumbia Kabupaten Lampung Tengah.
Peternakan kambing kecil-kecilan
ini saya inisiasi bersama kakak karena kami melihat peluang yang menjanjikan
dari usaha ini. Tidak butuh waktu lama kami segera saja membuat kandang kambing
di lahan dekat rumah kakak di bulan Agustus 2017.
Saya mengajak kawan-kawan
berinvestasi di usaha ini. Pada 25-27 Juli 2017 saya berkesempatan mengikuti
kegiatan "Lokakarya Pertukaran Pembelajaran STBM untuk Mendukung
Pencapaian Universal Acces 2019" di Hotel Seraton Lampung. Pada
kesempatan itu saya menginap di kontrakan Khoirul Anwar yang merupakan adik
kelas sewaktu duduk di bangku SMA. Saya bercerita tengah merintis usaha
peternakan kambing, lalu Anwar segera tertarik untuk ikut bergabung dan
mentransfer uang sejumlah Rp.2.000.000.
Setelah Anwar, saya juga
menceritakan usaha yang tengah saya geluti ini kepada kawan-kawan lain. Asep
Iman Suwargana, Muhammad Ridho, Dwi Okta, Dwi Nugroho dan beberapa teman lain
sudah ikut berinvestasi.
Menurut istilah orang Jawa,
usaha yang sedang saya geluti dinamakan gadu. Secara sederhana gadu
adalah satu pihak memberikan kepercayaan kepada
pihak lain untuk memelihara kambing yang dimiliki pihak pertama. Biasanya
sistem bagi hasil yang digunakan dalam gadu adalah pembagian anak sapi/kambing
yang dibagikan secara bergantian. Artinya kelahiran pertama kambing biasanya
bagian pemelihara kambing, kelahiran kedua (lahir berikutnya) menjadi bagian si
pemilik kambing.
Kelemahan sistem bagi hasil ini
adalah ketika terjadi kematian pada saat kelahiran kambing maka pihak yang saat
itu seharusnya mendapatkan bagian tidak akan mendapatkan apa-apa. Maka sistem
bagi hasil yang saya tawarkan dalam peternakan kambing ini adalah pembagian
hasil akhir pada saat kambing dijual. Jadi ketika pihak satu memberikan uang
untuk dibelikan kambing dan saya (yang diwakili kakak sebagai pemelihara)
membelikan kambingnya itulah yang dihitung sebagai harga dasar. Setelah kambing
melahirkan dan kemudian dijual maka porsi bagi hasilnya adalah 60 bagian untuk
pihak pengelola dan 40 bagain untuk pemilik dana setelah di potong biaya
perawatan, biaya kesehatan dan biaya lain-lain.
Risiko kematian sudah pasti
membayangi peternakan kambing yang bisa saja disebabkan karena masuk angin,
keracunan, atau faktor lain. Pembagian risiko berdasarkan porsi sebab
musababnya. Jika kambing mati karena kesalahan saya (pihak pengelola) maka
risiko kami yang akan tanggung. Tapi jika risiko kematian timbul karena faktor
alam maka risiko akan ditanggung bersama. Tapi berdasarkan pengalaman selama
ini, kami selalu menanggung risiko secara bersama-sama.
Waroeng ternak ini adalah bagian
dari keinginan saya untuk merealisasikan beasiswa Kambingku untuk anak didik
Waroeng Batja. Tentu program beasiswa ini ke depan bisa saya koordinasikan
dengan program Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) yang akan berjalan di tahun 2018
mendatang dengan program pemberian gadu kambing kepada warga yang mau
memelihara.
Bagikan
Waroeng Ternak (Bagian 1)
4/
5
Oleh
Lukman Hakim