Membincangkan hari pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November sesungguhnya tidak dapat lepas dari peristiwa
22 Oktober 1945 (Resolusi Jihad). Sebelum terjadi perang hebat di Surabaya yang
dipimpin oleh Bung Tomo pada 10 November 1945, sesungguhnya Resolusi Jihad yang diproklamirkan oleh para
kiai Nahdathul Ulama merupakan inspirasi bagi Bung Tomo untuk melakukan perlawanan
terhadap tentara sekutu.
Surabaya dan daerah di Jawa merupakan gudang kaum pesantren, ketika Resolusi
Jihad Nahdhatul Ulama (NU) berkobar maka kaum pesantren adalah pasukan yang
turut berjuang melawan pasukan Inggris. Musuh gentar jika telah mendengar
pasukan berani mati. Walaupun sekutu memilki peralatan perang lengkap, akhirnya
tentara Inggris harus kocar-kacir dengan pasukan berani mati kaum pesantren.
Jika Jepang memiliki pasukan berani mati Kamikaze, Filipina dengan pasukan berani
mati Juramentado Suku Moro, Giansidui adalah pasukan berani mati Tiongkok yang
dibentuk 1911, maka Indonesia memilki pasukan berani mati pada masa Resolusi
Jihad sampai meletusnya peperangan 10 November 1945 di Surabaya.
Perjuangan arek-arek Suroboyo yang heroik kemudian membikin kota Surabaya disebut
sebagai kota pahlawan. Sebutan yang lekat dengan kota Surabaya ini sebagai
apresiasi dari perjuangan yang telah dilakukan. Perjuangan heroik bung Tomo,
kaum pesantren, laskah, relawan, rakyat, dan beragam kalangan merupakan respon
rakyat yang tersinggung dengan selebaran yang sebar oleh sekutu dengan perintah
agar masyarakat Surabaya menyerahkan senjata yang dirampas dari tentara Jepang
dan diserahkan kepada pasukan Inggris. Perintah ini menyulut kemarahan rakyat
di Surabaya, juga menambah keberanian arek-arek Suroboyo untuk mempertahankan
kemerdekaan karena ancaman akan dibumi hanguskan oleh tentara sekutu.
“Selama Banteng-banteng
Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih,
merah dan putih, maka selama itu, tidak aken kita mau menyerah kepada siapa pun
juga. Allouakbar! Allohuakbar! Allohuakbar! Merdeka!”. Takbir bung Tomo masih menggetarkan hati, membuat
merinding jika dengarkan dengan seksama. Lafadz takbir menjadi kekuatan dasyat
bagi kaum pesantren dan segenap rakyat Surabaya untuk melawan penjajah kafir.
Masyarakat dimana pun di Indonesia berhak juga menyebut daerah
masing-masing sebagai kota pahlawan. Tentu dengan tokoh pejuang sendiri di
daerah masing-masing. Misalnya Lampung dengan Raden Intan, masyarakat Aceh
dengan Cut Nyak Dien, tanah Minang dengan tokoh Bung Hatta dan Natsir,
masyarakat Bali dengan Bung Besar. Semua rakyat boleh berbangga dengan daerah
dan pahlawannya, tapi menjaga keutuhan bangsa dan negara dengan nilai-nilai
kepahlawan juga langkah penting yang tidak boleh ditinggalkan.
Mengimplementasikan nilai-nilai luhur kepahlawanan dengan mempelajari
sejarah bangsa sendiri dan tidak melupakannya adalah langkah yang bisa diambil.
Tujuannya tidak lain agar wacana persatuan dalam keberagaman menjadi tali
pengikat bangsa Indonesia. Kemudian berusaha mempelajari sejarah bangsa kita
secara benar perlu dilakukan agar kita sebagai bangsa tidak meraba-raba sejarah
bangsa sendiri. Melihat sejarah Indonesia secara terang, tidak ada simpang siur
sejarah, pemelintiran sejarah, atau penghapusan jejak sejarah.
Karena sejatinya sejarah bisa diciptakan oleh penguasa sesuai dengan
kehendak dan kepentingan. Pemelintiran sejarah era orde baru menjadi bukti yang
kongret, bagaimana tangan besi pak Harto dengan se-enak udel membuat versi sejarahnya sendiri. Membuat skenario sejarah
yang disusun rapi, kemudian tangan besi penguasa digunakan untuk memuluskan
aksi pembuatan sejarah baru tersebut. Akhirnya sejarah yang dipelintir diamini
juga oleh rakyat umum dan dalam waktu yang relatif lama.
Belum lagi bangsa Indonesia umumnya adalah bangsa yang tidak open dengan peninggalan sejarah macam
artefak, prasasti, buku, dokumen, arsip dan peningalan sejarah lain. Nyelipnya
dokumen tim pencari fakta (TPF) kasus kematian Cak Munir yang aktifis hak asasi
manusia, sangat membuktikan keteledoran bangsa ini. Bagaiamana menjadi bangsa
yang besar jika penghargaa terhadap rajutan sejarah yang termanifestasi dalam
bukti sejarah raib dan tidak terurus.
Bung besar (Soekarno) mengatakan JASMERAH! Jangan sekali-kali meninggalkan
sejarah. Pesan bung besar yang disampaikan dalam pidatonya yang
terakhir pada Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966
patut menjadi bahan perenungan bersama.
Bangsa Indonesia harus menyiapkan “kotak” pahlawan yang berisi tentang nilai
dan sifat luhur pahwalan negeri ini. Kotak yang menjaga semangat para pahlawan
yang memperjuangkan kemerdekaan, menjaga keutuhan NKRI dengan persatuan beragam
latar belakang. Memang sangat normatif dan terkesan melankolis ajakan-ajakan
nasionalisme semacam ini. Tapi bukankah pahlawan dari seluruh pelosok Indonesia
mengajarkan hal demikian. Kita wajib melawan lupa atas segala sejarah bangsa
kita, menolak pikun nilai-nilai luhur yang diajarkan para pahlawan, memelihara
ingatan dan kewarasan dengan membaca, mempelajari dan mengamalkan sejarah
bangsa sendiri, juga berkaca dan mengambil pelajaran dari jejak masa lampau.
Semoga kita bisa menjadi bangsa yang bermartabat dengan menghargai sejarah.
Memelihara nilai-nilai lama yang baik dan menerima nilai-nilai baru yang lebik
baik. Selamat hari pahlawan!
Cek juga: http://nuwobalak.com/kotak-pahlawan/
Cek juga: http://nuwobalak.com/kotak-pahlawan/
Bagikan
Kota(k) Pahlawan
4/
5
Oleh
Lukman Hakim