Palu Arit Phobia
Perkembangan media sosial (medos) saat ini menjadikan orang-orang
bebas membuat pernyataan, menulis argumentasi, menunggah gambar atau meme di
dinding fesbuk, twitter, instagram atau media sosial lain. Yang jelas dengan
kebebasan ini, seharusnya pengguna media sosial bijak dan cerdas dalam
memanfaatnya. Walaupun di dunia maya, etika berkomunikasi harus diperhatikan,
tidak menebar kebencian, menyebarkan fitnah, atau membagikan berita hoax.
Intinya tetap menjadi konsumen media sosial yang tahu batas dan etika.
Penyebaran kabar meresahkan menjadi viral baru-baru ini,
yaitu soal uang rupiah yang memilki logo palu arit. Saya dibuat terbelalak,
dengan cepat kabar ini tersebar. kemudian saya cek di instagram, fesbuk, dan twitter, ternyata memang sudah banyak meme
atau gambar yang telah beredar soal logo palu arit yang terdapat pada uang pecahan
100 ribu keluaran tahun 2014.
Kebiasaan buruk yang selalu berulang, membagikan kabar
yang belum jelas kebenarannya, saya fikir ini menjadi budaya kurang bagus dari kebanyakan
pengguna media sosial. Bukanlah tabayun (konfirmasi)
kebenaran terhadap kabar/berita perlu dilakukan agar tidak menyebarkan berita
bohong yang menyebabkan kebingungan publik atau masalah yang lebih besar
dikemudian hari.
Ada semacam fobia terhadap lambang palu arit yang
merupakan lambang partai komunis Indonesia (PKI). Ketakutan kebangkitan partai
ini seolah menjadi momok menakutkan yang selalu mengintai dan bisa menerkam sewaktu-waktu
layaknya monster. Saya fikir, orang-orang yang memilki ketakutan besar kepada
partai yang pernah menduduki rangking 3 partai besar di negeri ini sedang
terjangkit palu arit phobia. Fobia semacam ini menyebabkan ketakutan yang berlebihan,
bahkan sering meminggirkan akal dan pikiran waras dalam berfikir objektif.
Logo yang dianggap sebagai lambang palu arit dalam mata
uang 100 ribu tidak lebih dari logo yang terbentuk secara acak akibat pengamanan
uang atau rectoverso. Rectoverso adalah teknik pencetakan uang secara khusus di
mana pada posisi yang saling membelakangi terdapat ornamen yang terbentuk tidak
beraturan.
Tetapi ketika uang diterawang maka akan memperlihatkan ornamen
berlogo BI yang berarti Bank Indonesia. Rectoverso dianggap sebagai pengaman
uang yang paling safety karena uang sulit
untuk dipalsukan. Selain Indonesia, beberapa negara lain juga menggunakan
rectoverso sebagai pengaman mata uang seperti Malaysia (ornamen berbentuk bunga),
uang kertas euro (membentuk nilai nominal uang). Sudahlah, pemerintah sudah
mengatur soal uang rupiah di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun
2011 Tentang Mata Uang. Apakah sampean masih mau ngeyel?
Ketakutan terhadap partai komunis Indonesia juga
diekspresikan dengan cara lain, misalnya dengan pelarangan peredaran buku. Masa
orde baru menjadi contoh bagaimana aksi
pelarangan buku dilakukan secara sistematis oleh pemerintah. “Kebencian”
terhadap partai berlambang palu arit dilakukan
dengan latar belakang argumen ideologis, keperluannya tidak lain untuk
mempertanankan versi kebenaran politis. Pembunuhan massal terhadap mereka yang
dituduh PKI dan pelarangan buku kiri gencar dilakukan.
Setelah masa Soeharto berlalu, Indonesia pernah mengalami
masa kebebasan, termasuk dalam penulisan dan penerbitan. Karya-karya pemikiran
apapun boleh beredar secara bebas termasuk karya-karya Karl Max. Tapi masa
kebebasan itu hanya sesaat, kemudian kebebasan itu terenggut lagi oleh mereka
yang mengidap palu arit fobia.
Dalam buku Fernando Baez Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, disinggung soal pelarangan
buku di Indonesia. Pada 19 April 2001, sebuah organiasi yang menamakan diri Aliansi Anti Komunis
melakukan sweeping dan
membakar semua buku-buku “kiri”. Buku Prof. Frans Magnis Suseno dengan Judul Pemikiran Karl Max: dari Sosialis Utopis ke
Perselisihan Revisionisme juga dibakar. Sampean semua tahu senjata apa yang
digunakan kelompok ini untuk membakar buku? Tidak lain adalah TAP MPRS NO XXV
TAHUN 1966 yang menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang dan melarang
penyebarluasan Maxisme-Leninisme.
Ketakutan ini berlanjut, 19 Juni 2007 ketika kejaksaan Tinggi Semarang
diikuti oleh beberapa kejaksaan Tinggi di daerah lain mengancurkan ribuan buku SMP
dan SMA yang mengacu kurikulum 2004. Buku-buku ini juga dianggap berbau kiri sehingga harus
dimusnahkan. Buku yang dimusnahkan antara lain: Kronik Sejarah, Manusia dalam Perkembanagn Zaman.
Dengan Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 19/A-JA/10/2007 maka aksi pelarangan dan pembakaran
buku terus dilakukan. Buku-buku yang kemudian dilarang (lagi) antara lain: Dalih Pembunuhan Masal karya John Rossa,
Suara Gereja Umat Penderitaan: Tetesan
Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya
Socrates Sofyan Yoman, Lekra Tak Membakar
Buku karya Rhoma Dwi Aria Yulianti dan Muhidin M dahlan, Enam Jalan Menuju Tuhan karya Dharmawan,
Mengungkap Misteri Keraman Agama
karya Syahruddin Ahmad. Selain itu, pada bulan September 2009 kelompok yang menamanakan diri Front
Anti Komunis juga membakar buku Revolusi
Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah Karya Soemarsoso di Surabaya.
Tentu sampean semua masih inget di bulan Mei lalu, bertepatan
pula dengan hari buku nasional. Inspeksi mendadak dilakukan aparat kepolisian, sweeping itu dilakukan guna “mengamankan”
buku-buku kiri. Sangat mengesankan, atau lebih tepatnya menyedihkan,
mengenaskan? Asal ada kata-kata komunis, PKI, 1965, atau sampulnya
bergambar palu dan arit, langsung diberangus oleh aparat.
Jadi
biarlah orang-orang
itu takut dengan logo palu arit (maklum kurang baca). Tapi saya sampaikan bahwa
saya menerima uang pecahan 100 ribu sampean-sampean yang katanya berlogo palu arit itu.
Sungguh! Tidak perlu sungkan, langsung telfon nomer seluler saya dan saya pun
akan menjemput uang merah merekah itu. Uang
itu akan saya belikan
buku-buku dan semoga tidak dicekal dan dibakar.
Satu
pesan terakhir yang saya kutip dari twitter. “Selain palu arit di uang 100 ribu, perlu diwaspadai neo-komunisme di matematika. Ada
arit-matika dan tunggu rumus baru palu-matika, waspadalah!”