Saya yang menyandang gelar sebagai anak petani, sebenarnya ingin meneruskan
pekerjaan mulia itu. Tapi apa daya, setelah melewati prosesi tapa brata, saya
malah bertanya-tanya. Buat apa jadi petani?
Jika kita buka kembali lembaran sejarah Indonesia, waktu itu Hindia
Belanda, kebanyakan kaum tani hidup miskin−di bawah taraf standar kehidupan−lebih
tepat menderita bin sengsara. Artinya, nasib petani tidak pernah mencapai
posisi sejahtera, makmur bahkan ndak pernah berdaya bahkan selalu diperdaya orang
lain (pemodal).
Mbah Pramoedya Ananta Toer mencatat secara apik kisah petani cilik yang
hidup di perkampungan yang hanya terdapat satu rumah. Itulah rumah Trunodongso
yang berdiri tegak di kepungan lautan tebu milik londo. Dikisahkan oleh mbah
Pram dengan gaya realisme sosialis pada roman Anak Semua Bangsa.
Trunodongso digambarkan sebagai lelaki jawa yang kuat, pekerja keras. Tapi
pernah suatu ketika bersikap bengis dan menaruh curiga pada Minke. Sangat
berbeda dengan kondisi kebanyakan petani saat itu. Kecurigaan Truno pada Minke
beralasan, karena Minke dianggap sebagai
pembesar yang melakukan sekongkol lintah darat dengan bos tebu untuk merebut
tanah warisan orang tua Trunodongso.
Menjaga tanah agar tidak diminta pabrik gula, serta berpendirian kuat tidak
menjual tanah. Akhirnya kalah dengan pemodal dan kekuasaan yang berdiri tegak
dibelakangnya. Pada akhirnya, Truno harus merelakan tanah yang ia miliki dirampas
dengan balutan “sewa”, jurus kongkalikong yang rapih tertata antara londo dan
pejabat setempat.
Cerita petani yang tidak memilki akses atas tanah juga sangat dekat dengan hidup keseharian. Bagaimana petani
selalu menjadi pihak yang salah dan termarjinalkan. Konflik Register 45 di
Mesuji Lampung, juga pembelaan emak-emak di Kendeng untuk melindungi tanah yang
merupakan ibu, sumber hidup dan kehidupan yang selalu memberi kasih kepada
manusia. Tapi konflik agraria seperti sengaja selalu dirawat, bahkan sengaja
dibuat untuk melindungi para londo-londo wajah baru.
Mumpung saya lagi gandrung dengan Mbah Pram, mari kita mengingat wasiatnya
tentang siapa-siapa yang paling rakus menjarah tanah. Siapa? Ya, mereka yang
ndak pernah bersentuhan dengan tanah. Mereka adalah wong-wong yang paling rakus
mengeksploitasi tanah dan kekayaan yang terkandung pada tanah.
Lalu, masihkan kalian, juga saya minat menjadi seorang petani? Terutana
pemuda, wabilkhusus mahasiswa?
Tidak! Di saat panen raya tiba misalnya; rasa bungah, suka cita, seneng dengan gaya alay, sepatutnya terpancar
wajah-wajah capai emak-bapak kita (petani). Tapi kenyataan ternyata berkata lain-lain, petani
bersiap dihadapkan harga komoditi hasil panen yang anjlok, serangan impor dari
Negara tetangga dan ancaman kerugian lain. Bayangkan, ini masa panen!
Loh, bahkan belum lama ada juga serangan pacul! Bayangkan saja, di desa
saya, pandai besi masih sanggup memenuhi permintaan pacul untuk para petani.
Bahkan petani bisa dibuat bingung tanah siapa lagi yang mau di pacul jika pandai
besi terus memproduksi pacul. Kemudian pemerintah ngajak lucu-lucuan dengan
mengimpor pacul. Mbok dihargai saya yang mengimpor pacul, ndasmu pak, pak!
Masih berita hangat (sehangat secangkir kopi), petani Lampung dibuat menjerit. Aaaaaah! Aduuuuuh!
Auuuuuw! Pokonya menjeritlah. Bukan karena yang lain, karena harga singkong
terjun bebas di bawah Rp. 500 perak akibat
kebanjiran singkong Vietnam, lebih dasyat dari pada banjir di Bandung tempo
hari, apalagi banjir manusia di Jakarta 4 November beberapa hari lalu.
Jika pertanyaan cita-cita sebagai petani diajukan kepada generasi milenial,
berapa banyak dari mereka yang mau macul, berani ngoret, pergi ke ladang dengan
mimik senang, lenggang-lenggok berbangga jadi petani dan menekan rasa lalunya? Belum
lagi, di masa hidup yang serba glamor dan memuja materi−materialistik. Semua
dinilai dengan pencapaian kuantitas harta yang berhasil ditumpuk.
Belum lagi mahasiswa, sebagai manusia agen-agenan
yang di didik di perguruan tinggi pasti sangat sedikit yang mau jadi petani. Loh,
benar saja. Buat apa sekolah tinggi-tinggi jika akhirnya harus berurusan dengan
tani-bertani. Juga secara subjektif, saya menganggap bahwa mahasiswa menjadikan
sekolah bukan tempat membentuk kepribadian untuk masyarakat, sebaliknya
menjadikan sekolah sebagai sarana membikin jarak-jarak dari masyarakat. Seolah
memang sekolah dibangun untuk membuat jarak.
Mari coba mengingat kembali, lalu merenungi pesan Mbah KH. Hasyim Asyari, ”Pendek
kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri
mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ Tani itoelah penolong
Negeri apabila keperloean menghendakinja dan diwaktoe orang pentjari-tjari
pertolongan. Pa’ Tani itoe ialah pembantoe Negeri jang boleh dipertjaja oentoek
mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe diwaktunja orang berbalik
poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada negeri; dan Pa’ Tani itoe djoega mendjadi
sendi tempat negeri didasarkan.”
Tapi apakah para petani di republik ini dilindungi, dikasihi dan dihargai?
Saya jadi teringat perdebatan blunder, seperti pertanyaan duluan mana
antara ayam atau telor. Lebih penting mana profesi petani, guru atau dokter?
Tanpa berfikir panjang saya jawab lantang, petani! Sebagai fans fanatik bapak-bapak
dan mamak-mamak tani, saya teriak petani adalah pekerjaan ter-penting di alam
raya, urusan debat belakangan.
Cek link disini: http://nuwobalak.com/688-2/
Bagikan
Mahasiswa, Buat Apa jadi Petani?
4/
5
Oleh
Lukman Hakim