Sewaktu kecil dulu, disaat ingus masih sering membanjiri
hidung membentuk angka sebelas. Saya bisa membeli 4 permen dengan uang 100
rupiah. Berarti 1 permen dihargai 25 perak saja. Tapi tahun berganti dan musim
pun berubah, pergerakan perekonomian bangsa Indonesia dan dunia terus bergerak
cepat dan dinamis. Uang Rp. 100 kini hanya digunakan sebagai penghilang masuk
angin (kerokan), walaupun orang pintar katanya minum obat buatan pabrik merk A
dan B. Tapi saya tetap berbangga diri dengan tradisi kerokan, juga untuk
mengenang-ngenang masa kecil yang membeli 4 permen dengan nominal fulus 100
perak itu. Cukup menyenangkan bukan.
Waktu itu pak Harto masih berkuasa, reformasi belum juga
membuncah hebat dengan aksi heroik mahasiswa yang menguasai gedung DPR . Saya
masih ingat betul masa itu adalah orde baru, kenyataan itu ditandai dengan pemasangan
umbul-umbul kuning berlogo beringin ketika akan ada hajat/acara dari pemerintah.
Umbul-umbul kuning pernah menjadi kebanggaan masyarakat
di desa saya waktu itu. Yah, golkar kala itu masih menjadi partai kuat karena dikuasai
pak Harto sebagai penguasa. Tapi saat itu saya cuma bisa domblong, wong
menghilangkan ingus yang meler saja saya ndak sanggup, bagaimana mau tahu hiruk
pikuk kekuasaan yang ada. Saya masih terlalu imut untuk bisa merekam dan paham
jejak sejarah itu, disaat saya bergembira ria bisa membeli 4 permen dengan duit
seratus perak.
Semakin lama uang seratus rupiah yang saya miliki nilai
tukarnya semakin merosot. Dengan uang seratus perak dulu saya masih mempu
membeli 4 permen, kemudian hanya 2 permen, kemudian 1 permen dan sekarang
dengan uang seribu rupiah saya baru bisa memperoleh 4 permen. Loh, kok bisa?
Artinya selama kurang lebih 20 tahun angka 0 (nol) dimata uang rupiah kita
hilang. Kemana gerangan angka nol itu menggelinding? Kenapa nilai mata uang
rupaiah semakin hari semakin kecil jika dibandingkan dengan mata uang negara-negara
lain, terlebih negara-negara maju di dunia.
Redominasi adalah kebijakan yang bisa mengembalikan kejayaan uang 100 rupiah setara dengan uang seribu rupiah, keduanya jika
dibelanjakan akan mendapatkan 4 permen.
Redominasi adalah penyederhanaan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa
mengurangi nilainya. Pemerintah Indonesia pernah melakukan kebijakan ini
pada 13 Desember 1965 dengan menerbitkan
pecahan dengan desain baru Rp 1 dengan nilai atau daya beli setara dengan Rp
1.000. kebijakan redominasi mengacu pada Penetapan Presiden
nomor 27 tahaun 1965. Tujuannya untuk mewujudkan kesatuan moneter bagi seluruh
wilayah Indonesia.
Contoh negara yang sukses menerapkan redenominasi adalah Turki. Selain
Turki, negara yang berhasil meredenominasi mata uangnya adalah Rumania,
Polandia, dan Ukraina. Turki meredenominasi mata uang Lira secara bertahap
selama 7 tahun yang dimulai sejak 2005. Setelah redenominasi, semua uang lama
Turki (yang diberi kode TL) dikonversi menjadi Lira baru (dengan kode YTL, di
mana Y bermakna “Yeni” atau baru). Kurs konversi adalah 1 YTL untuk 1.000.000
TL, atau menghilangkan enam angka nol (6 digit).
Pemerintah Brasil juga pernah
menerapkan kebijakan redominasi. Rendahnya tingkat kepercayaan terhadap
pemerintah pada waktu menjadi pangkal masalah kegagalan redenominasi pada tahun
1986 mengingat negeri itu masih dilanda konflik politik dan instabilitas
pemerintahan yang mengikis kepastian berusaha. Brasil akhirnya berhasil dalam
menerapkan redenominasi pada tahun 1994. Maka kombinasi memangkas inflasi dan
masuknya modal asing yang meningkatkan cadangan devisa merupakan faktor
terpenting keberhasilan redenominasi di Brasil.
Kebijakan redominasi biasanya diambil karena nominal mata uang yang dianggap
terlalu besar. Secara psikologis,
masyarakat menganggap bahwa uang yang memilki nilai nominal besar mempunyai
daya tukar yang rendah. Indonesia dengan
uang 100 ribu sebagai nominal
terbesar merupakan
negara urutan kedua yang mempunyai nominal mata uang terbesar di Asia
Tenggara−sama dengan mata uang Kamboja Riel. Urutan mata uang terbesar di kawasan
Asia tenggara adalah Vietnam dengan nominal Dong 500 ribu.
Lebih ekstrem adalah Zimbabwe yang pernah membuat uang dengan nominal terbesar
di dunia, 100 triliun.
Weladalah! Saya punya mimpi bisa nemu uang sebesar itu, tapi dalam kurs mata
uang lain; bisa Indonesia, Eropa atau Amerika. Ame-calon isteri kalo nemu uang
100 triliun rupiah bisa langsung buat modal nikah bro. Jadi, nominal 100
triliun itu hanya ada di satu lembar uang. Dan perlu diketahui bahwa hiperinflasi
2008 yang menyebabkan uang 100 triliun dollar Zimbabwe hanya cukup untuk
membayar ongkos bus selama sepekan, atau hanya memper oleh 3 telur saja. Apa!
Sungguh terlaaaluuh.
Redeomonasi dengan pertimbangan stabilitas kondisi ekonomi harus
diperhatikan, jangan sampai kebijakan redominasi malah membikin kesemerawutan ekonomi
dan negara. Walaupun saya tidak
bisa (lagi) membeli 4 permen dengan nominal 100 rupiah. Saya selalu berharap
bahwa suatu hari nanti bangsa Indonesia menjadi bangsa besar yang terwakili
oleh rupiah yang disegani dunia internasional. Saya berharap anak cucu saya
kelak bisa menikmati permen-permen dengan damai, jangan sampai harga 4 permen
dikalahkan oleh bayaran sekali masuk kakus umum.
Bagikan
Redominasi dan 4 Permen
4/
5
Oleh
Lukman Hakim