Suatu sore di warung kopi
Mbok Yah, Bolidi berbincang bersama Lek Tekat dan Wagino. Bolidi yang malam itu
sedikit meriang memilih kopi pahit sebagai minuman yang di seruput bersama
bakwan dan pisang goreng.
"Lek,
sampean mau minum apa?" tanya Bolidi kepada Lek Tekat yang baru pertama
kali singgah di warung Mbok Yah.
"Kopi Robusta
Liwa ya. Jadi kopi dan gula harus pas takarannya biar menghasilkan rasa yang
sedap," timpal Lek Tekat.
"Woalah
lek-lek, di sini ya nggak ada kopi Robusta Liwa Lampung Barat to. Apalagi kopi
arabikanya, ya jelas kosong blong
lah. Wes sampean minum kopi lokal saja. Yang ada yang di minum yo lek. Soal
rasa jangan di tanya, nggak kalah enak, lek. Wong sama-sama kopi lokalnya to?."
"Woo bocah
ini, la sampean tadi kan nawari mau kopi apa, aku ya nawar Kopi Robusta Liwa to, Bol."
"Maaf lek.
Kan biar ada basa-basinya lo, lek," jawab Bolidi dengan sedikit slengekan.
"He
Wagino! Sampean mau pesen apa?" tanya Bolidi kepada Wagino.
Wagino tak
menggubris panggilan Bolidi. Rupa-rupanya Wagino sedang asyik bermain hape
android barunya.
"Beginilah
kalau orang baru punya hape, lupa dengan orang di sekitarnya. Nggak ngobrol
malah asyik sama hapenya sendiri," gerutu Bolidi.
"Heh,
Wagino! Sampean mau minum apa?" panggil Bolidi sekali lagi.
Karena tidak
mendengar panggilannya, akhirnya Bolidi menghampiri tempat duduk Wagino yang
ada di seberang Bolidi. Mereka sebenarnya masih satu meja, Bolidi di sebalah
utara sedangkan Wagino berada di selatan. Meja persegi panjang berukuran
4x1 meter itu terlihat lusuh, berwarna hitam karena daki pelanggan yang sering
menempel di sana. Tiap hari daki itu terus
bertambah karena pelanggan di warung Mbok Yah tak pernah sepi.
Bolidi terus menggerutu
karena merasa jengkel. “Wasu tenan Wagino ini, aku kok malah dikerjain begini,”
gumamnya dalam hati.
"Plak!”
“Sampean mau
minum apa?" tanya Bolidi sambil menepuk pundak kiri Wagino.
“Dari tadi aku
manggil-manggil sampean, malah sampean ini asyik sendiri main hape.”
Sembari nyengir
dan menoleh ke arah Bolidi, Wagino masih memegang hapenya. “Amit Mas Bol, aku
lagi njajal hape baru. Aku minum teh
aja Mas Bol.”
Bolidi tak
menjawab permintaan maaf Wagino. Bolidi pun bergegas menuju dapur untuk menemui
Mbok Yah.
“Mbok, pesen teh
satu, kopi satu dan kopi pahit satu.”
“Pesen soto
nggak, Bol?”
“Nggak mbok”
“Pecele pesen
nggak?”
“Mboten juga mbok. Cukup ngopi sama makan
gorengan aja mbok”
“Yasudah di
tunggu dulu. Mbok buatkan dulu teh sama kopinya”
Bolidi bergegas
mendekat menuju Lek Tekat sambil mengangkat banggu panjang yang memiliki
panjang sama dengan meja tetapi memilki lebar 20 sentimeter. Bangku itu mempunyai tinggi sekitar
40 sentimeter dari tanah, lusuhnya sama
dengan meja di warung Mbok Yah.
“Dengar-dengar
sampean sekarang kerja di pemerintahan, lek. Di bagian apa sampean kerjanya?”
ujar Bolidi membuka obrolan.
“Kerja di
pemerintahan apa. Aku ya tetap jadi pengangguran gini to Bol,” jawab Lek Tekat setelah
menghisap rokok berukuran
jumbo dan menghembuskan asapnya membumbung ke udara.
“Sampean selalu
ngaku pengangguran, lek. Tapi kerjaannya dolan terus,” timpal Bolidi tanpa
menengok Lek Tekat. Mulut Bolidi saat itu penuh dengan bakwan.
“Lah wong dolan
itu sudah jadi tuntutan profesi, Bol. Profesi seorang pengangguran,” jawab Lek
Tekat dibarengi dengan tawa lepas.
“Wasu sampean, lek.
Aku ini tanya beneran lek, malah sampean guyon. Kalau ada kerjaan yang bisa
dibagi dan bisa aku kerjakan mbok ya bagi-bagi.”
“Yasudah kalau
kamu maksa minta
kerjaan, Bol. Nanti malam kamu temeni aku main kartu, main leng.
Sudah lama aku nggak main leng. Lumayan, yang kalah nanti mijit yang menang.
Aku ini kan belum pernah terkalahkan selama main leng. Aku raja leng, Bol,” kelakar
Lek Tekat sambil menghembuskan lagi rokok lintingan
yang besarnya sejempol tangan orang dewasa.
“Bmelgedes!! Yasudah nanti kita buktikan
lek, siapa yang bakal dipijat dan siapa yang bakal mijit. Aku padahal
minta kerjaan, lah malah diajak main kartu. Wasu tenan sampean, lek.”
Tak lama kopi
pesanan mereka datang.
“Ini kopi pahit
untuk Bolidi, ini kopi lokal untuk Lek Tekat,” ujar Mbok Yah yang menaruh kopi
di atas meja.
“Matur suwun, mbok,” ujar Bolidi
dan Lek Tekat secara bersamaan.
“Ini tehnya
buat siapa, Bol?”
“Itu buat si
Wagino, mbok.”
Mbok Yah
terlihat mengantarkan kopi ke meja Wagino, tapi sedikitpun Wagino tak
menggubris keberadaan Mbok Yah. Bahkan ketika Mbok Yah mempersilakan minum
kepada Wagino.
“Lihat itu
Wagino, lek. Mentang-mentang punya hape baru terus lali
ndunyo. Tahu begitu aku tadi males ngajak dia”
“Wes biarkan saja, Bol. Zaman now ya
begitu to. Kalau lagi asyik sama hape ya lupa
sama sekitarnya. Lah, sampean apa
nggak begitu?”
“Iya sih, lek. Tapi ya nggak nemen banget kayak si
Wagino. Wasu tenan kok bocah itu.”
“Wes Bol, sekarang mending kita ngopi dan menyantap gorengan yang ada. Nanti malam kita
main kartu, panen
pijet kita,” jawab
Lek Tekat yang sedang makan pisang
kapok goreng sambil terbahak.
Penulis: Lukman
Hakim