Friday, November 11, 2016

Redominasi dan 4 Permen


Sewaktu kecil dulu, disaat ingus masih sering membanjiri hidung membentuk angka sebelas. Saya bisa membeli 4 permen dengan uang 100 rupiah. Berarti 1 permen dihargai 25 perak saja. Tapi tahun berganti dan musim pun berubah, pergerakan perekonomian bangsa Indonesia dan dunia terus bergerak cepat dan dinamis. Uang Rp. 100 kini hanya digunakan sebagai penghilang masuk angin (kerokan), walaupun orang pintar katanya minum obat buatan pabrik merk A dan B. Tapi saya tetap berbangga diri dengan tradisi kerokan, juga untuk mengenang-ngenang masa kecil yang membeli 4 permen dengan nominal fulus 100 perak itu. Cukup menyenangkan bukan.

Waktu itu pak Harto masih berkuasa, reformasi belum juga membuncah hebat dengan aksi heroik mahasiswa yang menguasai gedung DPR . Saya masih ingat betul masa itu adalah orde baru, kenyataan itu ditandai dengan pemasangan umbul-umbul kuning berlogo beringin ketika akan ada hajat/acara dari pemerintah.

Umbul-umbul kuning pernah menjadi kebanggaan masyarakat di desa saya waktu itu. Yah, golkar kala itu masih menjadi partai kuat karena dikuasai pak Harto sebagai penguasa. Tapi saat itu saya cuma bisa domblong, wong menghilangkan ingus yang meler saja saya ndak sanggup, bagaimana mau tahu hiruk pikuk kekuasaan yang ada. Saya masih terlalu imut untuk bisa merekam dan paham jejak sejarah itu, disaat saya bergembira ria bisa membeli 4 permen dengan duit seratus perak.

Semakin lama uang seratus rupiah yang saya miliki nilai tukarnya semakin merosot. Dengan uang seratus perak dulu saya masih mempu membeli 4 permen, kemudian hanya 2 permen, kemudian 1 permen dan sekarang dengan uang seribu rupiah saya baru bisa memperoleh 4 permen. Loh, kok bisa? Artinya selama kurang lebih 20 tahun angka 0 (nol) dimata uang rupiah kita hilang. Kemana gerangan angka nol itu menggelinding? Kenapa nilai mata uang rupaiah semakin hari semakin kecil jika dibandingkan dengan mata uang negara-negara lain, terlebih negara-negara maju di dunia.

Redominasi adalah kebijakan yang bisa mengembalikan kejayaan uang 100 rupiah setara dengan uang seribu rupiah, keduanya jika dibelanjakan akan mendapatkan 4 permen.

Redominasi adalah penyederhanaan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi nilainya. Pemerintah Indonesia pernah melakukan kebijakan ini pada 13 Desember 1965 dengan menerbitkan pecahan dengan desain baru Rp 1 dengan nilai atau daya beli setara dengan Rp 1.000. kebijakan redominasi mengacu pada Penetapan Presiden nomor 27 tahaun 1965. Tujuannya untuk mewujudkan kesatuan moneter bagi seluruh wilayah Indonesia.

Contoh negara yang sukses menerapkan redenominasi adalah Turki. Selain Turki, negara yang berhasil meredenominasi mata uangnya adalah Rumania, Polandia, dan Ukraina. Turki meredenominasi mata uang Lira secara bertahap selama 7 tahun yang dimulai sejak 2005. Setelah redenominasi, semua uang lama Turki (yang diberi kode TL) dikonversi menjadi Lira baru (dengan kode YTL, di mana Y bermakna “Yeni” atau baru). Kurs konversi adalah 1 YTL untuk 1.000.000 TL, atau menghilangkan enam angka nol (6 digit).

Pemerintah Brasil juga pernah menerapkan kebijakan redominasi. Rendahnya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah pada waktu menjadi pangkal masalah kegagalan redenominasi pada tahun 1986 mengingat negeri itu masih dilanda konflik politik dan instabilitas pemerintahan yang mengikis kepastian berusaha. Brasil akhirnya berhasil dalam menerapkan redenominasi pada tahun 1994. Maka kombinasi memangkas inflasi dan masuknya modal asing yang meningkatkan cadangan devisa merupakan faktor terpenting keberhasilan redenominasi di Brasil.

Kebijakan redominasi biasanya diambil karena nominal mata uang yang dianggap terlalu besar. Secara psikologis, masyarakat menganggap bahwa uang yang memilki nilai nominal besar mempunyai daya tukar yang rendah.  Indonesia dengan uang 100 ribu  sebagai nominal terbesar merupakan  negara urutan kedua yang mempunyai nominal mata uang terbesar di Asia Tenggara−sama dengan mata uang Kamboja Riel. Urutan mata uang terbesar di kawasan Asia tenggara adalah Vietnam dengan nominal Dong 500 ribu.

Lebih ekstrem adalah Zimbabwe yang pernah membuat uang dengan nominal terbesar di dunia, 100 triliun. Weladalah! Saya punya mimpi bisa nemu uang sebesar itu, tapi dalam kurs mata uang lain; bisa Indonesia, Eropa atau Amerika. Ame-calon isteri kalo nemu uang 100 triliun rupiah bisa langsung buat modal nikah bro. Jadi, nominal 100 triliun itu hanya ada di satu lembar uang. Dan perlu diketahui bahwa hiperinflasi 2008 yang menyebabkan uang 100 triliun dollar Zimbabwe hanya cukup untuk membayar ongkos bus selama sepekan, atau hanya memper oleh 3 telur saja. Apa! Sungguh terlaaaluuh.

Redeomonasi dengan pertimbangan stabilitas kondisi ekonomi harus diperhatikan, jangan sampai kebijakan redominasi malah membikin kesemerawutan ekonomi dan negara. Walaupun saya tidak bisa (lagi) membeli 4 permen dengan nominal 100 rupiah. Saya selalu berharap bahwa suatu hari nanti bangsa Indonesia menjadi bangsa besar yang terwakili oleh rupiah yang disegani dunia internasional. Saya berharap anak cucu saya kelak bisa menikmati permen-permen dengan damai, jangan sampai harga 4 permen dikalahkan oleh bayaran sekali masuk kakus umum.

Bagikan

Jangan lewatkan

Redominasi dan 4 Permen
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.